Pada Agustus 2025, dunia mode internasional dikejutkan oleh sebuah merek jam tangan asal Swiss atas keputusan untuk menarik salah satu iklannya setelah menuai kecaman luas di Tiongkok. Kontroversi Iklan ini dikenal dengan Kontroversi "Slanted Eye" Swatch.
Dalam iklan tersebut, seorang model Asia tampak berpose dengan jari yang menarik ujung matanya ke samping yang mana gestur tersebut dianggap oleh banyak orang sebagai simbol rasis terhadap masyarakat Asia Timur.Â
Mungkin bagi sebagian orang Barat hal tersebut hanya sebuah pose ekspresi artistik. Tapi, bagi masyarakat Asia hal tersebut membawa luka sejarah yang mendalam, khususnya bagi masyarakat yang selama puluhan tahun menghadapi ejekan fisik karena memiliki "mata sipit".Â
Segera setelah kontroversi dan protes dari masyarakat, Swatch segera meminta maaf dan menghapus luka tersebut. Dalam permohonan maafnya, Swatch menyebut bahwa mereka tidak bermaksud menyinggung siapapun dan menyesal atas kesalahpahaman yang terjadi. Akan tetapi, apa benar ini hanyalah sebuah kesalahpahaman belaka?
Kasus ini membuktikan bahwa adanya globalisasi tidak menutup kemungkinan suatu misrepresentasi tetap ada. Suatu simbol, gambar, atau kata dapat direpresentasi berbeda-beda menurut budaya dan sejarah kolektif masing-masing.
Globalisasi dan Bahaya "Bahasa Universal"
Dalam dunia yang telah terintegrasi secara global, sebagian besar perusahaan memiliki impian untuk menciptakan iklan yang dapat menggunakan bahasa universal. Mereka ingin karya visual mereka dapat dipahami oleh semua orang tanpa menggunakan kata-kata. Namun, di balik impian ini tersembunyi bahaya yang besar : tidak ada yang benar-benar universal di balik sebuah simbol.
Antropolog komunikasi Edward T. Hall berpendapat bahwa setiap budaya memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan makna---ada yang disebut budaya berkonteks tinggi dan budaya berkonteks rendah. Budaya berkonteks tinggi, seperti di Asia, memiliki tingkat makna yang tertanam dalam konteks, sejarah, dan bentuk komunikasi nonverbal. Di budaya berkonteks rendah, seperti di Barat, pesan cenderung lebih langsung dan eksplisit.
Inilah yang mungkin menyebabkan perbedaan dalam persepsi terhadap satu gestur. Bagi tim kreatif Swatch, di mana budaya Barat dominan, pose tersebut dapat dianggap sebagai penanda keunikan fitur Asia. Namun, bagi masyarakat Asia, gestur tersebut mengingatkan mereka pada pelecehan rasial yang biasanya dialami orang Asia di masa lalu, khususnya pada masa kolonial dan migrasi ke Barat.
Menurut The Guardian (2025), simbol yang tampak netral dalam satu budaya dapat menjadi penghinaan dalam budaya lain, karena terkait dengan sejarah dan memori kolektif simbol tersebut.
Ketika Iklan Menyentuh Luka Kolektif
Orang-orang di China merespons dengan sangat cepat. Tagar #SwatchRacistAd menjadi tren beberapa jam setelah Swatch memposting iklannya di platform media sosial Weibo. Swatch dituduh oleh ribuan komentar karena kurang sensitif terhadap sejarah rasisme masyarakat orang Asia.