Mohon tunggu...
Fayola Novalina Sofyan_Ola
Fayola Novalina Sofyan_Ola Mohon Tunggu... Sekolah

hobi saya main game

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku yang bukan Aku

26 September 2025   09:20 Diperbarui: 26 September 2025   19:30 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Raka. Setiap hari aku bekerja di kantor, pulang ke rumah sore, makan malam bersama istri, lalu tidur. Hidupku sederhana.

Tapi ada satu hal yang aneh: aku sering menemukan barang-barang yang tidak pernah aku beli di rumahku. Jam tangan emas di laci, kunci mobil asing, bahkan surat cinta dari seorang wanita yang tidak kukenal.

“Istriku mungkin tahu,” pikirku. Tapi setiap kali aku tanya, ia hanya tersenyum datar.
“Itu milikmu, Rak. Jangan bercanda.”

Aku merasa bingung. Aku tidak pernah merasa memilikinya.

Suatu malam, aku terbangun. Ada suara langkah di ruang tamu. Aku turun pelan-pelan, dan… aku melihat diriku sendiri duduk di sofa. Ya, diriku sendiri.

Ia tersenyum. “Akhirnya kita bertemu.”
Aku tercekat. “Siapa kau?”
“Aku Raka. Sama seperti kamu. Bedanya… aku menjalani sisi hidupmu yang tak pernah kau akui.”

Aku gemetar. “Apa maksudmu?”
“Kau munafik, Rak. Di depan orang, kau suami setia, pegawai teladan. Tapi di dalam hati, kau ingin bebas, ingin bersenang-senang, ingin lari dari semua aturan. Jadi… aku lahir. Aku yang memenuhi keinginan itu. Aku beli jam tangan, aku punya mobil, aku punya wanita. Semua yang kau inginkan, tapi tak berani kau lakukan.”

Aku tak percaya.
“Tidak! Aku tidak pernah—”
“Tapi kau pernah memikirkannya,” potongnya. “Kau pura-pura suci, padahal di dalam hatimu ada aku. Munafik bukan karena kau menipu orang lain, tapi karena kau menipu dirimu sendiri.”

Aku ingin marah, tapi entah kenapa, aku tahu ia benar. Selama ini aku selalu menyangkal keinginanku, menutupinya dengan citra baik.

Esoknya, hidupku makin kacau. Kadang aku bangun di ranjang bersama istriku, kadang aku bangun di apartemen asing dengan botol minuman dan parfum wanita. Aku tidak tahu kapan aku menjadi aku, kapan aku menjadi “dia”.

Sampai suatu hari, istriku menatapku dengan wajah lelah.
“Rak… kapan kau berhenti berpura-pura? Aku tahu dari awal. Kau bukan hanya suami yang setia. Kau juga pria yang mendua. Aku biarkan, karena aku ingin lihat… sampai kapan kau bertahan dengan kemunafikanmu sendiri.”

Hatiku runtuh. Ternyata istriku tahu. Ternyata hidupku bukan rahasia. Yang munafik bukan hanya aku di hadapan dunia—tapi aku di hadapan diriku sendiri.

Esoknya, hidupku makin kacau. Kadang aku bangun di ranjang bersama istriku, kadang aku bangun di apartemen asing dengan botol minuman dan parfum wanita. Aku tidak tahu kapan aku menjadi aku, kapan aku menjadi “dia”.

Sampai suatu hari, istriku menatapku dengan wajah lelah.
“Rak… kapan kau berhenti berpura-pura? Aku tahu dari awal. Kau bukan hanya suami yang setia. Kau juga pria yang mendua. Aku biarkan, karena aku ingin lihat… sampai kapan kau bertahan dengan kemunafikanmu sendiri.”

Hatiku runtuh. Ternyata istriku tahu. Ternyata hidupku bukan rahasia. Yang munafik bukan hanya aku di hadapan dunia—tapi aku di hadapan diriku sendiri.

Sejak malam itu, aku akhirnya mengerti…
Munafik bukan hanya soal wajah yang berbeda di hadapan orang lain, tapi juga wajah yang kita sembunyikan dari diri sendiri. Aku terlalu sibuk menjaga citra “orang baik”, sampai lupa bahwa bagian gelap dalam diriku pun adalah nyata.

Dan justru ketika aku menolak mengakuinya, sisi itu tumbuh liar, mengambil alih, dan menghancurkan segalanya.

Kini aku tahu: kejujuran bukan sekadar berkata benar pada orang lain, tapi berani mengakui siapa dirimu sebenarnya. Karena orang bisa tertipu oleh senyum, tapi diri sendiri akan hancur bila terus hidup dalam kepura-puraan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun