Mohon tunggu...
Fatah Baginda Gorby Siregar
Fatah Baginda Gorby Siregar Mohon Tunggu... -

-Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia - Ketua Komisi Politik Konferensi Cabang XIX GMNI Kota Medan -Ketua Lembaga Studi Elang-Rajawali Indonesia - Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gajah Mada dan Borobudur yang di Mualafkan

22 Juni 2017   15:25 Diperbarui: 22 Juni 2017   20:34 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

 

 

Aku terlalu sibuk menulis opini orang, perspektif orang, asumsi orang, sampai tak ingat kapan terakhir menulis opiniku sendiri.  Juga terlalu lama menuliskan untaian puisi yang memuji keindahanmu adinda. Amboi, engkaulah alasanku untuk menulis. Senyummu yang tiada tara itu, membuatku lupa meletakkan titik dan koma.  Namun sekarang, bolehlah aku menuliskan sedikit pemikiranku. Aku berjanji tak akan meninggalkan senyummu yang aduhai itu. 

 

Baiklah, yaang pertama aku ingin mengomentari masalah tentang Gajah Mada dan Borobudur yang dimualaf- kan. 

Jika memang Gajahmada seorang muslim, ia tak akan bersumpah palapa.  Apakah muslim dibolehkan bersumpah membawa nama selain Allah?  

 

Jika Gajah Mada muslim, tak akan ada yang namanya imperium Majapahit. Yang ada imperium itu dibawah kekuasan Utsmaniyah, yang sedang galak-galaknya di tahun 1350 - 1389.

Islam saat itu melakukan ekspansi ke eropa untuk menundukkan Romawi, Vatikan hingga Hungaria. Lalu apakah Majapahit tunduk ke dalam wilayah Ottoman?  Atau Persia ketika itu?  Apakah ia Sunni atau malah Syiah? 

 

Isu ini tidak terlalu menarik untuk dibahas, namun terlalu seksi untuk ditinggalkan. 

 

Mahapatih Gajahmada yang setingkat Wazir Agung itu tak akan membiarkan Dyah Pitaloka mati bunuh diri bersama para dayangnya bila ia seorang muslim. 

 

Ia akan dengan senang hati menerima tamu pasundan yang datang, karena di undang oleh sang raja. Tidak akan ada namanya Bubat.

 

Gajahmada yang kita kenal perkasa itu, biarlah menjadi Gajahmada dan tetap akan terus menjadi Gajahmada. Wajahnya yang sangar itu (sepintas mirip M. Yamin) entah sengaja atau tidak, biarlah tetap menghiasi khazanah sejarah ibu pertiwi. 

 

Jika ingin mengatasnamakan Islam, marilah populerkan Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Piri Rheis, Ibnu Khaldun dan ilmuwan islam kontemporer lainnya. Pada saat Gajah Mada yang agung itu bersama pasukannya bergerilya menembus kerajaan di Tumasik, Al Khawarizimi telah menemukan hakikat bilangan nol. Saat Gajahmada mengobati luka yang didapatnya dari pertempuran dengan pelepah pisang, Ibnu Sina telah mempelajari sistem syaraf manusia. Saat Gajahmada memerintahkan penulisan prasasti atas keberhasilannya,  Phiri Reis sudah membuat peta bumi yang sangat detail tanpa satelit masa itu. Ketika Gajamada memerintahkan pembuatan Prasasti Singashari berikut candinya, Ibnu Khaldun telah menuliskan sejarah Filsafatpolitik dengan mukaddimahnya. Juga Al Farabi telah menemukan konsep negara ideal atau kota ideal. 

 

Lupakah kita, di saat Eropa yang sekarang hingar-bingar itu dulunya di abad pertengahan mereka gelap segelap-gelapnya!  Para ilmuwan Islam, cendekiwawan Islam memperkenalkan kembali pemikiran filsafat klasik Yunani yang dilupakan Eropa ketika itu. Pemikiran para filsuf itu dibawa kembali oleh para ilmuwan kontemporer kita dimasanya. Kembali mengingatkan Eropa, pemimiran Thales, Anaximenes, Xenophanes Hingga Socrates Plato dan Aristoteles yang terkenal itu. Barulah Eropa bangun dari dia punya tidur, bangkit dari ia punya kejatuhan. 

 

Gereja gereja di Vatikan mulai kembali mempelajari filsuf klasik itu. Namun Ilmuwan kita sudah melakukan lompatan yang besar. 

 

Marilah kita menjadi Islam yang ber-common sense. Gajah Mada akan tetap menjadi Gajah Mada dengan segala kehebatannya. Aku mengucapkan berjuta- juta terimakasih terhadap mahapatih yang agung itu. Berkatnyalah Indonesia ini bukan menjadi wilayah status quo. Berkat Mahapatih yang berambut panjang dan berbadan kekar itu, kita memiliki kesatuan geopolitik kedua (setelah yang pertama era Sriwijaya). 

 

Berkat Gajah Madalah (dan Hayam Wuruk tentunya) proses akulturasi Hindu dan Budha yang sangat kuat dan masuknya islam menjadi suatu hubungan dialogis yang harmonis. Hindu pada masa itu telah terjalin dengan Budha yang kemudian. Bhineka Tunggal Ika yang kita dengungkan itu menjadi realitas historis. Bagaimana Hindu dan Budha Mahayana menjadi jalinan yang harmonis. 

Tak tahukah kita Empu Tantular penulis Sutasoma itu beragama Budha Mahayana, namun ia menjadi kaum intelektual di Kerajaan yang bernafaskan Hindu. 

 

Lalu Islam yang datang masuk tidaklah menjadi penghalang. Islam yang masuk dari Barus disebarkan lagi melalui Sembilan Wali yang hebat itu juga sama sekali tidak melakukan tindakan pemaksaan. Kesembilan wali itu sadar, Hindu dan Budha yang begitu kuat yang telah menciptakan peradaban termashyur di Bumi Indonesia tak akan bisa di lawan dengan senjata. Pendekatan budaya adalah cara yang paling ampuh untuk itu. Oh, matur nuwun kanjeng sunan! 

 

Singkatnya, Islam Hindu dan Budha menjadi satu jaringan yang berkelindan menghasilkan satu tatanan kultural ala Indonesia. 

 

Kita menghalalkan segalanya. Garuda Pancasila harus diubah menjadi Hud- Hud Nabi Sulaiman, Monas ingin dijadikan Burj Khalifa ala Dubai. 

 

Ah ayolah. Islam tidak sepicik itu. Bahkan Rasul yang kita cintai masih mau menelusuri peradaban Romawi dan Persia kala itu. Di satu hadistnya Rasul tak melarang suami bercampur dengan istri yang menyusui. Beliau awalnya khawatir namun tidak mengapa setelah melihat orang Romawi bercampur dengan istri mereka. 

 

Alangkah baiknya kita meninggalkan egoisme, fanatisme, yang menjadikan kita buta sama sekali buta sejarah. 

 

Kejadian ini hampir sama dengan stigmatisasi golongan kiri. Pada saat itu buku-buku kiri dibakar dan tak bisa dibaca. Sampai-sampai Frans Magnis Suseno mengatakan pembakaran itu adalah tindakan fisik untuk membungkam pikiran yang tidak mampu dilawan secara pikiran.  Kali ini juga seperti itu, kita memanipulasi sejarah, melawan produk sejarah yang sahih dengan angan-angan nostalgia kita yang entah kemana. Apakah ego mayoritas kita, atau di tengah konflik sosial yang hangat-hangatnya kita ingin memaksakan sejarah semau kita? Produk sejarah yang sahih kita bungkam sedemikian rupa? Apakah kita akan mengajarkan kebodohan,kepalsuan ke anak-anak kita? . Ya, benar lawanlah pikiran dengan pikiran. Namun pikiran yang bersih, jernih tanpa kepicikan sentimentil!

 

Ah, beribu maaf adinda. Aku terlalu semangat menulis. Baiklah, aku akan berhenti sejenak. Tetapi berikanlah senyumanmu yang indah itu oh putriku. Agar aku dapat menulis kembali. Amboi, indahnya senyuman itu. 

 

- Bahasan ku yang kedua adalah mengenai seniman. Walau sepintas tak ada hubungannya dengan pokok bahasan pertama, tetapi ini implikasi dari hilangnya seniman dan budayawan kita. Apakah seniman dan budayawan kita tenggelam di dalam hiruk pikuk kemajuan metropolis?  Hingar bingar smartcity?  Ataukah melacurkan diri kepada penguasa dan pemiliki modal? Ah aku tak tahu. 

Seniman dan Budayawan memiliki tanggung jawab yang besar dalam hal ini. Kebudayaan,  keraifan lokal dan segala kekayaan non-fisik Indonesia ini yang tiada tara adalah seniman dan budayawan yang menjadi benteng terakhirnya. Kemana mereka? 

 

Ingatlah kita hidup di bumi Indonesia ini tidak hanya ingin cukup makan, cukup pakaian, tempat tinggal, pendidikan hingga kesehatan. Namun kita ingin cukup meminum seni dan kultur!  Pendek kata ingin perbaikan nasib di segala bidang-bidangnya dan cabang-cabangnya. 

 

Seniman dan Budayawan harus kita hormati, karena merekalah pewaris sejarah yang sahih. Bahasa Jawa yang di pakai itu telah ada sejak beribu tahun yang lalu, tetali apakah kita membanggakannya?  Tidak!  Tarian kita telah ada di kraton, kasepuhan, istana berabad yang lalu namun apakah kita membanggakannya?  Tidak! Kita lebih senang ber- gangnam style, disko, cha cha, falshmob ria. Ah bangsaku tidak tahu diuntung. 

 

Wayang dan batik dimasukkan ke drama Upin Ipin kita diam saja. Tak tahukah anak kita menontonnya? Hingga dibesar nanti mereka menyanggah kita. Wayang dam batik bukan milik Indonesia tetapi milik Upin, Ipin, Kak Ros dan Oppah-nya! 

 

Kemana lagi festival kebudayaan kita?  Dahulu seni begitu membumi di kehidupan rakyat. Bung Karno mengatakan kebudayaan nasional itu adalah pemersatu bangsa. Ki Hajar mengatakan puncak kebudayaan daerah itu adalah kebudayaan nasional. Lalu kita membuang sama sekali budaya kita? Ah, yang benar saja. 

 

Hilangnya kepemilikan Borobudur, dan Gajah Mada adalah satu ironi. Seakan Borobudur dan Gajah Mada hanya milik umat Hindu dan Budha saja. 

 

Sama seperti kita menganggap Allah hanya menciptakan yang baik-baik. Babi dan Anjing bukan ciptaan Allah. Karena kedua itu haram menyentuhnya!  Hahaha,  bangsa Barat akan menertawakan kita. Selama iniKetertinggalan kita adalah satu kemajuan bagi mereka. Semakin kita tertinggal,  semakin jauh mereka di depan. Mari kita buat kemajuan kita,haruslah menjadi keniscahyaan bagi mereka! 

 

Mungkin sampai di sini akhir tulisanku. Namun tidak dengan cintaku padamu. Kepada pembaca beribu maaf bila terlalu panjang, dan ribuan terima kasih. Untukmu adinda, salam manisku kepadamu. Bayangmu itu tetap menghantui si penulis ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun