Menurut Ton Kelders, ada beberapa bagian penting dari cerita yang sengaja diabaikan:
Kesalahan Para Politisi: Seorang veteran pasukan khusus, Ton Kelders, dengan tegas menyatakan bahwa mereka dikirim berperang dengan "dalih palsu" (valse voorwendselen). Dalam pandangan mereka, kesalahan sesungguhnya terletak pada pemerintah yang membuat keputusan politik untuk mengirim mereka, bukan pada prajurit yang hanya menjalankan perintah di lapangan.
Kekerasan dari Pihak Lawan: Permintaan maaf itu sama sekali tidak menyinggung kekerasan dan penderitaan yang juga dialami oleh pihak Belanda. Para veteran ini menghadapi perlawanan sengit dan menyaksikan kekejaman yang mereka sebut dilakukan oleh para "ploppers" (istilah merendahkan yang ditujukan untuk para pejuang Indonesia). Dengan hanya menyoroti satu sisi, permintaan maaf itu terasa sangat tidak adil.
"De Indische Nederlander sangat menderita di bawah teror "ploppers" di Indonesia pada tahun 1945-1949", kata anggota dewan dan ilmuwan politik Micha'el Lentze. "Itulah salah satu alasan mengapa militer Belanda dikerahkan."
-
Pengorbanan yang Dilupakan: Mereka merasa pengorbanan mereka, teman-teman yang gugur, trauma yang mereka bawa seumur hidup, seolah tidak ada artinya. Permintaan maaf itu memberikan pengakuan penuh pada penderitaan korban di pihak Indonesia, namun melupakan bahwa mereka juga merasa menjadi korban dari perang tersebut.
 Perasaan yang Hanya Dirasakan Para Veteran Seperti John Bruininga dan Ton Kelders
"Apa urusannya dia ikut campur?" (Waar bemoeit hij zich mee?). Pertanyaan tajam dari veteran Ton Kelders ini merangkum perasaan banyak rekannya. Mereka merasa bahwa Raja dan generasi masa kini tidak akan pernah bisa memahami realitas brutal di medan perang saat itu.
Bagi mereka, perang memiliki logikanya sendiri yang kejam. Seperti yang dikatakan Kelders, "di setiap perang terjadi kejahatan" dan situasinya adalah "ini perang, dan ini antara kamu atau saya". Ini bukanlah pembelaan, melainkan sebuah penjelasan bahwa dalam kondisi ekstrem untuk bertahan hidup, batas antara benar dan salah menjadi kabur.
Mereka merasa tidak adil ketika tindakan mereka dihakimi oleh orang-orang yang tidak pernah merasakan desingan peluru atau tekanan psikologis di garis depan peperangan. Menariknya, Kelders sendiri mengakui bahwa seiring bertambahnya usia, ia sadar bahwa itu adalah masa perjuangan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Namun, kesadaran pribadi ini tidak cukup untuk menerima permintaan maaf resmi yang mereka anggap sebagai penghakiman yang dangkal dan tidak adil.
Pada akhirnya, kemarahan para veteran Belanda bukanlah penolakan sederhana terhadap perdamaian. Ini adalah ledakan emosi dari orang-orang yang merasa dilupakan, disalahkan, dan dikhianati oleh negara mereka sendiri. Permintaan maaf yang dimaksudkan untuk menutup satu bab kelam dalam sejarah, secara tidak sengaja justru membuka bab lain yang menyakitkan di dalam negeri Belanda.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa jalan menuju pemulihan sangatlah rumit. Sejarah tidak pernah hitam-putih dan selalu memiliki banyak sisi cerita yang saling bersaing. Untuk benar-benar berdamai dengan masa lalu, kita harus bersedia mendengarkan semua suara, termasuk suara-suara yang penuh luka dan amarah dari mereka yang pernah menjadi bagian dari sejarah kelam itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI