Mohon tunggu...
Ahmad Fawzy
Ahmad Fawzy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STIBA Arraayah

طالب العلم من المهد إلى اللهد

Selanjutnya

Tutup

Love

Bahasa Cinta di Balik Hijab

26 Maret 2021   14:27 Diperbarui: 31 Maret 2021   08:28 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak muslim Foto: Shutterstock 

Gadis kecil itu belum lagi genap berusia lima tahun, tapi ada hal 'menarik' yang membuat tangisnya pecah kala itu. Orang tuanya mengajaknya keluar rumah, namun terlupa untuk melengkapi pakaiannya dengan sebuah jilbab mungil yang memang biasanya ia gunakan. Si kecil menolak dengan terang-terangan, air matanya mengalir deras, tak ingin beranjak sebelum jilbab itu dipakaikan untuknya. Masyaallah... 

Perkara menutup aurat yang sejatinya belum ia pahami dengan landasan ayat apalagi tafsir, ternyata bisa menjadi sesuatu yang ringan saja untuk dikerjakan, bahkan mengusik hati tatkala ditinggalkan, saat kemudian fitrah keislaman itu terjaga dengan pembiasaan.

Fragmen di atas mungkin kerap kali kita temui. Sesuatu yang nampak sederhana, tapi cukup menggelitik untuk diulik. Mengapa kemudian seorang anak kecil bisa memiliki keinginan untuk menjaga auratnya, ketika kemudian banyak orang dewasa di sekelilingnya mungkin belum mempunyai kesadaran yang sama? Hati kanak-kanak yang masih ringan untuk menempuh kebaikan itu mungkin adalah jawabannya. Ternyata, naluri untuk beramal shalih itu memang selalu ada, kita hanya perlu untuk menumbuhsuburkannya dengan pemahaman yang lurus, untuk kemudian sadar, betapa setiap aturan-Nya tidak akan membawa kita ke jalan manapun kecuali kepada kemaslahatan.

Jika kita menengok pada sejarah di masa yang lampau, maka akan kita dapati tentang bagaimana peradaban memiliki cara pandang yang begitu rendah kepada wanita, masa di mana masyarakat mempertanyakan posisi seorang perempuan dalam nilai kemanusiaannya, dan kedudukannya disetarakan dengan benda-benda, bahkan lebih rendah lagi dari itu. Lalu kemudian Islam datang dengan bentuk-bentuk pemuliaan yang nyata. Derajat kaum wanita bersanding dengan pria di hadapan Allah, dengan ketakwaan sebagai parameternya. Aturan-aturan bagi kaum wanita hadir bukan untuk mengungkung gerak dan posisinya, tapi justru sebagai bentuk penjagaan agar kita berada dalam kondisi yang paling nyaman bagi fitrah kita sebagai perempuan.

Maka hijab di dalam syariat Islam sejatinya adalah bahasa tentang cinta, Bagaimana Allah menurunkan aturan yang dengan begitu lembut menunjukkan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya. Sang Pencipta tentu yang paling tahu perihal ciptaan-Nya. Demikian juga bagaimana seorang wanita yang begitu berharga kemudian dijaga dengan kewajiban menutup aurat untuk meletakkan posisinya pada indahnya sebuat penjagaan. Saat orang-orang yang memiliki  pemikiran yang bersebrangan dari itu menganggap syariat hijab sebagai sesuatu yang membatasi ruang gerak wanita, maka seharusnya kita sadar bahwa justru hijab adalah sebuah bentuk pembebasan.

Ya, saat mengenakannya, seorang wanita bebas untuk menentukan siapa yang berhak dan tidak berhak untuk melihat sesuatu yang ada pada dirinya. Maka bukankah itulah kebebasan yang sebenarnya? Ketika kemudian hari ini kita baru sibuk dengan kampanye untuk menghindari perkara body-shaming yang dianggap meresahkan bagi kesehatan mental, sejatinya sejak dulu Islam telah membawa syariat dengan titik tekan dimana kondisi fisik seseorang bukanlah alat ukur kemuliaan. Seorang muslimah hadir di tengah masyarakat dengan kiprah dan peranannya, tanpa harus dinilai dari seberapa mulus kulitnya, bagaimana lekuk tubuhnya, atau perkara tatanan rambutnya, karena kesemua hal itu tertutup dengan rapi di balik hijabnya.

Tapi, memang akan selalu ada tantangan di setiap zaman. Hari ini, kemudahan untuk mengakses sumber-sumber ilmu yang shahih juga berbanding lurus dengan arus perang pemikiran yang tidak kalah gencarnya. Kita bisa saja dibuat terkecoh dengan berbagai dalih yang dengan pongah ingin mematahkan langkah-langkah untuk menetapi jalan syariat-Nya. 

Dengan alasan hak asasi manusia, utak-atik tafsir dan ayat, dan bentuk-bentuk akal-akalan yang kebablasan, syariat pun dipertanyakan. Maka memang pada akhirnya tidak ada jalan lain untuk menangkal itu semua selain dengan mengharapkan pertolongan dari Allah dan ilmu agama.

Ayat-ayat tentang hijab telah terbentang dengan nyata, pembahasannya pun telah tuntas dikaji oleh para ulama. Kesadaran untuk memiliki semangat dalam mengilmui untuk kemudian mengamalkannya sejatinya akan memabawa kebaikan yang besar terutama kepada diri kita pribadi sebagai muslimah sebelum kemudian membawa kebaikan lain kepada masyarakat luas. Bayangkan betapa banyak pandangan mata yang berpotensi pada keburukan yang kemudian bisa dicegah dengan hadirnya syariat tentang hijab Ini. Maka ia memang bukan hanya membawa manfaat bagi pribadi, tapi juga secara tidak langsung menghindarkan masyarakat yang lebih luas dari potensi mudharat yang lebih besar.

Dan yang menjadi esensi dari semua itu adalah bahwa jilbab bukan hanya tentang selembar kain yang diletakkan di atas kepala, tapi merupakan bentuk ketaatan sebagai bukti keimanan kita kepada Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun