Setiap perjalanan usaha pasti memiliki cerita unik, begitu juga dengan kisah perjalanan bisnis milik maimun tamim, seorang mahasiswa akhir semester 2 jurusan manajemen di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Di tengah kesibukannya menempuh kuliah, maimun memutuskan untuk merintis usaha kecil-kecilan demi menambah pengalaman sekaligus membantu kebutuhan biaya kuliahnya. Namun siapa sangka, usaha kecilnya yang ia rintis ternyata mengalami beberapa kali perubahan hingga menemukan yang stabil seperti sekarang.
Semua berawal pada tahun 2024. Saat itu, maimun mulai tertarik untuk berbisnis terinspiransi dari ibunya yang pandai memasak, ia memutuskan membuka warung makan di depan rumah kontrakannya. Modal awal yang digunakan berasal dari tabungan pribadi saat ia mondok dulu serta pinjaman kecil dari saudaranya. Warung makan tersebut menyediakan menu rumahan seperti ayam goreng, nasi goreng, mie goreng dan menu lainnya.
Setiap pagi sebelum berangkat kuliah, maimun bangun lebih awal untuk mempersiapkan bahan-bahan dan mengelola dapur, maimun memanfaatkan waktu saat pulang kuliah untuk menjaga warung. Pelanggan utamanya adalah para mahasiswa, siswa SMA dan warga sekitar yang mencari makanan murah dengan rasa rumahan.
Pada awalnya, warung makan maimun berjalan cukup baik. Ia bisa menjual 30 sampai 40 porsi makanan setiap harinya. Namun setelah beberapa bulan, perlahan-lahan warung makan tersebut mulai kehilangan pelanggan. Semakin banyak pesaing bermunculan dengan harga yang lebih murah atau menu yang lebih bervariasi. Selain itu, maimun juga mulai kesulitan membagi waktu antara perkuliahan, tugas kampus, dan pengelolaan warung.
Melihat trend baru yang sedang ramai dikalangan anak muda, maimun kemudian memutuskan untuk beralih membuka usaha minuman kekinian, yakni ice boba. Ia melihat peluang besar karena banyak temen-temen kampusnya yang suka membeli minuman boba di berbagai franchise ternama. Dengan modal tambahan hasil penjualan peralatan warung makan, ia membeli booth kecil, blender, bahan-bahan boba, dan memulai usaha barunya pertengahan semester 1.
Pada awal usaha ice boba, penjualannya cukup menjanjikan. Banyak siswa sekolah, mahasiswa, hingga pekerja kantoran yang datang untuk membeli minuman booth sederhana yang diletakkan di teras rumah kontrakannya. Maimun menawarkan berbagai rasa seperti brown sugar boba, taro, matcha latte, dan coklat hazelnut. Untuk strategi pemasaran, ia memanfaatkan media sosial seperti instagram dan tiktok, dimana ia membuat konten video singkat tentang proses pembuatan minuman yang menarik perhatian.
Namun kesuksean tersebut tidak bertahan lama. Memasuki akhir semester 1, trend minuman boba mulai menurun. Muncul banyak gerai boba besar dengan harga promo yang sulit disaingi oleh usaha kecil milik maimun. Selain itu, inflasi yang menyebabkan naiknya harga bahan baku membuat keuntungan kian menipis. Jumlah pelanggan pun menurun drastis. Setelah mencoba bertahan beberapa bulan maimun akhirnya memutuskan untuk menutup usaha ice bobanya.
Meskipun sempat kecewa, maimun tidak patah semangat. Ia kemudian kembali mengamati kebutuhan masyarakat sekitar. Ia menyadari bahwa meskipun tren kuliner bisa naik turun, kebutuhan pokok masyarakat akan sembako dan barang kelontongan tetap stabil. Atas saran saudaranya yang ada di Madura dan telah lebih dahulu menjalankan usaha kelontong, maimun memutuskan untuk membuka warung kelontongan dengan konsep warung Madura.
Dengan memanfaatkan sisa tabungan dan meminjam rak bekas dari saudaranya, pada awal pertengahan semester 2 maimun resmi membuka warung kelontongan kecil. Awalnya hanya menjual beras, minyak, gula, sabun, mie instan, dan minuman ringan, namun seiring waktu, barang dagangan di warungnya semakin lengkap. Ia mulai menjual pulsa, token listrik, gas elpiji, hingga makanan ringan untuk anak-anak.
Karena mengikuti konsep warung Madura, dengan bantuan saudaranya jam bukanya 24 jam dengan bergantian menjaga warungnya. Hal ini sangat membantu pelanggan yang sering membutuhkan barang mendadak di malam hari. Beberapa pelanggan tetapnya juga merupakan tetangga sekitar yang merasa nyaman berbelanja di warung maimun karena bisa berutang secara harian, sesuatu yang jarang bisa dilakukan di minimarket modern.