"Demokrasi cuma formalitas, demokrasi omong-kosong, demokrasi bla-bla-bla", ucap para netizen Indonesia di berbagai platform media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan lain-lain. Belakangan ini media sosial digempur oleh berbagai keresahan dan keprihatinan masyarakat terhadap sistem pemerintahan yang dianggap sudah ada tendensi keotoriteran, hal ini dapat ditinjau dari berbagai media yang menampilkan berita-berita terkait kebijakan baru gagasan pemerintah yang dianggap merugikan di belah pihak lain seperti masyarakat. Kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah banyak menuai kontra dari berbagai pihak terkhususnya para Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia. Mereka mengadakan berbagai aksi unjuk rasa di berbagai tempat, seperti jalanan, kantor pemerintah, dan kampus. Salah satu kebijakan yang masih banyak dikritik oleh banyak kalangan seperti intelektual, mahasiswa, aktivis, ialah Pengesahan RUU TNI yang menuai banyak kontradiksi, dianggap sebagai kebijakan yang hanya menguntungkan suatu pihak tertentu, bahkan, dikhawatirkan akan berdampak pada terjadinya kembali keeksistensian TNI dalam sektor warga sipil, seperti yang terjadi pada zaman orde baru di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Aksi perlawanan terhadap RUU TNI ini tidak hanya ditempuh melalui pengunjukan rasa masyarakat, tetapi  juga melalui jalur formal. Tidak jarang para aktivis mendapat perlawanan balik dari para aparat bersenjata melalui kekerasan fisik, intimidasi, penculikan, dan lainnya. Sebut saja 3 mahasiswa UII (Universitas Islam Indonesia): Arung, Handika, dan Irsyad yang menjadi pemohon atas uji formil/materi (judicial review) Undang-Undang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengaku mengalami intimidasi dari pihak-pihak yang tak dikenal. Menurut laporan Tempo (2025), "Mereka menuturkan bahwa ketiga mahasiswa ini mengaku bahwa pelaku mendatangi rumah mereka dan menggali informasi pribadi mereka dengan mengatasnamakan MK.
Â
Hal itu dialami oleh Handika di Penawangan, Grobogan, Jawa Tengah, pada 18 Mei 2025. Dua orang tak dikenal mengaku sebagai utusan MK mendatangi Ketua RT setempat. Di tempat lain, prajurit Babinsa mengambil data Arung atas perintah Kodim 0815 Mojokerto. Informasi ini didapat dari ayah Arung yang menjabat sebagai kepala desa setempat. Ia curiga setelah mengetahui adanya pengambilan data dari kantor desa pada 19-20 Mei 2025. Sedangkan Irsyad, yang berdomisili di Marga Tiga, Lampung Timur, juga mengalami hal serupa. Ada seorang pria mengaku berasal dari MK dan mendatangi rumah ketua RT di tempat tinggalnya. Sumber: https://www.instagram.com/p/DJ_RVHyvRsh/?img_index=1.
Tentu saja ini bukan suatu hal yang hanya bisa dianggap isapan jempol belaka, karena hal inu benar-benar mengancam bahkan menutup hak konstitusional warga untuk menyampaikan suara terhadap pemerintah. Jelas sekali bahwa negara yang menganut sistem demokrasi tidak berhak untuk membungkam warganya yang kritis terhadap pemerintah. Hal seperti ini harus segera dihapus agar tidak menjadi demokrasi yang sekedar formalitas belaka.
Setiap warga negara Indonesia punya hak untuk menguji undang-undang yang dianggap bermasalah ke Mahkamah Konstitusi. Ini disebut uji formil, yaitu permohonan untuk menilai apakah suatu undang-undang dibentuk dengan cara yang sesuai prosedur, bukan soal isinya.
Hak ini dijamin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Jadi, ketika tiga mahasiswa mengajukan uji formil terhadap UU TNI, mereka sedang menjalankan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.
Tindakan ini seharusnya dihargai, bukan justru mendapat tekanan. Demokrasi yang sehat memberi ruang bagi kritik dan koreksi, apalagi jika dilakukan melalui jalur hukum yang sah. Uji formil adalah bentuk partisipasi warga dalam menjaga kualitas hukum di negeri ini.
Kembali kita tilik soal informasi pribadi masing-masing korban yang dimintai tanpa adanya izin dan persetujuan yang sah dari kedua belah pihak, oknum-oknum yang mengaku sebagai utusan MK menciptakan pola dominasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki otoritas, sehingga hanya akan dipandang sebagai penghalang dalam tujuan yang politis
Data pribadi merupakan instrumen yang sangat krusial bagi seorang individu, karena menyangkut berbagai informasi seputar data-data yang dimiliki, mulai dari nama, keluarga, profesi, dan alamat. Itu semua adalah hal yang sangat sensitif dan menjadi sesuatu yang tabu apabila pihak lain berusaha untuk menggali kehidupan si empunya identitas. Apabila data identitas seseorang dimanfaatkan pihak lain untuk kepentingan pribadi maka secara tidak lansung akan menimbulkan kejahatan seperti pemerasan, penipuan, bahkan ancaman. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk selalu menjaga identitas atau data pribadi, karena itu merupakan bagian dari privasi kita.
Dalam UU Perlindungan Data Pribadi No. 27 tahun 2022 (UU PDP) secara tegas melindungi setiap orang atas data pribadinya. Dalam pasal 65 ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran (melawan) hukum dalam mengakses, memperoleh, dan mengungkapkan data pribadi orang lain dapat dikenai sanksi pidana.