Krisis energi global, perubahan iklim, dan ketergantungan tinggi pada bahan bakar fosil menjadi tantangan besar bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Sektor transportasi merupakan penyumbang utama emisi karbon dan konsumsi energi fosil. Dalam konteks ini, pengembangan bahan bakar alternatif menjadi solusi strategis. Salah satu alternatif yang potensial adalah campuran bensin dengan etanol atau yang dikenal sebagai gasohol. Etanol yang berasal dari bahan nabati seperti tebu, singkong, atau jagung tergolong bioetanol, yaitu bahan bakar terbarukan yang dapat memperkaya diversifikasi energi nasional.
Di Indonesia, kebijakan penggunaan bensin campur etanol mencerminkan upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak, mendukung sektor pertanian, serta memperkuat ketahanan energi nasional. Meskipun gagasan ini sudah muncul sejak dua dekade lalu, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala teknis dan ekonomis. Esai ini membahas kebijakan pemerintah Indonesia dalam penerapan bensin campur etanol, tantangan yang dihadapi, serta arah pengembangannya di masa depan.
Kebijakan Pemerintah tentang Bioetanol
Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian serius terhadap energi terbarukan sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dokumen tersebut menargetkan porsi energi baru dan terbarukan mencapai 17% dari total bauran energi nasional pada tahun 2025. Salah satu bentuk implementasinya adalah penggunaan bahan bakar nabati (BBN), termasuk bioetanol sebagai campuran bensin.
Selanjutnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati menetapkan program mandatori bioetanol dengan kadar pencampuran tertentu, seperti E5, E10, dan E20. Artinya, bensin yang beredar seharusnya mengandung 5--20% etanol sesuai target tahapan waktu. Program ini diharapkan dapat menurunkan impor bensin, mendorong industri lokal, dan menciptakan lapangan kerja di sektor hulu pertanian.
Namun, meskipun kebijakan tersebut progresif di atas kertas, tingkat implementasinya masih rendah. Hingga 2024, Indonesia belum mampu menerapkan mandatori etanol secara nasional. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pasokan bioetanol dalam negeri. Sebagian besar produksi etanol di Indonesia masih digunakan untuk industri non-energi, seperti farmasi, kosmetik, dan makanan. Dengan demikian, kebutuhan untuk sektor bahan bakar belum terpenuhi.
Potensi Produksi dan Ketersediaan Bahan Baku
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk memproduksi etanol. Tanaman seperti tebu, singkong, dan sagu melimpah di berbagai daerah tropis. Limbah pertanian seperti molase (tetes tebu) juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi etanol. Menurut data Kementerian ESDM, jika potensi ini dimanfaatkan secara optimal, Indonesia mampu menghasilkan jutaan liter bioetanol per tahun.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kapasitas produksi masih terbatas. Sebagian besar pabrik etanol berlokasi di Jawa Timur dan terintegrasi dengan pabrik gula, seperti PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Mojokerto. Ketergantungan terhadap industri gula membuat produksi etanol fluktuatif dan rentan terhadap perubahan harga bahan baku. Di sisi lain, investasi pada pabrik etanol baru masih minim karena rendahnya jaminan pasar dan tingginya biaya produksi.
Tantangan Implementasi Kebijakan
Kebijakan bensin campur etanol di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, baik dari sisi teknis, ekonomi, maupun kelembagaan.
- Keterbatasan Infrastruktur dan Teknologi.
Distribusi etanol membutuhkan sistem penyimpanan dan transportasi khusus karena sifat etanol yang mudah menyerap air. Banyak SPBU di Indonesia belum memiliki fasilitas yang sesuai untuk menyalurkan bahan bakar campuran ini. - Tingginya Biaya Produksi.
Harga produksi bioetanol di dalam negeri masih lebih tinggi dibandingkan bensin impor. Tanpa subsidi atau insentif pajak, produsen enggan memproduksi etanol dalam jumlah besar. - Koordinasi Antar-Kementerian.
Pengembangan bioetanol melibatkan berbagai instansi seperti Kementerian ESDM, Pertanian, dan Perindustrian. Namun, koordinasi antar-lembaga sering kali tidak sinkron, menyebabkan implementasi kebijakan berjalan lambat. - Kurangnya Kesadaran Publik dan Dukungan Industri Otomotif.
Sebagian masyarakat masih ragu menggunakan bensin campur etanol karena khawatir dapat merusak mesin. Padahal, campuran E5 dan E10 aman untuk kendaraan modern. Produsen otomotif juga belum sepenuhnya menyediakan kendaraan dengan sertifikasi bahan bakar E20 ke atas.