Mohon tunggu...
Fauzan Vito Armiriawan
Fauzan Vito Armiriawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

little dreamer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

17 April 2021   05:52 Diperbarui: 17 April 2021   05:52 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) - devpolicy.org

Fenomena Budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Lingkar Anggota Dewan serta Relasinya dengan Partai Politik

I. Pengantar

Fenomena budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada sejak zaman pra kemerdekaan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme atau yang biasa disingkat "KKN" bukanlah masalah baru yang dihadapi bangsa ini. Berbagai upaya sudah dilakukan demi mencegah adanya praktik KKN. Kendati demikian, tetap saja upaya-upaya preventif yang dilakukan kebanyakan tidak berhasil. Ketidakberhasilan ini bukan tanpa alasan, sebab pelaku KKN mayoritas merupakan pemangku jabatan tinggi yang memiliki backingan kuat di belakangnya. Tidak mengherankan jika para pelaku KKN khususnya korupsi akan dengan mudah terbebas dari jeratan hukum, bahkan tidak ditindak sama sekali oleh aparat penegak hukum.

Pesta budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Dalam masa kepemimpinan rezim Soeharto, budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat lestari dan dianggap lumrah oleh para pemangku kepentingan di Indonesia. Korupsi yang merajalela dari tingkat pusat hingga daerah menjadi penyebab pembangunan yang tidak merata. Akibatnya, daerah 3T (terluar, terpencil, dan terbelakang) seakan terlupakan dari kaca mata pemerintahan Soeharto. Pembangunan yang begitu masif hanya terpusatkan di pulau Jawa, khususnya Jakarta. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial dan ketimpangan ekonomi antara sentral pembangunan dengan daerah 3T.

Betapa luasnya kolusi pada era Orde Baru begitu kelam. Pada masa kepemimpinan rezim Soeharto, berbagai bentuk kolusi yang terjadi antara lain percukongan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan militer yang ditujukan kepada para pengusaha yang mana mayoritas melibatkan pengusaha Cina. Kolusi antara pribumi dengan orang Cina melahirkan istilah Ali Baba (Ali merupakan simbol pribumi, sedangkan Baba merupakan simbol orang Cina).

Budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia sering dijumpai pada lingkup legislatif khususnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mayoritas oknum pelaku KKN merupakan anggota aktif dewan, baik di Senayan (tingkat pusat) maupun di tingkat daerah. Budaya KKN ini sudah seperti nikotin pada rokok yang menyebabkan candu, bedanya para pejabat ini kecanduan untuk terus menerus melakukan KKN demi kepentingan diri sendiri dan segelintir golongan.

II. Definisi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)

KKN merupakan singkatan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiga hal tersebut kerap kali disandingkan karena mayoritas pelakunya berasal dari kalangan pemangku jabatan, khususnya dalam lingkar legislatif anggota dewan. Sebenarnya, ketiga hal tersebut memiliki maknanya masing-masing. Korupsi merupakan suatu tindakan penyelewengan keuangan yang semula diberi amanah untuk tujuan yang jelas dan terstruktur, namun diambil sebagian oleh pelaku demi keuntungan pribadi atau segelintir golongan tertentu. Menurut Suradi (2014: 61) dan Wattimena (2012: 8) korupsi berasal dari bahasa corruptio atau corruptus. Kata corruptio atau corruptus sebagai asal kata korupsi memiliki arti yang beragam, yakni "tindakan yang merusak atau menghancurkan". Mengacu kepada Haryatmoko, kata korupsi memiliki antonim dengan kata integritas. Berdasarkan pemikiran Ahmad (2010: 22) kolusi merupakan suatu tindakan kerja sama atau persekongkolan secara tidak resmi (ilegal dan rahasia) demi sebuah tujuan tertentu. Lantas menurut pandangan Dahnil (2014: 45) nepotisme merupakan suatu sifat atau keadaan dimana lebih mementingkan dan mengutamakan kerabat atau sanak saudara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Ketiga budaya tersebut lumrah dilakukan oleh anggota dewan khususnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kasus korupsi yang biasa mereka lakukan yaitu berupa pemotongan dana dari pusat, penyelewengan dana dari pusat, pembuatan laporan keuangan tahunan yang tidak benar, dan sejenisnya. Dampak yang mayoritas dapat dirasakan masyarakat umum yaitu usangnya fasilitas umum khususnya kondisi jalan yang tidak layak dan membahayakan pengguna jalan. Hal tersebut dikarenakan anggaran untuk pembagunan jalan dikorupsi sehingga kualitas aspal tidak sesuai standar. Untuk kasus kolusi, anggota dewan biasa melakukan persekongkolan dengan pihak swasta, seperti pihak swasta yang ingin membuka pabrik semen yang sudah pasti akan mencemari lingkungan sekitar. Protes dari warga terus berdatangan meminta pemerintah untuk turun tangan, akan tetapi karena pemerintah dan anggota dewan sudah bersekongkol, maka proyek pembangunan pabrik tetap dilaksanakan dan jeritan protes dari rakyat dihiraukan begitu saja. Terakhir yaitu nepotisme di mana anggota dewan akan lebih mengutamakan kerabat atau sanak saudaranya untuk menduduki posisi strategis dalam pemerintahan. Hal ini bisa dikatakan sebagai politik balas budi.

III. Hubungan Antara Budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan Partai Politik

Partai politik merupakan salah satu infrastruktur politik yang penting dalam suatu negara demokrasi. Partai politik mendapatkan pengakuan secara konstitusional di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Indonesia merupakan negara yang menganut sistem multipartai yang berarti jumlah terdapat berbagai partai politik yang bertanding dan/atau bersaing melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu) serta dapat berkoalisi antara satu dengan yang lainnya. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka dapat disimpulkan bahwa setiap calon anggota dewan (DPR-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) wajib berasal dan diusung oleh salah satu partai politik. Tingginya tingkat kasus KKN di lingkar anggota dewan menjadi petunjuk bahwa usungan partai politik tersebut tidak kredibel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun