Mohon tunggu...
Fatimah Syahzanan
Fatimah Syahzanan Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Jember Program Studi Gizi

Mahasiswa yang tertarik mengangkat isu budaya lokal dan pemberdayaan sosial melalui tulisan. Dalam proyek ini, saya dan kelompok saya mencoba menyuarakan kisah di balik Tari Petik Kopi dan Sanggar Pensi sebagai wujud nyata pelestarian budaya sekaligus ruang tumbuh bagi anak-anak jalanan. Menulis bukan hanya untuk bercerita, tapi juga untuk mengingatkan bahwa setiap tradisi punya nilai dan harapan yang layak diangkat ke permukaan.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Dari Pak Badi untuk Generasi Muda : Merawat Tradisi melalui Tari Petik Kopi

23 Mei 2025   20:10 Diperbarui: 23 Mei 2025   20:04 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Badi Subadi S.Pd. Pendiri Sanggar Pensi Bondowoso. (Sumber : Kelompok 1)

Tak hanya dikenal sebagai penghasil kopi dari dataran tingginya, Bondowoso juga menyimpan kekayaan budaya yang unik dan penuh makna. Salah satunya yaitu Tari Petik Kopi. Sebuah tarian tradisional yang mencerminkan aktivitas keseharian masyarakat agraris, dibalut dengan gerakan penuh filosofi dan nilai kebersamaan.

Di sebuah sudut kota, berdiri Sanggar Pensi yang sejak tahun 2005 didirikan oleh Badi Subadi. Sejak didirikan sanggar ini telah menjadi ruang tumbuh bagi generasi muda yang ingin mengenal dan mencintai budaya daerah. Lebih dari sekedar tempat berlatih, sanggar pensi adalah penjaga ingatan kolektif atas tradisi-tradisi lokal yang nyaris terlupakan.

Saat kelompok kami berdiskusi, kami menyadari bahwa sebagian besar dari kelompok lain lebih banyak mengambil tema terkait kesehatan, kemudian peternakan dan tema-tema umum lainnya di proyek mata kuliah PKN ini. Belum ada kelompok yang membahas dan benar benar mendalami terkait kesenian dan budaya lokal terutama yang berasal dari Bondowoso. Dari situlah ketertarikan kami muncul, kami ingin membawakan cerita yang berbeda yang bisa mencerminkan kekayaan tradisi daerah lewat tarian khas kota Bondowoso yaitu Tari Petik Kopi.

Beruntung kami mendapat kesempatan untuk mewawancarai langsung Pak Badi, pendiri Sanggar Pensi. Melalui pertemuan tersebut, kami menelusuri bagaimana Tari Petik Kopi lahir, bertumbuh, dan bertahan sebagai bagian penting dari identitas budaya Bondowoso.

Bondowoso bukan hanya terkenal dengan keindahan alam dan hasil buminya, tetapi juga dengan kekayaan budayanya yang terus hidup dari generasi ke generasi. Salah satunya yang paling ikonik adalah kopi Arabika dari kawasan Ijen Raung. Tanaman kopi ini bukan sekedar komoditas, tetapi telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Bondowoso sejak masa kolonial Hindia Belanda. Kawasan seperti Blawan, Kalisat Jampit, Kalimas, hingga Pancur Anggrek menjadi pusat-pusat perkebunan besar yang turut membentuk peradaban kota ini.

Masuknya para pekerja dari Madura, Jember, Banyuwangi, hingga daerah lokal lainnya membawa serta budaya masing-masing. Akulturasi ini melahirkan warisan budaya khas yang dikenal sebagai budaya Pandhalungan, yang sampai sekarang masih hidup dalam bentuk kesenian dan tradisi lokal.

Dalam konteks ini, kopi tidak hanya menjadi produk pertanian, tetapi juga simbol peradaban dan identitas kultural. Setiap musim panen kopi selalu dirayakan dengan rasa syukur dan kebersamaan.Tradisi ini menjadi inspirasi munculnya Tari Petik Kopi. Sebuah karya seni yang menangkap semangat dan kearifan lokal masyarakat Ijen Raung.

Dalam wawancara Pak Badi menceritakan bahwa Sanggar Pensi berdiri sejak tahun 2005, dan mulai memiliki nomor induk resmi pada 30 Juli 2007, lalu dua tahun kemudian dilengkapi dengan akta notaris sebagai sanggar legal.

Wawancara bersama Pak Badi mengenai Sanggar Pensi dan Tari Petik Kopi. (Sumber : Kelompok 1)
Wawancara bersama Pak Badi mengenai Sanggar Pensi dan Tari Petik Kopi. (Sumber : Kelompok 1)

Namun lebih dari sekedar administrasi, lahirnya Sanggar Pensi berangkat dari keprihatinan sosial yang dalam. Di tengah situasi sosial Bondowoso kala itu, banyak anak-anak muda yang hidup di jalanan tanpa arah dan tujuan sebagai pengemis, pemulung, atau pengamen (yang oleh Pak Badi disebut sebagai 3P). Dari situlah Pak Badi tergerak untuk merangkul mereka, memberi ruang yang tidak hanya mengajarkan seni, tetapi juga membentuk karakter manusia. Prinsipnya sederhana namun kuat, sekecil apapun yang dilakukan, harus diberi penghargaan (reward).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun