Mohon tunggu...
fauzan assidiq
fauzan assidiq Mohon Tunggu... Mahasiswa

Ayo belajar di Baduy!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu Dipisah: Solusi Demokrasi atau Drama Politik Baru

10 Oktober 2025   17:26 Diperbarui: 11 Oktober 2025   00:09 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak diberlakukannya Pemilu Serentak pada 2019, Indonesia mengalami tantangan besar dalam pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan. Model “lima kotak” yang memadukan pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu waktu dianggap terlalu kompleks. Banyak pihak menilai bahwa pemilu serentak bukan hanya membebani penyelenggara, tetapi juga mengaburkan fokus antara isu nasional dan isu lokal. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya merespons kritik tersebut melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang menetapkan bahwa mulai tahun 2029, pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) akan dipisahkan dari pemilu lokal (Gubernur, Bupati/Walikota, dan DPRD). Keputusan ini memunculkan perdebatan baru: apakah pemisahan tersebut akan memperkuat demokrasi Indonesia atau justru menambah persoalan baru?
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu serentak 2019 menimbulkan berbagai persoalan teknis dan substansial. Surbakti dan rekan (2020) menemukan bahwa beban administratif penyelenggara meningkat drastis, diikuti dengan meningkatnya potensi kelelahan dan kesalahan dalam proses penghitungan suara. Muhtadi (2023) juga menyoroti bahwa pemilu serentak mempersulit pemilih dalam memahami kandidat karena jumlah pilihan yang terlalu banyak. Selain itu, Ufen (2020) menilai bahwa sistem pemilu yang terlalu kompleks justru dapat mengaburkan akuntabilitas politik partai di tingkat lokal. Dengan latar belakang inilah, ide pemisahan pemilu menjadi relevan untuk dibahas kembali.
Dari sisi teori demokrasi, gagasan pemisahan pemilu nasional dan lokal dapat dijelaskan melalui konsep embedded democracy, yakni demokrasi yang memberi ruang bagi institusi lokal untuk berkembang tanpa bayang-bayang politik nasional. Ketika pemilihan kepala daerah dan legislatif lokal diselenggarakan bersamaan dengan pemilihan presiden, isu-isu nasional cenderung mendominasi ruang publik. Akibatnya, pemilih kurang memperhatikan kualitas calon kepala daerah, karena perhatian mereka tersedot pada kontestasi nasional yang lebih menarik perhatian media. Pemisahan waktu pemilu diyakini dapat mengembalikan fokus itu, memberikan kesempatan bagi isu-isu lokal untuk mendapat perhatian yang lebih proporsional.
Secara empiris, banyak negara telah memisahkan jadwal pemilu nasional dan lokal. Amerika Serikat, India, dan Filipina adalah contoh negara demokrasi besar yang melaksanakan pemilu secara terpisah, dengan tujuan agar masyarakat dapat menilai kinerja pejabat lokal tanpa dipengaruhi popularitas figur nasional. Studi dari Journal of Democracy (2022) menunjukkan bahwa pemilu lokal yang terpisah dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintahan daerah karena pemilih menilai kandidat berdasarkan isu yang lebih dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Dalam konteks Indonesia, pemisahan ini berpotensi memperkuat desentralisasi politik dan memperdalam praktik demokrasi di tingkat lokal.
Namun, kebijakan pemisahan pemilu tidak lepas dari tantangan serius. Salah satu masalah utama adalah persoalan biaya dan efektivitas. Menyelenggarakan dua kali pemilu dalam periode yang berdekatan jelas memerlukan dana lebih besar, logistik tambahan, serta kesiapan sumber daya manusia yang lebih matang. Selain itu, pemisahan jadwal juga berpotensi menimbulkan ketidaksinkronan antara kebijakan nasional dan daerah, terutama jika hasil pemilu menghasilkan konfigurasi politik yang berbeda. Beberapa ahli hukum tata negara, seperti yang dikutip oleh Hukumonline.com, menilai bahwa pemerintah harus menyiapkan aturan transisi yang jelas agar tidak terjadi kekosongan jabatan atau perpanjangan masa jabatan yang tidak konstitusional.
Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 memang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas demokrasi, tetapi implementasinya harus diiringi kesiapan regulasi dan kelembagaan. Tanpa perencanaan yang matang, pemisahan ini justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum baru. Selain itu, tantangan lain yang perlu diantisipasi adalah potensi penurunan partisipasi pemilih. Dalam teori second-order election, pemilu lokal yang terpisah dari pemilu nasional sering kali mengalami penurunan tingkat partisipasi karena dianggap kurang penting. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus memperkuat sosialisasi dan pendidikan politik agar masyarakat tetap antusias mengikuti pemilu lokal.
Meski begitu, terdapat pula keuntungan besar dari pemisahan pemilu ini. Pertama, pemilih akan memiliki fokus yang lebih baik terhadap isu dan calon di tingkat lokal tanpa terpengaruh dinamika nasional. Kedua, beban kerja penyelenggara pemilu dapat terbagi lebih proporsional, sehingga kualitas pengawasan dan pelayanan publik selama masa pemilu bisa meningkat. Ketiga, partai politik memiliki kesempatan untuk membangun strategi yang lebih matang, menyesuaikan karakteristik pemilih di setiap tingkatan pemerintahan. MK sendiri menegaskan bahwa tujuan utama pemisahan ini adalah untuk menciptakan pemilu yang lebih efisien, adil, dan berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan semata kepentingan elite politik.
Agar pemisahan pemilu ini berhasil, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus merumuskan undang-undang transisi yang jelas dan konstitusional agar tidak terjadi tumpang tindih masa jabatan. Kedua, kapasitas kelembagaan KPU dan Bawaslu, terutama di tingkat daerah, perlu diperkuat agar mampu menyelenggarakan pemilu lokal secara mandiri. Ketiga, sosialisasi yang masif harus dilakukan kepada masyarakat agar memahami perubahan sistem dan jadwal pemilu. Keempat, pemerintah dapat melakukan uji coba atau pilot project pemisahan di beberapa daerah untuk mengidentifikasi tantangan di lapangan sebelum diterapkan secara nasional. Dan terakhir, perlu ada evaluasi berkelanjutan oleh lembaga independen agar hasilnya bisa diukur secara objektif.
Secara keseluruhan, pemisahan antara pemilu nasional dan lokal merupakan langkah penting menuju penyempurnaan sistem demokrasi di Indonesia. Gagasan ini bukan tanpa risiko, tetapi juga membuka peluang besar untuk memperkuat representasi politik di tingkat lokal. Dengan desain transisi yang baik, dukungan kelembagaan yang kuat, serta partisipasi masyarakat yang terjaga, pemisahan pemilu dapat menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas demokrasi kita. Pemilu bukan sekadar rutinitas politik, melainkan refleksi kedewasaan bangsa dalam berdemokrasi. Dan langkah menuju demokrasi yang matang sering kali dimulai dari keberanian untuk berubah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun