" Gery, tolong ambilkan perban dan alkohol di kotak obat sebelah TV!" pinta Dewi Tirtasani
Gery yang masih bingung, menuju kotak obat, dan membantu menalikan perban di tanganku.
   "Gina, tenanglah, apakah kamu mulai tidak percaya padaku?" Dewi mulai membuka percakapan.
   " Satu tahun kita bersama, pernahkah aku menyinggungmu, mengecewakanmu?" lanjut Dewi. Aku terdiam, Dewi  melepaskan pelukannya.
   "Kamu sudah kuanggap adikku sendiri. Berkali aku melepaskan kepentinganku demi melindungimu. Tidak mengertikah kamu?"
   "Aku juga tahu, buku-buku yang kubelikan tidak pernah kamu baca!" lanjutmu.
Aku agak kaget kalau ternyata dia tahu.
  "Kamu bahkan curiga aku ceritakan masalahmu pada  Gery, kamu kira aku perempuan pengangguran yang suka buang-buang waktu untuk menceritakan orang lain, Kamu tahu persis padatnya kegiatanku." Lanjutnya dan aku hanya menunduk diam bercampur malu.
  "Dua hari lagi, aku akan ke Kashmir, India, ada proyek besar yang akan kukerjakan di sana bersama enam teman, termasuk Gery." Ucapnya
   "Apa, kenapa baru bilang sekarang, terus aku dengan siapa?' tanyaku merajuk manja
   "Itulah kamu, mahasiswa, tapi cara berpikir kalah dengan anak SMA." Jawab Dewi agak jengkel.
   "Nanti selama aku di sana, kamu bisa membaca catatanku yang sengaja kutulis untukmu. Kalau  kamu keras kepala, kamu takkan bisa menolong dirimu sendiri. Hidup itu sangat berharga. Jangan sia-siakan." Ia pergi meninggalkan kamarku dan menutupnya,
   Seminggu telah berlalu,Hujan deras waktu itu, sebuah berita membuatku shok. Dan aku tidak menyangka kalau itu adalah pertemuan terakhirku dengan Dewi. Sebab kini Dewi takpernah kembali, ia tewas bersama tiga temannya saat terjadi gempa Dahsyat 6,5 skala richter di Kashmir India. Pada Senin, 26 Desember 2016 dini hari (00.44) waktu setempat.
   Bisa dibayangkan perasaanku, di hari itu, aku meraung hingga pingsan lama dan dilarikan ke RS ini. Dalam hatiku aku protes,
   "Kenapa bukan aku saja yang diambil, manusia penuh dosa, kenapa malah gadis suci yang pintar, cerdas dan sangat penyayang ini, o my God."
  Selasa siang, cuaca masih tetap cerah, Kelihatan hujan takkan turun. Aku sudah di rumah, dengan perasaan campur aduk, aku mulai buka catatan Dewi untukku.
  Kertas HVS biru, warna kesukaan Dewi tersusun rapi dengan bernomor satu, mulai kubuka dan kubaca ,
Bismillahirahmanirrahiim, tulisnya di situ
   "Eh, baca bismillahnya yang bener, pakai hati, kalau tidak, kamu musti ulangi lagi. Coba tutup lagi dan mulai lagi dengan sungguh-sungguh, insya-Allah ini ilmu."
Dan aku seperti menurut saja, mengikuti arahan Dewi. Namun, aku tidak langsung membacanya, sebab aku takdapat menahan air mataku. Aku mewek sambil memegangi nyeri di dadaku. Dan ini tulisanmu,
   "Gina, jangan heran kalau sejak awal aku tahu siapa kamu, karena aku sudah bisa membaca sejak kamu kenalkan dirimu, "Kenalkan, namaku Gina Pujiastuti" begitu kan dulu kamu bilang, yang dikemudian hari, kamu kenalkan lagi dirimu dengan mengatakan,
  "Dewi, tahukah kamu bahwa aku seorang Lesbi " Kamu heran, kenapa aku tidak kaget, eh malah kamu yang kaget. Hihi satu kosong tu...'
Duh, lihatlah, dia malah bercanda..Huh, dan aku tertawa sambil menangis.
Fd,12012017
Batu,23 32