Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Palestina Merdeka di PBB: De Facto, Tapi Genosida Israel Masih Membelenggu

23 September 2025   18:50 Diperbarui: 23 September 2025   19:16 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Palestina berkibar di samping bendera PBB di Markas Besar PBB, New York.(Reuters/Andrew Kelly). Sumber: antaranews.com

Di dunia yang katanya sudah modern ini, ternyata masih ada bangsa yang kemerdekaannya seperti "barang pre-order"---sudah dipesan sejak lama, tapi tak kunjung datang. Itulah Palestina. Setiap tahun, setiap pertemuan internasional, namanya selalu disebut. Setiap tragedi kemanusiaan di Gaza, fotonya selalu viral. Namun, di balik semua itu, pertanyaan mendasar tetap menggantung: kapan Palestina benar-benar merdeka, bukan hanya di atas kertas atau mimpi?

Momentum penting sebenarnya sudah tercatat dalam sejarah. Pada 29 November 2012, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 67/19 yang mengakui Palestina sebagai non-member observer state. Inilah titik di mana Palestina diakui secara de facto sebagai negara, meski belum de jure sepenuhnya. Tahun 2025, gema dukungan semakin kuat: Inggris, Prancis, Kanada, Portugal, hingga Australia menambahkan daftar panjang negara yang mengakui Palestina. Indonesia pun tak tinggal diam; Presiden Prabowo bahkan menegaskan di KTT PBB, "Akui Palestina sekarang!"

Namun, apakah pengakuan itu cukup? Apakah status de facto di PBB mampu menghentikan peluru, membongkar blokade, atau menghentikan penderitaan di kamp pengungsian? Di sinilah kontradiksi muncul: Palestina diakui di ruang diplomasi, tetapi masih terkepung di realitas.

Jejak Panjang Palestina Menuju PBB

Sejarah Palestina bukan sekadar deretan tanggal di buku pelajaran, melainkan luka panjang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Awalnya, wilayah ini berada di bawah Mandat Inggris setelah runtuhnya Kekhalifahan Ottoman pada awal abad ke-20. Alih-alih memberi jalan menuju kemerdekaan, mandat itu justru membuka pintu bagi deklarasi kontroversial Balfour 1917---yang menjanjikan tanah Palestina sebagai "rumah nasional" bagi bangsa Yahudi. Sejak saat itu, benih konflik pun tertanam.

Puncaknya terjadi pada 1948, yang oleh bangsa Palestina disebut Nakba atau "malapetaka." Ratusan ribu rakyat terusir dari rumah mereka, dan berdirilah negara Israel. Dunia mungkin mencatat itu sebagai lahirnya sebuah negara baru, tapi bagi warga Palestina, itu berarti kehilangan identitas, tanah, dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Dari sinilah, perjuangan diplomasi mulai dirintis.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri pada 1964 dengan mandat memperjuangkan hak bangsa Palestina di forum internasional. Awalnya, PLO dipandang sekadar kelompok perlawanan. Namun, perlahan ia berhasil masuk ke meja perundingan, bahkan mendapatkan pengakuan resmi sebagai "wakil sah rakyat Palestina" dalam Sidang Majelis Umum PBB tahun 1974. Itu adalah pintu kecil yang akhirnya membuka jalan besar.

Perjalanan panjang ini bukan tanpa drama. Dari berbagai perundingan gagal, intifada, hingga Perjanjian Oslo tahun 1993 yang sempat memberi harapan akan solusi dua negara. Namun, di balik setiap kesepakatan, realitas di lapangan masih penuh ketidakadilan. Meski begitu, strategi diplomasi Palestina tak pernah padam. Tujuannya jelas: mendapatkan pengakuan dunia atas eksistensi negaranya.

Puncak kerja keras itu terwujud pada 29 November 2012. Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 67/19, memberikan status non-member observer state kepada Palestina. Dengan 138 suara mendukung, 9 menolak, dan 41 abstain, Palestina akhirnya berdiri secara de facto di panggung dunia. Tidak lagi hanya "entitas," tapi diakui sebagai negara, meski belum penuh secara hukum internasional.

Sejak hari itu, perjuangan Palestina tidak hanya dilakukan di jalanan Gaza atau Tepi Barat, tetapi juga di ruang rapat PBB yang dingin dan penuh formalitas. Dunia pun mulai melihat: Palestina bukan sekadar isu konflik, melainkan bangsa yang terus menuntut haknya di panggung internasional.

Momen Penting di PBB

Bagi rakyat Palestina, PBB adalah panggung harapan sekaligus ironi. Di satu sisi, lembaga ini menjadi ruang resmi untuk menegaskan eksistensi mereka. Di sisi lain, PBB juga sering dianggap hanya "panggung pidato" yang penuh janji tanpa gigi. Tapi bagaimanapun, sejarah telah mencatat satu momentum penting: pengakuan Palestina secara de facto di PBB.

Pada 29 November 2012, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 67/19. Palestina diberi status non-member observer state---sama seperti Vatikan. Dengan dukungan 138 negara, hanya 9 yang menolak (termasuk AS dan Israel), dan 41 abstain, Palestina resmi diakui sebagai negara meski belum penuh secara hukum internasional. Bagi bangsa yang sudah puluhan tahun "dihapus" dari peta, ini bukan sekadar status, melainkan pengakuan atas identitas dan legitimasi.

Momentum itu tak berhenti di 2012. Lebih dari satu dekade kemudian, dukungan terus bertambah. Tahun 2025 menjadi babak baru. Sejumlah negara Barat yang dulu cenderung berhati-hati kini angkat suara lantang. Inggris, Prancis, Kanada, Portugal, hingga Australia menyatakan pengakuan terhadap Palestina sebagai negara. Ini bukan sekadar gestur politik, tapi simbol pergeseran: isu Palestina kini bukan hanya urusan Timur Tengah, melainkan isu kemanusiaan global.

Indonesia pun mengambil peran. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya di KTT Palestina di PBB, menyerukan dengan tegas: "Akui Palestina sekarang!" Ia juga menegaskan bahwa Indonesia siap mengirim pasukan perdamaian jika diperlukan. Pernyataan ini menempatkan Indonesia bukan sekadar penonton, tapi bagian aktif dari solidaritas global.

Di balik semua euforia, ada pemandangan yang tak kalah simbolis: kursi kosong Amerika Serikat dan Israel dalam sidang. Absennya dua negara itu seperti stempel keras penolakan, sekaligus menegaskan bahwa perjuangan Palestina masih panjang. Sebab, selama ada veto di Dewan Keamanan, status de jure Palestina akan tetap terbentur tembok tebal politik global.

Namun, momen di PBB ini jelas meninggalkan pesan penting: Palestina tidak sendirian. Dunia sudah memberi pengakuan de facto. Sejarah sudah berpihak, tinggal menunggu kapan realitas politik dan kemanusiaan benar-benar menyusul.

Presiden Prabowo Subianto berpidato soal Palestina dalam KTT PBB di New York, Senin (22/9/2025).(AFP/LUDOVIC MARIN) Sumber: Kompas.id 
Presiden Prabowo Subianto berpidato soal Palestina dalam KTT PBB di New York, Senin (22/9/2025).(AFP/LUDOVIC MARIN) Sumber: Kompas.id 

Respon Dunia

Pengakuan Palestina sebagai negara di PBB bukan hanya peristiwa diplomatik, tapi juga barometer arah politik dunia. Dari 2012 hingga 2025, sikap negara-negara terhadap Palestina memperlihatkan peta kekuatan global yang sedang bergeser.

Mayoritas negara berkembang dan anggota Gerakan Non-Blok konsisten mendukung Palestina. Dukungan mereka bukan sekadar diplomasi formal, melainkan cermin solidaritas antarkorban kolonialisme. Palestina dianggap simbol perjuangan universal: bangsa yang dirampas haknya tapi terus berjuang untuk merdeka.

Yang menarik, dukungan semakin merambah ke negara-negara Barat. Inggris, Prancis, Kanada, Portugal, dan Australia---yang dulunya berhati-hati---pada 2025 menegaskan pengakuan resmi terhadap Palestina. Langkah ini dianggap sebagai lompatan besar, sebab selama puluhan tahun, Barat selalu tersandera oleh tekanan geopolitik Amerika Serikat dan Israel. Media internasional seperti The Guardian dan Al Jazeera menilai pengakuan ini bukan hanya gestur moral, tetapi juga indikasi perubahan peta kekuasaan global, di mana opini publik Barat mulai lebih peduli pada isu kemanusiaan dibanding kalkulasi politik semata.

Di sisi lain, sikap Amerika Serikat dan Israel tetap kaku. Kedua negara bahkan absen dalam sidang PBB terbaru, seolah menegaskan bahwa mereka menutup pintu dialog. Kursi kosong itu berbicara lebih keras daripada kata-kata: menolak memberi legitimasi bagi Palestina. Padahal, AS selama ini selalu mengklaim sebagai "penjaga demokrasi dunia." Ironisnya, demokrasi yang mereka serukan tidak berlaku ketika menyangkut hak bangsa Palestina.

Indonesia, lewat Presiden Prabowo, menegaskan diri sebagai salah satu suara paling lantang di Asia. Dalam pidatonya, ia menyerukan agar dunia "mengakui Palestina sekarang" dan bahkan siap mengirim pasukan perdamaian. Sikap ini mendapat apresiasi luas, karena menempatkan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar yang tidak hanya bersuara, tetapi juga siap bertindak.

Respon dunia ini menandai pergeseran penting: isu Palestina kini bukan hanya urusan kawasan Timur Tengah, melainkan cermin kredibilitas tatanan internasional. Apakah PBB benar-benar bisa menjadi lembaga penjaga perdamaian, atau hanya forum basa-basi yang tak lebih dari panggung retorika?

Dampak Nyata bagi Palestina

Pengakuan Palestina sebagai negara di PBB memang monumental. Tetapi, seperti sering terjadi dalam sejarah, kemenangan diplomasi tak selalu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Bendera Palestina boleh berkibar di ruang sidang PBB, tapi di Gaza, asap hitam dan suara sirene masih lebih dominan daripada simbol kemenangan.

Secara hukum, status non-member observer state memberi Palestina keuntungan besar. Mereka bisa mengakses lembaga-lembaga internasional, dari UNESCO hingga Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Dengan status ini pula, Palestina memiliki dasar untuk membawa kasus pelanggaran HAM ke ranah hukum global. Tak hanya itu, dukungan lebih dari 140 negara mempertegas legitimasi internasional Palestina---bahwa mereka bukan lagi sekadar "entitas," melainkan bangsa yang punya hak menentukan nasibnya sendiri.

Namun, semua itu terasa timpang jika melihat realitas di lapangan. Blokade atas Gaza tetap berlangsung, permukiman ilegal Israel di Tepi Barat terus meluas, dan ribuan warga sipil masih menjadi korban. Data terbaru dari PBB menyebutkan bahwa tindakan Israel di Gaza telah memenuhi kriteria genosida sebagaimana diatur dalam Konvensi Genosida 1948. Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB menegaskan ada empat dari lima unsur genosida yang dilakukan oleh Israel: pembunuhan anggota kelompok, menyebabkan penderitaan fisik dan mental serius, menciptakan kondisi hidup yang menghancurkan, hingga mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut.

Temuan ini menempatkan pengakuan de facto Palestina dalam dimensi baru. Bukan sekadar simbol politik, tetapi pijakan hukum untuk menuntut akuntabilitas. Dengan statusnya di PBB, Palestina kini punya jalur sah untuk mendesak pengadilan internasional memproses kejahatan perang dan genosida yang dilakukan Israel. Artinya, dunia tidak lagi bisa bersembunyi di balik retorika diplomasi; ada kewajiban hukum untuk bertindak.

Tetapi, tantangan tetap besar. Israel menolak tuduhan itu, Amerika Serikat berdiri tegak sebagai pelindung, dan mekanisme veto di Dewan Keamanan menjadi tembok penghalang. Alhasil, meski Palestina semakin kuat di panggung diplomasi, rakyatnya masih harus hidup di bawah blokade dan puing-puing kehancuran.

Inilah paradoks besar yang sedang berlangsung: Palestina telah "diakui" dunia, namun pengakuan itu belum mampu menghentikan bom Israel, membongkar tembok Israel, atau menyelamatkan anak-anak yang terluka akibat serangan Israel. Pengakuan de facto memang memberi harapan, tetapi tanpa tindakan nyata untuk menghentikan genosida yang dilakukan Israel, kemerdekaan Palestina tetap menjadi janji yang terus ditunda.

Tantangan & Jalan Panjang Menuju De Jure

Jika pengakuan de facto Palestina di PBB adalah sebuah pintu yang terbuka, maka menuju pengakuan de jure penuh ibarat mendaki gunung dengan tebing curam dan angin kencang. Jalan masih panjang, penuh hambatan, dan tidak bisa ditempuh hanya dengan pidato atau resolusi.

Hambatan terbesar adalah politik veto di Dewan Keamanan PBB. Selama Amerika Serikat masih memegang hak veto, upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB akan terus kandas. AS konsisten melindungi Israel, bahkan ketika laporan resmi PBB menegaskan Israel telah melakukan genosida di Gaza. Dengan satu kata, "veto," semua upaya hukum internasional bisa berhenti di meja rapat.

Selain itu, realitas di lapangan juga masih jauh dari kata damai. Israel tetap melanjutkan pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat, melanggengkan blokade Gaza, dan menggunakan kekuatan militer untuk menekan setiap bentuk perlawanan. Selama struktur kekuasaan itu tidak berubah, pengakuan di PBB akan sulit diterjemahkan menjadi kedaulatan nyata di tanah Palestina.

Tantangan berikutnya adalah fragmentasi politik internal Palestina. Perpecahan antara Hamas di Gaza dan Fatah di Tepi Barat membuat perjuangan diplomasi sering kali pincang. Dunia internasional pun kerap menggunakan perpecahan ini sebagai alasan untuk menunda pengakuan penuh, seolah-olah Palestina belum cukup "stabil" untuk disebut negara berdaulat.

Namun, bukan berarti jalan ini buntu. Justru di tengah tantangan besar, ada peluang baru:

  • Solidaritas global semakin menguat. Negara-negara Barat yang mulai mengakui Palestina memberi sinyal bahwa opini publik dunia telah bergeser.
  • Laporan genosida PBB terhadap Israel menjadi senjata hukum yang sah untuk menekan dunia agar bertindak.
  • Peran dunia Islam dan masyarakat sipil internasional semakin vital, bukan hanya melalui diplomasi negara, tetapi juga gerakan solidaritas, kampanye boikot, dan tekanan publik.

Kemerdekaan de jure Palestina memang masih jauh, tapi setiap langkah diplomasi, setiap pengakuan negara, dan setiap suara yang menuntut keadilan adalah batu pijakan menuju puncak itu. Pada akhirnya, perjuangan ini bukan hanya tentang satu bangsa di Timur Tengah, tetapi tentang ujian kemanusiaan dunia: apakah kita rela menutup mata pada genosida yang dilakukan Israel, atau berani berdiri untuk sebuah kebenaran yang tertunda terlalu lama.

Penutup

Palestina sudah lama menjadi cermin bagi dunia. Di satu sisi, pengakuan de facto di PBB dan dukungan dari lebih 140 negara menunjukkan bahwa bangsa ini telah lahir sebagai negara di mata dunia. Tetapi di sisi lain, realitas di lapangan tetap berdarah: blokade, pengusiran, dan genosida yang dilakukan Israel masih berlangsung tanpa henti.

Inilah paradoks terbesar abad ini. Dunia mengakuinya, tetapi tidak benar-benar melindunginya. Palestina ada di dalam dokumen resolusi, tetapi tetap terjepit di balik tembok-tembok penjara raksasa. Mereka punya kursi di PBB, tetapi masih kehilangan rumah di tanah sendiri.

Maka, pengakuan de facto bukanlah akhir, melainkan awal dari jalan panjang menuju de jure---kemerdekaan penuh yang dijamin hukum internasional. Perjuangan itu tidak bisa hanya diserahkan pada para diplomat, tetapi juga pada kesadaran global. Setiap suara solidaritas, setiap tekanan terhadap rezim penindas, setiap doa dan aksi nyata, adalah bagian dari perjuangan menuju kedaulatan yang sejati.

Bagi Indonesia, dukungan pada Palestina bukan sekadar politik luar negeri, melainkan amanat konstitusi dan nurani bangsa. Ketika Presiden Prabowo bersuara lantang di PBB, itu adalah gema dari jutaan rakyat Indonesia yang sejak lama berdiri di sisi Palestina.

Akhirnya, perjuangan Palestina adalah ujian bagi kemanusiaan dunia. Apakah kita akan membiarkan genosida yang dilakukan Israel tercatat sebagai aib sejarah, ataukah kita berani memastikan bahwa suatu hari nanti, bendera Palestina berkibar bukan hanya di ruang sidang PBB, tapi juga di tanah suci Yerusalem---bukan sebagai simbol penderitaan, melainkan sebagai tanda kemerdekaan yang hakiki.

Referensi:

https://www.idntimes.com/news/world/sejarah-tercipta-pbb-de-facto-akui-palestina-merdeka-01-w62vb-d6b0yg

https://indonesia.go.id/kategori/editorial/10106/saatnya-dunia-mengukir-sejarah-dengan-mengakui-kedaulatan-palestina?

https://aktual.com/dukungan-kemerdekaan-palestina-bukan-karena-agama-dpr-ingatkan-antisipasi-hak-veto-di-pbb/?

https://www.theguardian.com/world/2025/sep/16/israel-committed-genocide-in-gaza-says-un-inquiry?

https://www.reuters.com/world/middle-east/un-inquiry-finds-top-israeli-officials-incited-genocide-gaza-2025-09-16/?

https://www.amnesty.org/en/latest/news/2025/09/israel-opt-un-report-concluding-israel-is-committing-genocide-in-gaza-must-spur-international-action/?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun