Mohon tunggu...
Fathir Rayyan K
Fathir Rayyan K Mohon Tunggu... Penulis - Fathir Rayyan K - XI MIPA 3 (10)

Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Henri

1 Desember 2020   19:22 Diperbarui: 1 Desember 2020   19:30 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

"Mau nonton bola di tempatku ga? Bapak-bapak ramai ngumpul juga jadi banyak cemilan." Ajak Bagas. Bagas adalah anak kepala desa di desa Henri, di rumahnya ada teras luas yang biasa digunakan bapak-bapak untuk nonton bareng pertandingan bola hingga debat politik. 

Keluarga Bagas juga memfasilitasi teras itu dengan TV pintar yang besar agar bisa dinikmati seluruh warga desa. Henri dan teman-temannya mengiyakan, ibunya Henri juga pasti tahu agenda hari itu dari tetangganya jadi Henri tidak begitu khawatir.

Pertandingan bola yang mengasyikkan itu ternyata selesai agak malam, karena memang baru dimulai malam juga. Untungnya tadi Henri sempat berpesan ke salah satu tetangganya agar mengabari ibunya supaya tidak khawatir, sebenarnya jarak rumah Bagas dan Henri juga dekat. Hanya berbeda satu gang. Akhirnya setelah membantu membersihkan teras yang kotor karena bungkus lontong dan puntung rokok milik bapak-bapak Henri pamit pulang, kebetulan hanya ia yang rumahnya berbeda arah sendiri dari teman-temannya tapi tidak masalah toh memang rumahnya dekat. Jalan ke rumah Henri harus melewati jalan besar yang menghubungkan desa antar desa terlebih dahulu, jadi sebetulnya agak ramai walau sudah malam.

Di pinggir jalan sebelum berbelok ke gang rumahnya Henri melihat sebuah mobil travel yang dibuka dan diatur sedemikian rupa seperti sedang mempromosikan sesuatu. 

Dekat mobil itu juga ada banner yang dipasang bertuliskan 'Masuk PTN impian di ibukota gratis? Gampang!' dan foto gedung kampus impian Henri, tulisan itu membuat Henri tertarik dan mendekat. Kok ada orang malem-malem masih disini? Batin Henri dalam hati, agak janggal. Ketika ia mendekat tiba-tiba ada seorang bapak paruh baya mendekat, "Eh adik tertarik? Wah! Kebetulan nih saya baru mau beres-beres. Yuk boleh ditanya-tanya." Sapanya dengan ramah sambil menarik kursi yang ada di dekat situ. "Eh.. iya Pak. Ini maksudnya gratis tuh apa ya?" Tanya Henri ragu-ragu. Setaunya biaya kuliah di kota kan mahal, ada biaya tinggal juga, apa ada yang sebaik itu mau membayarkan?

"Perkenalkan DIk nama saya Salman. Nah, jadi ini saya dari Lembaga Lanjut Kuliah yang sedang mencari kandidat anak-anak berbakat untuk dibiayakan kuliah di PTN idaman, Dik. Bapak lihat kamu ini umur-umur SMA... ya? Cocok banget ini program ini buat Adik." Bapak itu menjelaskan sambil menyodorkan brosur berisi nama-nama anak yang telah diberangkatkan dan berbagai kontek promosi lainnya. Henri tampak begitu tertarik dengan brosur itu, mendengar kata kuliah gratis sudah cukup untuk menggelitik telinganya. "Saya Henri Pak. Iya Pak saya kelas dua belas SMA." Jawab Henri, matanya masih terpaku membaca brosur yang begitu mengundang itu. "Syaratnya ga susah kok Dik Henri. Kamu cuma perlu kasih Bapak pas foto dan fotocopy rapor nah udah itu aja syaratnya. Gimana? Enak kan?" Pak Salman tersenyum kepada Henri. Henri membayangkan kuliah di ibukota, tinggal di ibukota, bermain bersama teman-temannya yang berasal dari segala daerah tanpa harus memikirkan biaya kuliah dan tinggal.

"Ini nanti gimana Pak cara kerjanya?" Tanya Henri, mulai yakin. "Nah gini Dik, besok kamu bawa aja tadi yang saya bilang, pas foto dan fotocopy rapor. Terus minggu depan Bapak anterin kamu ke ibukota buat ikut tes masuknya. Jangan takut tapi, soalnya ini pakai jalur dalam jadi tes nya ngga susah. Dan juga semuanya tanpa biaya, gratis tis tis!" Jelas Pak Salman, kata-katanya begitu menghipnotis Henri. "Jadi saya besok kesini lagi Pak?" Henri memastikan sekali lagi dan dibalas dengan anggukan Pak Salman. Sehabis itu Henri pulang dengan perasaan yang begitu campur aduk, bahkan hingga ia ingin tidur pun ia masih membayangkan mimpi-mimpinya kuliah di ibukota. Menyenangkan sekali. Namun, sebelum terlelap Henri terbayang muka ibunya, ibunya yang hanya punya dirinya satu-satunya. Bagaimana ia bisa membantu ibunya bila Henri pergi jauh?

Esoknya sehabis pulang sekolah Henri pergi ke pinggir jalan tempat kemarin ia bertemu Pak Salman. Anehnya hari itu tidak ada mobil travel yang besar itu, ia hanya melihat sebuah motor yang sedang bertengger. "Dik Henri!" Pak Salman memanggil dari motornya. Ia terlihat begitu was-was, mesin motornya menyala dan helmnya tidak ia buka sedikitpun. Kadang Pak Salman tampak menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada seseorang yang menguntitnya. "Bapak gapapa?" Henri bertanya. "Ah gapapa kok Dik. Nah sini coba mana berkasnya?" Pak Salman mengalihkan pembicaraan. Henri pun memberikan amplop berisi pas foto dan fotokopi rapornya. "Nah minggu depan ketemu disini lagi ya. Jam dua siang, ya." Pak Salman mengingatkan Henri. "Saya perlu bawa apa, Pak?" Tanya Henri kemudian. "Alat tulis aja atau apa yang biasa dipakai untuk ujian. Jarak ibukota kan tidak begitu jauh, jadi tidak usah bawa banyak-banyak." Jawab Pak Salman sebelum pamit dan langsung pergi dengan kecepatan tinggi. Seperti terburu-buru.

Dari hari itu Henri terus menghitung hari dengan tidak sabar. Walau begitu sejujurnya ia gelisah. Ibunya terus menerus hadir di pikirannya dan Henri tidak bisa bilang apa-apa ke ibunya karena pasti ibunya tidak setuju. Lagipula masih ada tes masuk kan? Henri akan mengabari ibunya bila ia lulus tes masuk yang dibahas Pak Salman itu. Jalur apa yang disebutkan? Jalur dalam? Pak Salman bilang itu akan mempermudah masuk ke PTN tersebut. Tapi apakah jalur itu halal dan legal?

Tibalah tepat sehari sebelum Henri akan berangkat untuk tes. Ia telah mempersiapkan beberapa materi dasar tapi sesungguhnya ia bingung juga soal seperti apa yang akan diujikan besok, Pak Salman bilang ujiannya tidak seperti ujian masuk kuliah pada umumnya. Malam itu ketika Henri sedang berberes peralatan ibunya memanggil. "Kenapa, Bu?" Henri menjawab, ibunya sedang duduk di dapur mempersiapkan ayam goreng bumbu untuk besok. "Kamu... jadi kuliah?" Tanya ibunya, tiba-tiba. Henri sedikit kaget, kenapa bisa pas sekali? Apa ibunya tahu? Tapi brosurnya saja sudah Henri buang di tempat sampah di dekat lapangan bola. Henri memutuskan untuk menjawab seadanya.

"Mau sih, Bu." Jawabnya. Ibu Henri mengangguk-angguk, "Tapi... mahal, Bu." Lanjut Henri. Ibu Henri hanya diam lalu ia berkata, "Iya. Kamu belajar aja di sekolah yang benar, nanti kalau memang bisa lanjut kuliah kita cari caranya bersama." Lalu ia pun menyuruh Henri untuk kembali ke kamar dan beristirahat. Malam itu tidur Henri gelisah. Tawaran Pak Salman memang begitu menggiurkan, tapi apakah itu rezeki atau malah cobaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun