Erich Fromm pernah menulis dalam To Have or To Be bahwa manusia modern lebih memilih orientasi "memiliki" daripada "menjadi." Kita mengukur hidup dari apa yang kita miliki, bukan siapa kita sebenarnya. Kita mengira kedamaian lahir dari kepemilikan, padahal yang kita butuhkan adalah keberadaan yang utuh.
Dalam perspektif tasawuf, ini disebut ghaflah---kelalaian yang membuat hati lupa pada sumbernya. Kita sibuk mengejar yang fana, padahal yang abadi ada dalam diri. Ruh bukan sesuatu yang harus dicari ke luar; ia selalu ada, hanya tertutup oleh lapisan keinginan yang tak pernah selesai.
Dan apa dampaknya ketika kita terus mengabaikan suara ini? Kita akan merasa lelah tanpa tahu sebabnya. Kita akan terus mengejar validasi, padahal yang kita rindukan hanyalah penerimaan---bukan dari dunia, tapi dari diri sendiri. Kita akan bekerja mati-matian demi keamanan finansial, padahal yang kita cari hanyalah rasa aman di hati.
Pertanyaannya, sampai kapan kita menunda untuk pulang? Karena sejauh apa pun kita pergi, rumah yang kita cari selalu berada di titik paling sunyi---dalam diri kita sendiri.
Diam, Bukan Pasrah -- Rahasia Keselarasan
Kita sering mengira bahwa berhenti berarti kalah. Padahal, berhenti sejenak adalah cara untuk mengembalikan keselarasan. Berhenti bukan menyerah, tapi menata ulang langkah agar tidak terus berlari dengan arah yang salah.
Dalam banyak tradisi spiritual, keheningan adalah kunci. Mindfulness---sebuah konsep yang banyak dikaji dalam psikologi positif---membuktikan bahwa melatih kesadaran hadir dapat menurunkan stres, meningkatkan rasa cukup, dan memulihkan kesehatan mental. Penelitian dalam Journal of Positive Psychology menunjukkan bahwa orang yang mempraktikkan keheningan sadar mengalami peningkatan signifikan dalam kebahagiaan dan kepuasan hidup.
Tasawuf pun mengajarkan hal yang sama. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan:
"Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS Ar-Ra'd: 28).
Namun, ingat bukan sekadar melafalkan doa dengan lisan yang panik, melainkan hadir dalam doa dengan hati yang tenang. Ketika kita memanjatkan doa dari ruang kecemasan---takut kekurangan, takut tertinggal---energi yang kita pancarkan adalah energi resah. Sebaliknya, saat kita diam dalam kesadaran, doa berubah menjadi undangan, bukan paksaan.
Semesta tidak bergerak karena tekanan. Ia merespons getaran. Dan getaran paling kuat lahir dari hati yang jujur, tenang, dan ikhlas. Ketika kita tidak lagi memaksa, tapi memilih selaras, pintu yang tadinya tertutup sering kali terbuka tanpa kita sangka. Rezeki yang kita kejar dengan tergesa justru mendekat ketika kita berhenti berlari.
Berhenti bukan berarti kita berhenti berusaha. Kita tetap melangkah, tapi dengan cara yang berbeda---bukan dari rasa takut, melainkan dari rasa percaya. Dan percaya hanya lahir ketika kita berani diam dan mendengar kembali suara yang paling jujur dalam diri.
Pulang ke Ruh: Jalan yang Panjang, Dimulai dengan Satu Langkah
Pulang ke diri bukan perkara semalam. Ia bukan perjalanan yang mulus, melainkan jalan berliku yang menuntut kesabaran. Tetapi, setiap perjalanan panjang selalu dimulai dengan satu langkah kecil.
Langkah pertama adalah diam dengan sadar. Luangkan lima menit untuk berhenti. Duduk tanpa distraksi, pejamkan mata, tarik napas perlahan. Rasakan udara masuk dan keluar, bukan sekadar rutinitas, tapi sebagai tanda kehidupan yang masih kamu genggam. Diam ini bukan kosong, melainkan ruang untuk mendengar kembali suara yang lama terkubur.
