Mari kita lihat datanya.
Menurut survei KPAI dan Kemendikdasmen tahun 2024, sekitar 35 persen siswa pernah mengalami perundungan, baik secara fisik maupun verbal. Dari angka itu, 60 persen mengaku tidak melapor karena takut tidak dipercaya atau justru disalahkan. Dalam jangka panjang, trauma ini melahirkan individu yang cenderung menarik diri, sulit mempercayai orang lain, dan lebih rentan pada kekerasan sosial.
Dari perspektif ketahanan manusia, kondisi ini adalah erosi resiliensi nasional --- ketika individu tak lagi mampu memaknai penderitaan sebagai peluang tumbuh, melainkan hanya luka yang tak sembuh.
Ancaman lain muncul dari budaya kompetisi yang tidak sehat.
Ketika anak diukur hanya dari angka ujian, sementara aspek empati dan kerja sama diabaikan, maka sekolah tanpa sadar mencetak generasi yang cerdas tapi tidak bijak, cepat tapi tidak tangguh. Inilah bentuk "krisis ketahanan moral", di mana keberhasilan diukur tanpa keseimbangan antara hati dan akal.
Tak kalah serius, intoleransi dan diskriminasi di sekolah menjadi ancaman bagi ketahanan ideologi bangsa. Ketika anak-anak tumbuh di ruang yang tidak menghargai perbedaan, maka nilai Pancasila hanya tinggal simbol di dinding kelas. Mereka mudah terpapar paham ekstrem, karena sejak kecil tidak diajarkan seni hidup berdampingan.
Dengan demikian, sekolah yang gagal menjadi ruang ramah sebenarnya sedang melahirkan disintegrasi sosial skala mikro.
Ia menumbuhkan generasi yang merasa sendirian di tengah keramaian, dan curiga terhadap siapa pun yang berbeda. Dan ketika rasa aman sosial hilang, maka ketahanan nasional runtuh tanpa suara --- bukan oleh peluru, tapi oleh kehilangan kepercayaan antarwarga negaranya.
Strategi Membangun Sekolah sebagai Basis Ketahanan Sosial
Membangun ketahanan bangsa tidak selalu memerlukan senjata. Kadang ia hanya butuh ruang kelas yang aman, guru yang sabar, dan sistem pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan. Sekolah ramah menjadi wujud nyata dari ketahanan sosial --- kekuatan bangsa untuk menjaga keharmonisan di tengah perbedaan dan tekanan zaman.
Dalam kerangka Ketahanan Nasional nonmiliter, ada beberapa langkah strategis yang dapat memperkuat peran sekolah sebagai benteng sosial bangsa.
1. Integrasi Nilai Ketahanan Nasional dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter tidak seharusnya berhenti di mata pelajaran tertentu, melainkan hadir dalam seluruh aktivitas sekolah.
Nilai-nilai dasar Ketahanan Nasional --- seperti nasionalisme, empati sosial, tanggung jawab, dan gotong royong --- bisa diinternalisasi lewat praktik sederhana: musyawarah kelas, kerja bakti, refleksi harian, atau kegiatan literasi nilai.
Guru menjadi agen ideologi yang menanamkan cinta tanah air bukan lewat pidato, tetapi lewat teladan dalam menghargai muridnya.
2. Penguatan Kapasitas Guru dan Kepala Sekolah sebagai Agen Ketahanan Sosial
Guru dan kepala sekolah perlu dibekali pelatihan tentang pendekatan disiplin positif, pendidikan damai, serta resiliensi psikologis anak.
Kemendikdasmen bersama Lembaga Ketahanan Nasional dan lembaga pendidikan guru dapat berkolaborasi menciptakan program "Sekolah Resilien"Â --- yaitu pelatihan bagi pendidik untuk membangun lingkungan belajar yang adaptif terhadap perbedaan dan krisis.
Sebab ketahanan bangsa tidak bisa dibangun oleh kurikulum saja, tetapi oleh manusia yang memahami maknanya.
3. Evaluasi Iklim Sekolah Berbasis Ketahanan Sosial