Mohon tunggu...
Fatria MeilaniS
Fatria MeilaniS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Unknow

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030004

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Saat Pandemi Covid, Usaha Kerupuk Kulit Tetap Melejit

30 Juni 2021   22:04 Diperbarui: 1 Juli 2021   00:04 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini cerita dari Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Kecamatan yang terdiri dari 10 desa ini menyimpan banyak kisah produktif masyarakatnya.

Begini. Letak geografis Kecamatan Pagerageung itu berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, Majalengka dan Garut. Mayoritas penduduknya selain tercatat sebagai aparatur sipil negara (ASN) dan petani, banyak pula yang menggeluti dunia dagang.

Dagang itu tentunya bagian penting dari wirausaha. Wirausaha adalah lokomotif pembangunan bangsa. Dan Pagerageung sudah membuktikannya.

Warga di daerah ini banyak yang menggeluti perdagangan konvensional maupun home industri. Pemuda-pemuda di Kecamatan Pagerageung biasanya setelah lulus dari SMP dan SMA, langsung tancap gas menjadi saudagar. Mereka berdagang.

Jadi boleh dikata, masih bisa dihitung jari para pemuda pemudi yang kuliah. Mereka lebih memilih pergi ke kota untuk berwirausaha atau membuat jalur bisnis sendiri di kampung halaman.


"Sembilan dari sepuluh pintu rezeki itu dari berdagang. Makanya saya memilih untuk berdagang saja," kat Budi Turmudzi, salah seorang aktivis pemuda di Pagerageung, saat ditemui penulis di Kampung Babakan, Rabu (30/6/2021).

Apa yang dikatakan Budi memang nyata. Ia menyebutkan, para pemuda di Pagerageung ini biasanya mengambil langkah strategi bisnis sendiri atau mengikuti jejak usaha keluarga. "Ada yang melanjutkan dagang dari orang tuanya atau saudaranya," ucapnya.

Apa jenis dagangan mayoritas pemuda? Beragam jawab Budi. "Kalau daerah Panjalu ada yang menggeluti usaha dagang rongsokan, daerah Rajapolah kerajinan dan jasa sewa WC umum. Nah kalau di sini itu banyaknya bidang UMKM-lah," benernya.

Misalnya dia merinci. Saat ini, para pemuda di Pagerageung sedang menggeluti usaha dagang membuat roti dan kerupuk kulit. Dua jenis usaha ini sedang naik daun.

"Pengusaha-pengusaha kerupuk kulit maupun roti dari sini banyak yang jadi bos di Bandung, Jakarta, Tanggerang dan sekitarnya," katanya.

Tidak hanya mencoba peruntungan menjadi jawara kerupuk kulit dan roti di kota orang lain, di Kampung halaman mereka, para pebisnis muda ini mencoba membangun pondasi bisnis

"Saat pandemi covid begini  berdagang di kampung juga lumayan. Banyak pemuda yang mencoba usaha dagang di sini," tambahnya.

Apa yang dikatakan Budi benar memang. Penulis menyaksikan sendiri di kampung tempat penulis berdomisili, tepatnya di Kampung Pasantren RT 03 RW07 Desa Pagerageung, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya.

dokpri
dokpri

Hanya berjarak empat rumah dari tempat tinggal penulis, tersebutlah ibu produktif usia setengah abad, Apong namanya. Bersama suami tercintanya, Endang, dia mengaku sudah berulang kali mencoba menarik magnet rezeki dengan berdagang.

"Sekarang ibu mah sedang mencoba usaha kerupuk kulit," ungkapnya saat ditemui penulis disela sibuk menggoreng kerupuk kulit dengan wajan ukuran Jumbo, di rumahnya, Rabu (30/6/2021).

Ibu dua cucu ini bercerita, usaha kerupuk kulitnya ini berjalan sudah hampir empat tahun. Sejak dua tahun terakhir, Bu Apong menyebutkan, usahanya ini sudah membuahkan hasil.

"Sudah dua setengah tahun ini lumayan. Alhadmulillah. Bisa menopang kehidupan sehari-hari," imbuhnya.

Puncaknya adalah setahun terakhir ini, atau lebih pas disebut dimasa pandemi COVID-19 ini, usaha kerupuk kulitnya malah memperlihatkan hasil lumayan. Omsetnya bertambah drastis.

"Lumayan lah. Alhamdulillah," celotehnya sambil tertawa lebar.

Bu Apong mengungkapkan, pada awal usaha, dia mengeluarkan modal Rp dua juta rupiah saja. Modal yang sangat minim jika dihitung dengan berbagai keperluan bahan, peralatan dan perlengkapan.

Namun seiring waktu berjalan, usahanya ini membuahkan hasil yang lumayan. "Sekarang memiliki omset kurang lebih Rp 10 juta," katanya.

Menjalankan bisnisnya ini, Bu Apong dibantu oleh beberapa karyawan dengan job desk yang efektif dan efisien. Mereka punya tanggung jawab sendiri-sendiri.

Yang pertama karyawan yang membuat atau memproduksi kerupuk kulit dari proses penggorengan, pengeringan dan sebaginya dengan dibantu oleh 5 orang. Kemudian untuk pemasaran, karena kerupuk ini dijual ke warung-warung maka Bu Apong memiliki sales yang menjajakan kerupuknya ke berbagai lokasi.

"Ada lebih dari 5 orang yang ikut jualan. Sales ya. Bagi hasil dari yang laku di warung bayarannya," imbuhnya.

Dengan pedagang sebanyak itu, Bu Apong memiliki pelanggan warung kurang di atas 300 warung. Omset dari Warung itu tentu semakin stabil dan terkontrol penjualannya.

"Warung tersebar diwilayah Tasikmalaya, Garut dan Ciamis. Lancar, alhamdulillah," katanya.

Bu Apong melanjutkan ceritanya. Dalam menjalankan bisnisnya itu dengan sistem konsinyasi. Pihaknya menitip-nitipkan kerupuk kulitnya di warung, tunggu sepekan maka sales tersebut akan datang kembali untuk mengambil uang tagihan dari hasil kerupuk kulit yang sudah terjual dan memasukan kembali kerupuk kulit baru yang akan dijual.

Selama satu minggu berjalan, dia memproduksi 6 hari kerja. "Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu kerja. Yang produksi kerupuk atau yang jualan. Nah, hari Jumat libur," katanya.

Memang dia mengakui, dimasa pandemi, usaha yang dijalankan Ibu Apong mengalami ketidakstabilan. Hal itu dipicu oleh beberapa hal, diantaranya bahan baku dan produktivitas sales yang terhambat mobilitasnya.

"Sebenarnya dari sisi produksi masih terus berjalan tetapi dari sisi kerupuk-kerupuk yang telah terjual di warung-warung sulit ditarik kembali oleh sales," keluhnya.

Walhasil, kondisi ini mengakibatkan usaha Bu Apong goyah. Ia harus memutar otak agar duit pemasukan yang berada diluar bisa masuk ke kas dan melanjutkan produksi.

Tapi kendala tagihan macet ini bukan satu-satunya. Faktanya saat ini, beberapa warung-warung yang merupakan pelanggan Bu Apong ini banyak yang mengalami gulung tikar alias tutup

"Terpaksa menyerah jika begitu. Uang tidak bisa ditarik," katanya.

Makin parah kondisinya dengan kenyataan, banyak sales dia yang mengalami muntaber alias mundur tanpa berita. "Tidak kerja lagi, mereka mengundurkan diri. Data pelanggan dan tagihan ada di para sales," imbuhnya.

Tapi tentu bukan pebisnis jika mudah menyerah. Bukan Bu Apong jika mudah merasa terpotong untuk urusan rezeki.

"Dulu ada 10 sales. Setengahnya mundur. Sekarang ada 5 orang. Tapi mereka pejuang yang tidak menyerah dengan keadaan," katanya penuh semangat.

Kondisi terpuruk diawal pandemi seperti ujian. Jika dia lulus, maka bisnis home industri yang dia geluti akan memenangkan percaturan bisnis kerupuknya.

"Omset yang semula sebelum pandemic mencapai Rp 5 juta perhari, saat pandemi turun drastis sampai diangka Rp 2 juta perhari," katanya.

Walau turun saat awal pandemi tapi sekali lagi dia menyebutkan tidak pernah mengenal kata menyerah. Ia dan suami malah bersepakat menambah volume produksi dan mengevaluasi kinerja sales.

"Saya mendpatkan pinjaman dari Bank BRI sebesar Rp 15 juta. Angsuran perbulan Rp 750 ribu hingga 35 bulan ke depan. Alhamdulillah lancar sekarang," katanya.

Bertahan, berinovasi, menambah tenaga dan mengefisienkan modal. Demikian soulusi  yang diambil oleh Bu Apong untuk mengembangkan bisnis usaha kerupuk kulit untuk bisa bertahan dimasa pandemi ini.

"Semarang saya menyesuaikan antara kebutuhan pasar dan produksi yang dibuat. sehingga dengan penyesuaian ini akan lebih hemat karena produk yang ada di warung-warung dapat laku sesuai dengan kebutuhan pasar," bebernya.

Dengan efesiensi ini, dia mengaku, dapat menguruangi return alias barang kembali. Karena kerupuk ada masa kadaluarsanya, jadi saat barang return sedikit, dia bisa meminimalisir kerugian.

"Dengan metode seperti ini, ya dapat menimalisir produk yang kadaluarsa," ujarnya.

Kemudian, langkah-langkah Bu Apong untuk menyesuaikan bisnis dimasa pandemi adalah mangurangi volume kerupuk kulit. Hal ini dilakukan agar dapat menyesuaikan antara penyesuaian harga yang hari ini berkembang di pasar terkait dengan  bahan bahan produksi.

Bu Apong tidak mungkin secara sepihak menaikan harga kerupuk kulit. Dia memikirkan kompetitor yang masih memakai harga dasar yang sama di pasaran.

"Yang paling memungkinkan adalah mengurangi volume produksi," kata dia.

Selanjutnya yang dilakukan Bu Apong untuk menyesuaikan produksi dimasa pandemi adalah mengurangi  tenaga produksi. Terpaksa langkah ini dia lakukan. Jika dulu ada 5 orang yang bekerja, maka hari ini hanya tersisa 3 orang saja.

"Sisanya yang lain bisa berjualan. Kita tidak ada phk istilahnya, tapi ganti peran saja mungkin," katanya.

Dengan menggunakan tiga metode tersebut, Alhamdulillah usaha Ibu Apong sampai hari ini masih jalan. Dan saat dilihat di warung-warung, kerupuk kulit made in Bu Apong ini masih laris manis. Rasa kerupuk kulitnya gurih, sedap dan bergizi tinggi.

"Kerupuk kulit Ibu mah tidak pakai pengawet. Alami. Kedaluwarsanya hanya maksimal 15 hari. Jadi sehat karena bahannya kulit sapi asli," tutupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun