Esoknya, hidupku makin kacau. Kadang aku bangun di ranjang bersama istriku, kadang aku bangun di apartemen asing dengan botol minuman dan parfum wanita. Aku tidak tahu kapan aku menjadi aku, kapan aku menjadi “dia”.
Sampai suatu hari, istriku menatapku dengan wajah lelah.
“Rak… kapan kau berhenti berpura-pura? Aku tahu dari awal. Kau bukan hanya suami yang setia. Kau juga pria yang mendua. Aku biarkan, karena aku ingin lihat… sampai kapan kau bertahan dengan kemunafikanmu sendiri.”
Hatiku runtuh. Ternyata istriku tahu. Ternyata hidupku bukan rahasia. Yang munafik bukan hanya aku di hadapan dunia—tapi aku di hadapan diriku sendiri.
Sejak malam itu, aku akhirnya mengerti…
Munafik bukan hanya soal wajah yang berbeda di hadapan orang lain, tapi juga wajah yang kita sembunyikan dari diri sendiri. Aku terlalu sibuk menjaga citra “orang baik”, sampai lupa bahwa bagian gelap dalam diriku pun adalah nyata.
Dan justru ketika aku menolak mengakuinya, sisi itu tumbuh liar, mengambil alih, dan menghancurkan segalanya.
Kini aku tahu: kejujuran bukan sekadar berkata benar pada orang lain, tapi berani mengakui siapa dirimu sebenarnya. Karena orang bisa tertipu oleh senyum, tapi diri sendiri akan hancur bila terus hidup dalam kepura-puraan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI