Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senja di Boulevard

21 Juni 2010   09:57 Diperbarui: 6 Juli 2015   04:49 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_173373" align="aligncenter" width="300" caption="doc.Fathoni Arief"][/caption]

Senja di Boulevard kampus tua. Seorang lelaki muda perawakan agak kurus dengan kulit setengah terbakar matahari, terduduk lesu di bawah gapura kampus. Dengan secarik kertas karton tebal dikipas-kipaskannya didepan wajahnya. Kilauan keringat keluar dari mukanya. Lelaki muda, seorang penulis, wartawan amatiran, yang sering mangkal di sudut kampus tua itu, berburu berita untuk koran terbitan esok hari.

"Ada kalanya nasib akan berfihak padaku", gumamnya dalam hati.

"Berjuang demi idealisme atau hanya sebuah sensasikah?" Sebuah keraguan yang membayangi dirinya. Sebuah keraguan yang membuat dirinya memilih untuk tetap tenggelam di tengah bersinarnya karir rekan satu angkatannya.

Jalan beda yang ditempuh. Sebuah kontroversi di dalam dirinya. Sesuatu yang terus saja membayanginya seringkali membuatnya terlihat aneh, tertekan dalam kehidupannya.

Sang lelaki muda terduduk di jok motornya. Dalam kesendiriannya dia termenung. Dinikmatinya segelas es doger yang hanya tersisa sepertiga volumenya gelas. Pelan-pelan diteguknya minuman dingin itu. Gelas es yang isinya hampir habis itu ditaruhnya di dinding pagar pasangan batu-bata yang ada di dekatnya.

Sore menjelang Maghrib bunderan masih dipenuhi dengan kerumunan anak-anak muda dengan berbagai aktivitasnya. Tempat yang penuh dengan sejuta cerita. Di taman kecil tepat di atas bunderan itu masih tersisa serakan kertas sisa aksi demonstrasi mahasiswa kampus ini.

Dengan kamera tua olympus miliknya wartawan amatir itu mulai mengambil obyek-obyek yang membuatnya menarik. Apa saja ia ambil tak tahu untuk apa gambar-gambar itu. Yang jelas bukan untuk dikirim ke surat kabar tempatnya bekerja.Sesuatu yang mungkin saja hanya sebuah keisengan untuk mengisi waktu luangnya.

Kini matanya tertuju pada satu arah. Dari kejauhan dilihatnya seorang wanita berambut panjang lurus dengan ikatan rapi. Seorang wanita berbaju rapi dengan kaca-mata. Dengan sepedanya pelan-pelan ia naiki. Wanita berkaca mata membelah jalanan kampus dan masih saja dalam tangkapan mata sang wartawan. Kamera sang wartawan mulai dibidikkan pada sasarannya. Sang wanita terus saja melaju seakan tak ada apa-apa. Terus saja ia mengayuh sepedanya meter demi meter. Ia tak menyadari saat sang wartawan amatir membidikan kamera kearahnya.

Satu, dua, tiga, empat, lima kali sang lelaki membidikkan kameranya. Sebuah senyuman terpancar dari wanita berambut panjang itu. Tapi entah senyuman itu untuk siapa yang jelas terpancar dari wajahnya.

"Benar-benar sosok impian mengagumkan. Sosok yang mampu bangkitkan sejuta inspirasi", wartawan itu tersenyum dan sesaat kemudian pergi meninggalkn bundaran kampus tua itu.

****

Sukrates, sebut saja namaku. Sebenarnya itu bukanlah nama asliku, ada sebab yang membuatku harus merahasiakan identitas asliku meskipun dengan membaca coret-coretan ini ada sebagian kecil orang terdekatku yang akan tahu siapa aku sebenarnya. Aku sedang mencari jati diriku. Lewat cerita akan kubagi perjalanan seorang Sukrates dalam melawan gejolak zaman.

Tentang nama yang kupakai mungkin saja mirip dengan seorang filosof Yunani terkenal, tapi sebenarnya tak ada hubungan dengannya. Yang mengilhamiku memakai nama ini sebenarnya adalah seorang angin sepak bola asal Brazil di era delapan puluhan, Socrates kakak dari jagoan lain yang pernah main di Paris Saint Germain Ray De Oliviera. Hanya karena lidah Jawaku yang masih begitu kental sehingga aku melafalkannya dengan ejaanku sendiri; Sukrates.

Aku terlahir dari seorang rahim ibu, yang dengan susah payah bergelut saat detik-detik kemunculanku di dunia. Dengan pilihan yang pasti antara hidup dan mati saat beliau melahirkanku. Saat Fang Surya baru saja muncul kira-kira jam setengah delapan aku lahir. Setuju tidak aku memanggil diriku sendiri Putra Fajar. Mungkin saja mirip dengan putra Fajar lain yang juga seorang Insinyur Sipil sepertiku tapi yang jelas aku tetaplah hanya seorang sukrates.

Satu hal yang saat ini sedang kucari-cari, aku mencari jati dirku. Jati diri ditengah kesendirian yang terus saja membayangiku.

****

Namaku angin. Entahapa maksud kedua orang tuaku memberi nama ini. Satu hal yang kutahu aku ingin seperti angin, sebagai penghias dari luasnya langit. Ya kiranya aku seperti itu terlahir sebagai wanita, sang peghias dunia.

Aku benci dengan sebuah penghianatan. Setidaknya aku pernah mengalami sesuatu yang menyakitkan. Hal yang sempat membuatku berada dalam kekecewaan. Aku memilih tetap sendiri hingga saat nanti kutemukan pasangan jiwaku. Yang kucari adalah benar-benar pasangan jiwa bukan lelaki bermuka topeng yang hanya tebar pesona tiba-tiba datang dan kemudian pergi lagi untuk mencari sebuah petualangan baru.

Persahabatan, pertemanan aku lebih menghargai semua itu, daripada kata-kata cinta atau apa saja.

Sebagai salah satu jalan yang kutempuh aku tiap hari duduk disini: berada diantara tumpukan berkas dan buku-buku. Sebagai penjaga perpustakaan di UKM kampus tua ini.

Aku sendiri bukannya tak ada yang gandrung, jatuh hati padaku. Sebenarnya banyak juga para lelaki yang datang padaku merengek untuk mendapatkan hatiku namun sekali lagi gerbang itu masih kukunci rapat-rapat hingga saatnya tiba. Aku mencari seorang sahabat, seorang teman.

Seperti hari-hari biasa saat aku kebagian tugas jaga perpus selalu saja aku pulang diatas jam enam sore. Entah kenapa aku lebih suka berlama-lama berada disini. Kos-kosan mungkin saja hanya sebagai tempat berganti baju, mandi dan tidur pada saat malam hari tapi disinilah rumahku.

Memang beraktivitas hingga sore cukup melelahkan tapi justru itu lebih baik daripada termenung sendiri dalam kamar sepiku dan hanya ditemani sebuah radio tua dan komputer kesayanganku.

****

Malam telah menyelimuti boulevard. Perlahan aktivitaspun berganti. Pintu gerbang utama telah ditutup. Kini di seputar pusat kampus tua itu banyak dikelilingi penjual angkringan, sekoteng dan sekelompok mahasiswa yang sekedar nongkrong menghabiskan malamnya.

Beberapa hari ini udara malam di kota ini tak seperti biasanya. Udara dingin terasa hingga tulang. Jangankan di luar rumah di dalam rasa dingin yang tak wajar itu masih terasa. Pantas saja sang lelaki muda terbungkus jaket hitam tebalnya.

Di salah satu sudut kampus terlihat lelaki muda wartawan amatir yang sedang duduk-duduk di warung angkringan.

Tatapan lelaki itu kini tertuju pada sosok wanita yang tengah berdiri, duduk didepan bangunan kampus itu.

"Dia, tak salah lagi",

Lelaki itu segera bangkit dan perlahan mendekati wanita itu.

"Maaf, bolehkah saya tahu nama saudara?", tanya lelaki kurus itu

Sang wanita hanya terdiam.

"Oh ya, namaku Sukrates, wartawan freelance sebuah majalah pendidikan",

"Namaku angin", jawab sang wanita

"Sekali lagi maaf, dalam beberapa kesempatan dengan sengaja aku mengambil fotomu. Ini beberapa diantara hasil jepretanku", sang wartawan muda itu menyerahkan selembar amplop coklat besar.

Angin, membuka isi dari amplop coklat itu. Beberapa lembar foto yang semuanya berisi dirinya.

"Sebenarnya ini bukan kali pertama aku melihat anda. Aku tahu tentang segala aktivitas anda di perpustakaan kecil itu. Baru kali ini keberanian cukup memaksaku berkenalan dengan anda",

Angin hanya terdiam dan sesekali tersenyum.

Begitulah sebuah awal cerita dimulai. Angin tak hanya dalam angan-angan Sukrates. Ia kini benar-benar ada dihadapannya.

Angin berada di dekat Sukrates. Sesuatu yang sangat luar biasa bagi Sukrates nyalinya muncul untuk berkenalan dengan angin.

****

Di warung angkringan pinggir kampus inilah aku bertemu dengan sosok yang telah lama kutahu. Benar dia gadis yang dulu tiap hari kuabadikan dalam jepretan kamera tuaku.

Rona merah terpancar di wajahnya ketika kubalas senyuman yang diberikan padaku. Tiap Hari aku selalu melihatnya keluar dari perpustakaan itu. Perpustakaan kecil milik salah satu UKM Universitas tua ini. Selalu saja di waktu yang sama dengan sepeda warna peraknya.

Aku sekarang sedang menguatkan tekadku untuk tak hanya melihatnya. Aku ingin mengenalnya, naluri lelakiku mendorongku untuk lebih jauh tahu tentang dirinya.

"Ah tidak" aku tersadarkan oleh kata hatiku. Aku baru saja mengenalnya. Jangan sampai diri ini kembali terjebak oleh rasa.

Sesegera mungkin aku harus kembali pada kesadaranku. Aku hanyalah sahabat saja. Tak ingin merusak segala yang kujalin dengan susah payah. Aku bukanlah tokoh mesum yang sering diceritakan dalam buku-buku cerita stensilan.

Aku tak mau menyakiti seseorang terlebih lagi tak mau sakiti diriku sendiri. Menyakiti diri sendiri dengan harapan-harapan yang muncul akibat fantasi dan angan-anganku.

****

Sukrates, benar-benar nama yang aneh. Persis ketika aku mulai tahu segala sesuatu tentang dirinya. Setidaknya aku yakin dia orang baik-baik sejauh dari yang kuketahui tentangnya. Mas sukrates, sahabat aneh yang saat ini kumiliki.

Orang aneh itu kini memang begitu dekat dengan kehidupanku. Hampir tiap hari aku bersmsan, ngobrol tentang banyak hal. Kita ngobrol tentang lagu favorit, piala dunia, tentang makanan pokoknya tentang semuanya. Sukrates telah menjadi sahabatku seperti seorang kakak bagiku.

Entah kenapa ia kini begitu dekat denganku. Ada semacam ketakutan yang mulai timbul, mulai muncul pada diriku. Dia salah rasa, salah dalam menghadapi persahabatan ini.

Aku lebih memilih persahabatan. Aku tak ingin semuanya berantakan hanya karena sebuah kesalah fahaman.

****

Angin, dia benar-benar angin liar tepat seperti namanya. Segalanya tentangnya sangat sulit ditebak dan diduga. Di satu sisi aku mengenalnya bahkan begitu mengenalnya namun disisi lain aku benar-benar tak mampu menebak apa yang ada dalam fikirannya.

Gelap di sepanjang jalan. Cahaya lampu kendaraan yang berlalu lalang yang sedikit membuat kegelapan itu terkurangi. Bayangan rentetan persoalan hidup mengiringi sepanjang perjalananku. Tentang pekerjaan, kisah masa lalu dan begitu banyak hal lain yang jika kuturuti akan mampu meledakkan isi otakku.

Bagian yang paling menarik saat melewati jalanan ini adalah saat diujung perbukitan menjelang jalan turun. Gemerlap lampu kota seperti titik-titik terang yang membelah kegelapan. Indah memang, pemandangan yang sering dinikmati pasangan muda-mudi yang terjebak rasa. Tak heran begitu banyak deretan motor yang terlihat disana.

Aku menengadah menatap langit. Kulihat tebaran angin di atas sana. Aku baru ingat ada sesuatu yang menghilang dalam kehidupanku. Aneh memang rasanya. Telah lama aku tak berhubungan dengan angin. Ia sepertinya lenyap begitu saja. Tak lagi bisa kutemui sepeda warna perak di perpustakaan kecil itu. Sehari, dua hari, tiga hari nampaknya ia benar-benar menghilang.

****

Senja telah menyelimuti bumi tempatku berpijak. Hawa dingin menembus tulang. Semuanya begitu terasa apalagi saat angin malam bertiup. Hembusannya mampu menembus jaket tebal yang melindungi tubuhku. Akupun terus saja menuruni tangga menuju stasiun bawah tanah jaringan Moskow Metro (Kereta api yang menghubungkan kota-kota di Rusia dan letaknya jauh di bawah tanah).

Sudah hampir satu setengah tahun aku tinggal di negeri beruang merah ini. Nasib baik berfihak padaku: Sebuah beasiswa S2 kudapatkan dari Universitas Moskow. Memang sebuah pilihan yang aneh, rekan-rekanku banyak yang berkata seperti itu.

Ada satu yang kuingat tentangnya. Hari ini dia sedang ulang tahun semoga saja kesehatan, keselamatan selalu saja dilimpahkan oleh yang kuasa padanya.

"Ayo berangkat, teman-teman sudah menunggu",

Aku mulai melangkah naik kereta api itu. Aku harus menjadi diriku sendiri dengan meninggalkan ganjalan masa lalu termasuk sebuah kisah yang pernah tergores di perpustakaan kecil itu.

Enam bulan lagi aku akan kembali ke tanah air. Rasanya sudah tak sabar. Dalam hati aku hanya bisa berharap, berdo'a suatu saat bisa kembali bertemu kembali dengan angin.

"Perjalanan baru kumulai sepenggal. Sudikah kau nanti berada disisiku…!", sebuah harapan yang tersembunyi dalam lipatan hati kecilku

Ah tak usahlah kau berkata seperti itu. Kata-kata yang telah kukubur dalam sejarah hidupku. Satu yang pasti kuingin kita tetap bersama hingga menemukan arti dari kehidupan.

Pelan-pelan kereta bawah tanah inipun melaju.

UGM, 12 November 2006

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun