Ketiga konsep ini memiliki keterkaitan yang erat dan saling mempengaruhi. Perilaku elit politik yang memamerkan gaya hidup mewah dapat memberikan pengaruh buruk pada masyarakat (Sulistyowati, 2023). Ketika pemimpin menunjukkan gaya hidup hedonistik secara terbuka, masyarakat menganggap perilaku tersebut sebagai sesuatu yang normal dan pantas ditiru (Sulistyowati, 2023).Â
Hubungan antara elit politik dan masyarakat dapat dilihat melalui beberapa poin yang menggambarkan dampak perilaku elit terhadap norma dan nilai sosial. Elit politik yang kerap memamerkan kemewahan cenderung menciptakan standar sosial baru yang mendorong masyarakat untuk mengejar kesenangan material. Ketika pemimpin menunjukkan gaya hidup yang berlebihan dan konsumtif, masyarakat merasa terdorong untuk mengikuti jejak tersebut, sehingga menggeser fokus dari nilai-nilai yang lebih substansial menuju pencarian kesenangan yang bersifat sementara. Krisis keteladanan semakin memperparah situasi ini, karena masyarakat kehilangan figur pemimpin yang dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup yang sederhana dan bermoral. Tanpa adanya teladan yang baik, masyarakat menjadi lebih rentan terhadap pengaruh negatif yang dapat merusak integritas dan nilai-nilai yang telah ada.Â
Lebih jauh lagi, nilai-nilai tradisional dan kesederhanaan dalam masyarakat secara perlahan terkikis akibat pengaruh gaya hidup hedonistik yang dipromosikan oleh elit politik. Gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan dan konsumsi berlebihan ini mengubah cara pandang masyarakat terhadap apa yang dianggap penting dalam hidup, sehingga mengabaikan nilai-nilai yang lebih mendalam seperti solidaritas, tanggung jawab sosial, dan kesederhanaan. Media sosial juga berperan penting dalam memperkuat pengaruh elit politik terhadap masyarakat, terutama dalam membentuk opini tentang gaya hidup dan norma sosial. Melalui platform ini, pesan-pesan yang berkaitan dengan kemewahan dan kesenangan dapat dengan cepat menyebar dan diterima oleh masyarakat, menciptakan tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan standar yang ditetapkan oleh elit. Dengan demikian, hubungan antara elit politik dan masyarakat tidak hanya mencerminkan dinamika kekuasaan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap perubahan nilai dan perilaku sosial yang terjadi di masyarakat.Â
Dengan hubungan yang erat ini, diperlukan upaya bersama untuk mengembalikan peran elit politik sebagai teladan yang baik dan mengurangi dampak buruk dari gaya hidup hedonistik yang meluas di masyarakat.
BAB IIIÂ
PEMBAHASAN
 3.1 Krisis Keteladanan Elit PolitikÂ
Akar Permasalahan dan DampaknyaÂ
Masalah keteladanan di kalangan elit politik Indonesia semakin terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Elit politik seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat dalam hal sikap, tindakan, dan kebijakan yang diambil. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak elit politik di Indonesia justru memperlihatkan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika. Kondisi ini menciptakan krisis keteladanan, di mana pemimpin yang seharusnya menjadi contoh justru memberikan teladan yang buruk. Ada peningkatan hingga 45% dalam kasus pelanggaran etika oleh elit politik selama tahun 2020-2023 (Wijaya, 2023). Hal ini membuat masyarakat kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin mereka.
Beberapa masalah utama yang menunjukkan krisis keteladanan ini yaitu, perilaku korupsi. Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang melibatkan banyak elit politik. Banyak pemimpin yang menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi. Korupsi tidak hanya merugikan negara secara keuangan, tetapi juga memberikan contoh buruk bagi masyarakat. Ketika pemimpin melakukan korupsi, masyarakat bisa menganggap hal ini biasa saja dan mulai meniru (Hamson, 2024) . Akibatnya, dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum, seperti pendidikan atau kesehatan, malah hilang begitu saja.Â
Ucapan dan Tindakan yang Tidak Sesuai. Banyak pemimpin politik sering kali berkata sesuatu tetapi tidak melakukannya. Hal ini membuat masyarakat merasa kecewa. Bahwa sekitar 67% pemimpin politik tidak menepati janji-janji merekam (Hamson, 2024). Contohnya, Janji politik yang tidak ditepati: Saat kampanye, banyak pemimpin berjanji untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, tetapi setelah terpilih mereka justru lupa dengan janji-janji itu. Kebijakan yang tidak sesuai dengan kampanye: Beberapa kebijakan yang dibuat lebih menguntungkan kelompok tertentu, bukan masyarakat umum. Perilaku pribadi yang tidak sesuai ucapan: Misalnya, pemimpin yang meminta masyarakat hidup sederhana, tetapi mereka sendiri memamerkan kemewahan. Ketidaksesuaian ini membuat masyarakat semakin sulit percaya pada pemimpin politik. Â
Penyalahgunaan Kekuasaan. Banyak elit politik yang menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Nepotisme (mengutamakan keluarga) dan kronisme (mengutamakan teman) masih sering terjadi di pemerintahan (Syafii, 2023). Contohnya, ada pemimpin yang memberikan jabatan penting kepada kerabatnya, meskipun mereka tidak memiliki kemampuan yang memadai. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin berkurang.Â
Kepentingan Pribadi atau Kelompok. Politisi yang lebih mementingkan kepentingan pribadi, kelompok politik, atau donatur daripada kepentingan rakyat cenderung mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai pemimpin yang seharusnya melayani masyarakat. Dalam banyak kasus, ambisi kekuasaan dan keinginan untuk mempertahankan posisi atau mendapatkan dukungan finansial dari pihak tertentu dapat mengikis komitmen mereka terhadap pelayanan publik yang seharusnya menjadi prioritas utama. Ketika politisi terjebak dalam kepentingan pribadi atau kelompok, mereka sering kali membuat keputusan yang tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sehingga merugikan rakyat dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi politik.