Mohon tunggu...
Fathoni Arief
Fathoni Arief Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat biasa

Hadir dan Mengalir (WS.Rendra)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Catatan Perjalanan : Menelusuri Bayah (7)

13 Januari 2010   01:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:29 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Waktu sudah bergeser mendekati pukul 11 siang ketika angkot yang membawa kami mendekati Bayah. Total waktu tempuh dari Pelabuhan Ratu sekitar 3 jam. Sebenarnya jika kami tidak berhenti di sepanjang perjalanan waktu tempuh bisa lebih singkat lagi.

Perjalanan dengan menggunakan angkot inipun diakhiri di sini. Angkot berhenti agak jauh dari pusat kota. Menurut Kang Kus hal ini dilakukan untuk menghindari konflik dengan angkot lain yang sesuai trayek maklumlah seharusnya angkot yang kami naiki itu hanya sampai Citepus saja.

Kami berjalan menyusuri pusat kecamatan Bayah. Di kecamatan inilah di masa pendudukan Jepang tempat berkumpulnya puluhan ribu romusha yang didatangkan dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka menjalani kerja paksa untuk membangun jalan rel setelah Jepang memulai menambang batu-bara. Di masa itu satu-satunya tambang batu-bara di tanah Jawa adalah di Bayah.

Bayah merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Lebak. Saat era kolonial Lebak pernah memiliki asisten Residen yang membumi bernama Eduard Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan Multatuli. Ia terkenal dengan karyanya sebuah novel Max Havelaar (1860), novel yang banyak mengkritik perlakuan buruk penjajah terhadap kaum pribumi.

Dengan membawa tas ransel yang penuh barang bawaan dan kamera digital yang tergantung di leher kami berjalan menyusuri jalanan Bayah. Di kanan kiri nampak toko-toko yang menandakan aktivitas di sini cukup hidup. Pemandangan lainnya adalah kerumunan tukang ojek yang seperti biasanya jika melihat orang asing bakal langsung menawarkan jasanya.

Kami terus melangkah mencari tempat makan yang enak sebelum mencari masjid untuk menunaikan sholat Jumat. Dari informasi seorang polisi yang kami jumpai di perempatan letak masjid tak jauh hanya sekira 200 meter ke arah Selatan.

Setelah mencari-cari akhirnya kami masuk ke sebuah warung Padang. Warung padang, namanya saja yang padang namun penjualnya bukanlah orang Padang. Ketika kami masuk sang pemilik warung sudah menyambut kami. Selain kami manfaatkan untuk mengisi perut kesempatan ini juga kami gunakan untuk sekedar cuci muka sebelum berangkat ke masjid yang letaknya tak jauh dari warung.

Karena waktu yang terbatas kamipun menyegerakan makan dan tak berlama-lama di rumah makan untuk bersegera menuju masjid. Sebenarnya kami beniat mandi dulu di masjid namun informasi dari pemilik rumah makan kamar mandi masjid tidak memungkinkan.

Di masjid ternyata para jamaah sudah berdatangan. Kami mengambil tempat yang strategis untuk menaruh barang-barang kami. Seacara gantian kami mengambil air wudhu. Ternyata informasi dari pemilik rumah makan salah besar. Dari pengamatan langsung kamar mandi di masjid tersebut bersih, airnya juga lancar.

Setelah sekedar membasuh diri dan mengambil air wudhu kami di tempat masing-masing mengikuti ibadah sholat Jumat. Mungkin karena kurang tidur dan lelah sepanjang perjalanan khotbah Jumat menjadi waktu yang teramat mewah untuk terlelap sejenak.

Bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun