Laporan laba rugi menunjukkan keadilan distributif, yaitu bagaimana keuntungan dibagi secara adil antara tenaga kerja, pemilik modal, dan masyarakat.
Pajak menggambarkan ekspresi solidaritas sosial, karena merupakan kontribusi etis perusahaan terhadap kesejahteraan umum.
Melalui penafsiran hermeneutik, angka dipahami sebagai teks moral yang mengandung nilai-nilai kehidupan, bukan sekadar objek matematis. Dengan demikian, akuntansi tidak hanya berurusan dengan apa yang tampak dalam laporan, tetapi juga nilai-nilai yang tersembunyi di baliknya — seperti tanggung jawab sosial, empati, dan moralitas.
b. Transparansi dan Tanggung Jawab sebagai Nilai Aksiologis
Prinsip aksiologi dalam akuntansi hermeneutik menekankan bahwa setiap tindakan akuntansi harus berlandaskan tanggung jawab (Verantwortung).
Setiap laporan keuangan bukan hanya alat pertanggungjawaban ekonomi, melainkan juga bentuk kejujuran eksistensial kepada masyarakat.
Dalam konteks ini, transparansi dipahami bukan hanya sebagai kewajiban hukum atau regulasi, tetapi sebagai sikap etis dan moral untuk “membiarkan makna hidup terlihat.” Artinya, akuntan harus menyajikan laporan dengan kejujuran dan keterbukaan agar realitas sosial dan moral yang ada di balik angka-angka tersebut dapat dipahami secara utuh.
5. Aksiologi Akuntansi Hermeneutik: Nilai, Empati, dan Makna Moral
Setelah memahami bagaimana pengetahuan dan realitas dalam akuntansi dapat dijelaskan melalui hermeneutika, langkah berikutnya adalah memahami dimensi aksiologis, yaitu nilai dan tujuan moral dari ilmu akuntansi itu sendiri. Aksiologi berbicara tentang apa yang dianggap baik, benar, dan bernilai dalam suatu ilmu. Dalam pandangan Dilthey, pemahaman terhadap manusia tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kehidupan yang dihayatinya. Ilmu tanpa nilai adalah pengetahuan yang kering dan kehilangan arah kemanusiaan.
Dalam konteks akuntansi, nilai menjadi pusat dari seluruh aktivitas pencatatan dan pelaporan. Setiap angka, laporan, atau keputusan keuangan mengandung pilihan moral: apakah mencatat secara jujur atau memanipulasi data, apakah menekankan keuntungan semata atau memperhatikan tanggung jawab sosial. Dilthey menyebut nilai kehidupan ini sebagai Lebenswert---dimensi batin yang memberi arah pada tindakan manusia. Akuntansi yang berlandaskan Lebenswert tidak hanya mengejar efisiensi, tetapi juga kebaikan hidup. Misalnya, akuntansi sosial dan akuntansi syariah tidak hanya berorientasi pada laba, tetapi juga pada keadilan distributif, keseimbangan, dan keberlanjutan moral.
Selain nilai, empati (Einfhlung) merupakan unsur penting dalam aksiologi hermeneutik. Empati, bagi Dilthey, bukan sekadar perasaan kasihan, melainkan kemampuan untuk menghidupkan kembali pengalaman orang lain secara batin. Dalam akuntansi, empati menjadi dasar moral bagi akuntan, auditor, maupun peneliti. Akuntan yang berempati tidak hanya membaca angka, tetapi juga memahami nasib di balik angka tersebut nasib pekerja, masyarakat, dan lingkungan yang terlibat dalam sistem ekonomi. Auditor yang berempati tidak hanya menilai ketaatan terhadap aturan, tetapi juga memahami dilema etis yang dihadapi klien. Dengan empati, akuntansi menjadi profesi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga arif secara moral.
Lebih jauh, setiap angka dalam akuntansi memiliki makna moral (Sittlicher Sinn). Angka-angka bukanlah entitas mati, melainkan hasil dari keputusan moral yang hidup. Neraca mencerminkan keseimbangan moral antara hak dan kewajiban, laba menunjukkan hasil kerja keras dan tanggung jawab sosial, sedangkan pajak mencerminkan solidaritas dengan masyarakat. Dalam pandangan hermeneutik, angka-angka ini harus dibaca seperti teks moral ia berbicara tentang kejujuran, keadilan, dan niat baik (guter Wille). Maka, laporan keuangan bukan hanya laporan ekonomi, tetapi juga laporan etis yang menunjukkan bagaimana suatu entitas berperilaku di tengah masyarakat.