Surakarta, Oktober 2025 --- Suasana kekecewaan menyelimuti dunia sepak bola nasional. Harapan besar yang sempat menggebu di awal tahun kini berubah menjadi rasa frustrasi di kalangan suporter. Timnas Indonesia yang digadang-gadang mampu menembus babak lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 justru tersingkir dengan cara menyakitkan. Kekalahan beruntun, permainan yang tak stabil, serta keputusan pergantian pelatih yang dianggap tergesa-gesa membuat kepercayaan publik terhadap federasi menurun drastis.
Ekspektasi Tinggi yang Berujung Kekecewaan
Sepak bola Indonesia selalu memiliki tempat istimewa di hati masyarakat. Setiap kali tim Garuda bertanding, stadion selalu penuh, televisi ramai penonton, dan media sosial menjadi ajang perdebatan panas. Namun, sepanjang 2025, antusiasme itu berubah menjadi keresahan. Di bawah asuhan Patrick Kluivert, performa Timnas Indonesia jauh dari harapan.
Dari enam laga penting di babak kualifikasi, skuad Garuda hanya mampu mencatat dua kemenangan---masing-masing atas Bahrain dan Tiongkok. Empat laga lainnya berakhir pahit, termasuk kekalahan telak 1--5 dari Australia dan 0--6 dari Jepang. Dua kekalahan terakhir bahkan disebut sebagai "hasil terburuk Indonesia dalam satu dekade terakhir" oleh sejumlah media asing. Akibat hasil tersebut, peluang Indonesia untuk melangkah ke putaran final Piala Dunia 2026 resmi tertutup.
Pelatih Patrick Kluivert mengakui performa tim belum stabil. "Kami menciptakan banyak peluang, tetapi penyelesaian akhir menjadi masalah besar. Kami harus bekerja lebih keras," ujar Kluivert seusai laga melawan Arab Saudi. Namun pernyataan itu tak cukup menenangkan suporter yang menilai bahwa tim nasional sedang kehilangan arah permainan.
Pergantian Pelatih yang Memicu Polemik
Keputusan PSSI untuk mengganti Shin Tae-yong dengan Patrick Kluivert pada Januari 2025 menjadi salah satu momen paling kontroversial dalam sejarah sepak bola Indonesia. Shin, pelatih asal Korea Selatan yang menangani tim sejak 2020, dianggap telah membawa banyak kemajuan. Di bawah arahannya, Timnas Indonesia berhasil menembus final Piala AFF 2020, tampil kompetitif di Piala Asia 2023, dan meningkatkan peringkat FIFA hingga ke posisi 130-an---tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Namun, kontraknya diputus sebelum berakhir. Federasi berdalih ingin menghadirkan pelatih dengan filosofi Eropa agar bisa membawa timnas ke level lebih tinggi. Patrick Kluivert, mantan striker legendaris Belanda, pun diperkenalkan dengan kontrak hingga 2027. Meski disambut dengan rasa penasaran, kehadirannya segera memicu perdebatan. Banyak pihak menilai pergantian tersebut terlalu cepat dan tanpa rencana transisi yang jelas.
"Pergantian pelatih itu bukan masalah jika dilakukan dengan perencanaan matang. Tapi dalam kasus ini, terlihat seperti keputusan instan," kata pengamat sepak bola nasional, Bambang Purnomo. Menurutnya, fondasi yang sudah dibangun Shin Tae-yong seharusnya dilanjutkan, bukan diganti secara mendadak.
Kluivert datang membawa gaya menyerang khas Eropa. Ia mengubah formasi menjadi 4-3-3 dan mendorong tim bermain lebih terbuka. Namun, strategi itu justru membuat pertahanan Indonesia rapuh dan mudah ditembus lawan. Para pemain tampak kesulitan menyesuaikan diri dengan filosofi baru yang menuntut kecepatan tinggi dan transisi cepat. "Kami masih dalam proses adaptasi. Butuh waktu agar pemain memahami filosofi saya," ucap Kluivert dalam konferensi pers pertamanya di Jakarta.
Survei: Hampir Separuh Suporter Kecewa
Gelombang ketidakpuasan publik terkonfirmasi dalam survei yang dilakukan oleh Football Institute pada September 2025. Dari 1.200 responden suporter, sebanyak 46,8 persen menyatakan kecewa terhadap performa Timnas Indonesia dalam setahun terakhir. Hanya 18,5 persen responden yang menyatakan puas, sementara 25,7 persen menilai performa tim masih "biasa-biasa saja".
Lebih jauh, 36 persen responden menyebut kegagalan lolos ke semifinal Piala AFF 2024 sebagai pemicu utama kekecewaan. Sebagian lainnya menyoroti keputusan pelatih yang tidak memanggil sejumlah pemain senior dan lebih mengandalkan pemain muda U-22. Ada pula yang menilai Kluivert terlalu cepat merombak strategi tanpa memahami kekuatan dasar timnas.
"Suporter Indonesia bukan sekadar penggemar. Mereka adalah stakeholder emosional yang ikut memiliki tim ini," kata peneliti Football Institute, Ahmad Kurniawan. "Ketika ekspektasi tinggi tidak terpenuhi, wajar jika muncul gelombang kritik."
Ledakan Emosi di Tribun dan Media Sosial
Atmosfer kekecewaan suporter terlihat jelas di stadion. Dalam pertandingan terakhir di Stadion Utama Gelora Bung Karno, spanduk-spanduk protes membentang di tribun. Beberapa bertuliskan "Kami Butuh Konsistensi, Bukan Eksperimen" dan "Garuda Bukan Bahan Uji Coba." Sejumlah kelompok pendukung seperti Garuda Fans Club dan Ultras Merah Putih juga menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap federasi.
Di media sosial, tekanan bahkan lebih besar. Tagar #KluivertOut, #ErickEvaluasiTimnas, dan #GarudaDalamKrisis sempat menduduki trending topic di platform X (Twitter) selama beberapa hari berturut-turut. Banyak warganet menilai keputusan federasi mengganti pelatih justru membuat tim kehilangan identitas.
"Tim ini tidak punya arah. Dari era Shin Tae-yong yang disiplin dan realistis, sekarang berganti ke gaya menyerang yang belum cocok dengan karakter pemain lokal," tulis akun @GarudaMerah di media sosial. Komentar serupa juga datang dari mantan kiper timnas Andritany Ardhiyasa. "Kami dulu punya semangat juang tinggi. Sekarang sepertinya pemain lebih takut melakukan kesalahan daripada ingin menang," tulisnya.
Federasi dalam Tekanan Publik
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menyadari meningkatnya tekanan publik. Dalam konferensi pers di Jakarta, ia menegaskan bahwa federasi tetap memberikan waktu bagi Patrick Kluivert untuk memperbaiki tim. "Kami sedang membangun pondasi jangka panjang. Butuh proses untuk menghasilkan tim yang solid dan berkarakter," ujar Erick.
Namun, ia juga mengakui bahwa federasi harus memperbaiki komunikasi publik agar suporter memahami arah pembangunan timnas. "Kritik dari suporter adalah energi positif, tapi kami juga perlu ruang untuk bekerja. Yang terpenting, semua pihak tetap mendukung Garuda," tambahnya.
Meski begitu, beberapa pengamat menilai bahwa federasi perlu bersikap lebih terbuka. "Suporter sekarang lebih cerdas dan ingin tahu alasan di balik setiap keputusan. Transparansi adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik," kata akademisi olahraga dari Universitas Negeri Jakarta, Dr. Yuliani Rachma. Ia menilai, kekecewaan suporter bukan semata karena hasil, tetapi karena kurangnya kejelasan arah kebijakan federasi.
Tekanan Psikologis Pemain di Tengah Krisis
Krisis performa dan tekanan publik juga berdampak langsung pada kondisi psikologis pemain. Beberapa pemain mengaku merasa terbebani dengan ekspektasi tinggi dan kritik keras dari publik. "Kami ingin memberikan yang terbaik, tapi tekanan itu luar biasa. Kadang membuat kami tidak bisa bermain lepas," ujar salah satu pemain yang enggan disebutkan namanya.
Psikolog olahraga menilai kondisi tersebut berpotensi menurunkan motivasi intrinsik tim. Menurut teori motivasi McClelland, pemain membutuhkan dorongan positif dan rasa aman untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Dalam situasi penuh tekanan, pelatih dituntut menjadi figur yang mampu mengelola emosi tim sekaligus menjaga mental juang pemain di tengah badai kritik.
"Pelatih yang baik bukan hanya perancang taktik, tetapi juga pemimpin yang bisa menenangkan tim di saat sulit," ujar pakar psikologi olahraga, Dwi Hartanto. Ia menambahkan bahwa perubahan pelatih yang terlalu sering dapat mengganggu stabilitas mental pemain, terutama pemain muda yang baru beradaptasi di level internasional.
Harapan Baru dan Jalan Panjang Perbaikan
Meski berada dalam situasi sulit, sejumlah kalangan menilai masih ada peluang untuk memperbaiki keadaan. Patrick Kluivert masih memiliki kontrak hingga 2027, dan PSSI menegaskan akan melakukan evaluasi komprehensif tanpa tergesa-gesa memutuskan masa depannya. Beberapa pemain senior juga menyerukan agar publik tetap memberi dukungan moral kepada tim.
"Kalau kita terus menyalahkan, pemain akan semakin tertekan. Kritik boleh, tapi dukungan juga penting," kata kapten timnas, Asnawi Mangkualam. Ia menilai adaptasi terhadap pelatih baru memang tidak bisa instan. "Kami sedang berproses, semoga hasilnya bisa terlihat dalam beberapa bulan ke depan."
Para analis sepak bola menilai bahwa perbaikan timnas harus dilakukan dari akar masalah, mulai dari pembinaan usia muda, pemantapan strategi, hingga konsistensi program pelatih. Jika tidak, siklus pergantian pelatih dan kekecewaan publik akan terus berulang setiap beberapa tahun.
"Indonesia punya potensi besar, tapi masalahnya adalah kontinuitas. Kita tidak boleh terus mengganti sistem setiap kali kalah," tegas pengamat sepak bola Akmal Marhali. Ia menambahkan bahwa pembangunan sepak bola tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pelatih, melainkan harus menjadi tanggung jawab bersama antara federasi, klub, dan masyarakat.
Penutup
Gelombang kekecewaan suporter terhadap Timnas Indonesia saat ini menjadi refleksi dari tingginya ekspektasi publik terhadap sepak bola nasional. Hasil buruk, pergantian pelatih yang kontroversial, dan komunikasi publik yang kurang efektif memperburuk situasi. Namun, di balik kritik dan protes keras, ada satu hal yang tetap menyala --- kecintaan mendalam masyarakat terhadap Garuda.
Bila federasi mampu mengubah tekanan menjadi motivasi, menjaga komunikasi dengan suporter, dan memberikan waktu bagi pelatih serta pemain untuk beradaptasi, maka kebangkitan Timnas Indonesia bukan hal yang mustahil. Sebab, di balik setiap kekecewaan besar, selalu ada harapan yang sama besarnya: melihat Garuda kembali terbang tinggi di pentas Asia dan dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI