Mohon tunggu...
Fathan Ali
Fathan Ali Mohon Tunggu... Administrasi - Pascasarjana Magister Hukum Universitas Indonesia

“a high civilization is a pyramid, it can stand only upon a broad base; its prerequisite is a strongly and soundly consolidated mediocrity” peradaban yang tinggi adalah ibarat piramida, ia hanya bisa bertahan atas suatu landasan yang luas prasyaratnya ialah hal-hal tanggung yang dikonsolidasikan secara tangguh dan ampuh.”

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pancasila Harus Diagungkan, Bukan Dipersempit Maknanya!

16 Juni 2020   22:34 Diperbarui: 16 Juni 2020   22:27 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personil PASTI (@patiofficial)

Jakarta, 2020- Mengawali pembahasan mengenai Pancasila tentu saja tidak luput dari pengetahuan aspek historis kelahirannya di masa Pra Kemerdekaan. Tentu saja bila menilik pada istilah "Pancasila" kemudian "Bhineka Tunggal Ika" itu sudah ada sejak Kerajaan Majapahit, namun dalam hal ini pembahasan mengenai lahirnya Pancasila sebagai falsafah bangsa bermula dari Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang memperkenalkan mengenai "lima sila". 

Setelah itu, terbentuklah Panitia Sembilan yang terdiri dari Soekarno (ketua), Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, A.A Maramis Soebardjo (golongan kebangsaaan), K.H. Wachid Hasjim, K.H. Kahar Moezakir, H. Agoes Salim, dan R. Abikusno Tjokosoejoso (golongan Islam). 

Panitia Sembilan tersebut pada 22 Juni 1945 merumuskan dan memutuskan pembukaan UUD 1945 dengan istilah Mukaddimah, sedangkan oleh M. Yamin dinamakan sebagai Piagam Jakarta dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut Gentlemens Agreement. Setelah diputuskan kesepakatan Piagam Jakarta, terdapat penolakan terkait "tujuh kata" oleh Laturharhary anggota BPUPK. 

Sehingga, pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut diubah pada bagian akhirnya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal penting yang diubah oleh panitia ini adalah tujuh kata setelah Ke-Tuhanan, yang semula berbunyi "Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga, Rumusan pidato 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK, rumusan oleh Panitia Sembilan dalam Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dan rumusan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 harus dipahami sebagai satu kesatuan proses dalam kelahiran Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara.

Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan. 

Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, di antaranya Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. 

Bahwa sesungguhnya dalam hal memaknai Pancasila tentulah harus secara komprehensif dari tiga momen sejarah besar di tanggal 1 Juni 1945, 22 Juni 1945, dan 18 Agustus 1945. Dengan demikian, pikiran-pikiran founding fathers bangsa Indonesia tetap mendapat tempat yang layak dalam setiap pembentukan kebijakan para penerusnya.

Apabila melihat dari kacamata Ilmu Perundang-Undangan (Gesetzgebungslehre) dan Teori Perundang-undangan (Gesetzgebungtheorie). Maka tentunya Pancasila sebagai falsafah bangsa dalam Teori Perundang-undangan disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam teori jenjang norma hukum oleh Hans Kelsen (Stufentheorie). 

Norma dasar yakni Pancasila sebagai norma tertinggi dalam suatu sistem, sebab norma dasar tersebut merupakan hasil pemikiran masyarakat atau para pendiri bangsa (founding fathers) yang ditetapkan sebagai acuan bagi norma-norma yang ada di bawahnya (pre supposed). 

Selain norma hukum itu berjenjang, norma hukum juga dikelompokkan menjadi empat kelompok yakni Staatsfundamental Norm atau norma fundamental negara, Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara, Formell Gesetz atau undang-undang formal, dan yang terakhir Verordnung dan Autonome Satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun