Mohon tunggu...
fasya official
fasya official Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris

Tanggungjawab mendeskripsikan kualitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Optimisme : Vaksin terbaik melawan rasa takut

13 Juli 2025   11:30 Diperbarui: 13 Juli 2025   11:27 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Optimisme: Vaksin Terbaik Melawan Rasa Takut"

Di era modern yang serba cepat dan penuh tantangan ini, rasa takut kerap menghantui kehidupan kita. Kita takut gagal dalam karier, takut ditinggalkan, takut kehilangan orang yang kita cintai, bahkan takut menghadapi masa depan yang tidak pasti. Kemajuan teknologi membuat kita dapat membagikan dan melihat momen yang terjadi di kehidupan kita ataupun orang lain. Postingan di media sosial terkadang membuat kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain sehingga rasa takut akan masa depan menjadi lebih besar. Narasi negatif yang kerap kali kita temui di berita televisi dan media sosial semakin memperparah kondisi ini. Seakan-akan, ketakutan kini menjadi wabah yang lebih menular daripada virus mana pun. Namun, di tengah serbuan rasa takut tersebut, ada satu "vaksin" yang dapat melindungi kita: optimisme.

Optimisme bukan sekadar berpikir positif tanpa dasar atau menipu diri sendiri dengan harapan palsu. Ia adalah cara pandang yang kuat, terarah, dan realistis untuk menghadapi berbagai kesulitan. Dalam buku Learned Optimism karya Martin Seligman, dijelaskan bahwa optimisme adalah kemampuan untuk melihat sisi baik dari setiap situasi, serta meyakini bahwa kita memiliki kendali atas masa depan kita. Seligman menyebut konsep ini sebagai explanatory style, yaitu gaya seseorang menjelaskan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Orang yang optimis memiliki gaya penjelasan yang positif: kegagalan dianggap sebagai peristiwa sementara dan spesifik, bukan sesuatu yang permanen atau menyeluruh.

Sebaliknya, rasa takut adalah emosi yang muncul sebagai respons alami terhadap ancaman. Dalam dosis kecil, rasa takut membantu kita bertahan hidup. Namun, ketika kita tidak dapat mengendalikan rasa takut itu maka ketakutan dapat menghambat diri kita untuk bisa lebih berkembang. Banyak orang yang akhirnya menyerah pada potensi dirinya hanya karena takut gagal. Mereka enggan mencoba, takut ditolak, dan akhirnya kehilangan kesempatan berharga. Dalam buku The Power of Positive Thinking, Norman Vincent Peale mengatakan ketakutan terkadang tercipta dari pikiran kita sendiri, bukan dari kenyataan. Pikiran negatif memperbesar ketakutan dan melemahkan keberanian kita.

Optimisme dapat diibaratkan sebagai vaksin mental yang memperkuat sistem pertahanan psikologis kita terhadap rasa takut. Seperti vaksin biologis yang melatih tubuh kita agar kebal terhadap penyakit, optimisme melatih pikiran kita agar tangguh menghadapi ketakutan. Seligman menunjukkan melalui berbagai penelitian bahwa individu optimis lebih jarang mengalami depresi, memiliki tingkat stres yang lebih rendah, serta merasa lebih puas dalam hidup. Bahkan, secara fisik, orang yang optimis cenderung memiliki sistem imun yang lebih kuat. Sebuah studi yang melibatkan pasien jantung menunjukkan bahwa pasien yang memiliki pandangan optimis menunjukkan pemulihan yang lebih cepat dan risiko kambuh yang lebih rendah dibandingkan mereka yang pesimis.

Dalam The Power of Positive Thinking, Peale menceritakan banyak kisah nyata tentang orang-orang yang berhasil mengalahkan ketakutannya dan mencapai kesuksesan berkat kekuatan pikiran positif. Salah satunya adalah kisah seorang pengusaha yang nyaris bangkrut dan diliputi rasa takut luar biasa. Setelah mempraktikkan prinsip-prinsip optimisme, menggantikan ketakutannya dengan keyakinan yang kokoh, ia justru menemukan solusi inovatif dan akhirnya bisnisnya berkembang pesat. Contoh lain adalah kisah seorang atlet yang hampir menyerah setelah cedera parah. Dengan optimisme, ia tidak hanya pulih, tetapi juga mampu meraih medali emas di ajang internasional.

Sikap optimis juga sangat berkaitan dengan konsep grit yang dijelaskan oleh Angela Duckworth dalam bukunya Grit: The Power of Passion and Perseverance. Duckworth menekankan bahwa kesuksesan bukan hanya soal bakat semata, melainkan kombinasi antara hasrat mendalam (passion) dan kegigihan luar biasa (perseverance). Orang yang memiliki grit biasanya juga memiliki optimisme yang tinggi. Mengapa demikian? Karena orang optimis percaya bahwa usahanya akan menghasilkan sesuatu, meskipun tidak selalu langsung terlihat. Ketika menghadapi kegagalan, orang dengan grit melihatnya sebagai batu loncatan, bukan sebagai tembok penghalang.

Dalam kehidupan ini, banyak sekali orang sukses yang berawal dari kegagalan. Mereka menjadikan kegagalan sebagai evaluasi untuk dapat mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebagai contoh, banyak atlet dunia yang harus jatuh bangun sebelum meraih medali. Michael Jordan, salah satu pemain basket terbaik sepanjang masa, pernah gagal masuk tim basket sekolahnya. Namun, berkat sikap optimis dan kegigihannya, ia justru berlatih lebih keras dan menjadikan kegagalan sebagai bahan bakar untuk meraih prestasi yang luar biasa. Dalam Grit, Duckworth juga mengisahkan bagaimana para pemenang Spelling Bee di Amerika Serikat bukan selalu anak-anak yang jenius, tetapi justru mereka yang paling gigih, paling sering mencoba, dan paling optimis menghadapi tantangan.

Ketika kita berbicara tentang ketakutan, salah satu sumber ketakutan terbesar adalah ketidakpastian masa depan. Kita sering kali terjebak dalam pikiran "bagaimana jika gagal?", "bagaimana jika orang lain menertawakan saya?", atau "bagaimana jika saya tidak cukup baik?". Pikiran-pikiran ini membuat kita ragu melangkah. Di sinilah peran optimisme menjadi sangat penting. Optimisme mengajarkan kita untuk memusatkan perhatian pada apa yang bisa kita kontrol, bukan pada hal-hal di luar kendali kita. Ketika kita lebih fokus pada tindakan dan solusi, bukan pada ketakutan, maka peluang untuk sukses akan terbuka lebih lebar.Selain membantu menghadapi ketakutan, optimisme juga menumbuhkan ketahanan mental (resilience). Dalam buku Learned Optimism, Seligman memaparkan bahwa anak-anak yang diajarkan cara berpikir optimis sejak dini lebih tangguh saat menghadapi kegagalan akademik atau masalah sosial. Mereka lebih cepat bangkit, tidak larut dalam kesedihan, dan tetap percaya bahwa mereka bisa memperbaiki keadaan. Ini menunjukkan bahwa optimisme bukan hanya bermanfaat bagi orang dewasa, tetapi juga penting ditanamkan sejak usia dini.

Bagaimana menumbuhkan sifat Optimis?

Optimisme bukan berarti kita mengabaikan kenyataan atau menolak fakta. Justru, orang yang optimis tetap mengakui adanya kesulitan, tetapi memilih untuk berfokus pada solusi. Misalnya, saat seseorang gagal dalam ujian masuk universitas, ia bisa memilih untuk terus mengasihani diri sendiri (pesimis) atau mencoba mencari strategi belajar yang lebih efektif dan mencoba lagi (optimis). Dengan demikian, optimisme bukanlah bentuk kebodohan, melainkan keberanian yang cerdas dan terencana. Seligman dalam Learned Optimism menawarkan metode "ABCDE" yang sederhana dalam menumbuhkan rasa optimis pada diri kita. Pertama, kita dapat mengidentifikasi masalah atau tantangan yang sedang dihadapi. Selanjutnya, sadari keyakinan yang muncul setelah menghadapi kesulitan seperti "saya tidak bisa atau saya bodoh". Kemudian perhatikan bagaimana keyakinan itu dapat mempengaruhi perasaan dan tindakan. Setelah itu kita harus dapat menantang keyakinan negatif yang dapat mempengaruhi perasaan dan tindakan. Ketika kita dapat berfikir positif akan ada hal positif yang dapat terjadi. berfikir positif dapat mempengaruhi kenyataan yang akan terjadi sehingga berfikir positif dapat mempengaruhi apa yang terjadi.

Peale dalam The Power of Positive Thinking menyarankan agar kita rutin melakukan afirmasi positif, seperti "Saya mampu melewati ini" atau "Saya layak mendapatkan yang terbaik." Meskipun terdengar sederhana, kalimat-kalimat positif ini perlahan-lahan akan mengubah pola pikir bawah sadar kita. Peale juga menganjurkan agar kita mengelilingi diri dengan orang-orang yang mendukung dan berpikiran positif, sebab lingkungan sangat memengaruhi ketahanan mental kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa memulai dari hal kecil, misalnya memperhatikan dengan siapa kita sering bergaul, jenis konten yang kita konsumsi, serta rutinitas yang kita bangun setiap pagi. Angela Duckworth menekankan pentingnya "passion journaling" atau mencatat hal-hal yang kita sukai, serta kemajuan yang kita capai setiap hari, sekecil apa pun itu. Dengan cara ini, kita melatih otak untuk fokus pada pertumbuhan dan pencapaian, bukan pada ketakutan gagal. Kebiasaan ini juga membantu kita membangun grit yang kokoh, sehingga kita tidak mudah terjatuh oleh rasa takut.

Selain strategi mental, aktivitas fisik juga berperan penting. Riset menunjukkan bahwa olahraga teratur membantu menurunkan hormon stres (kortisol), memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan rasa percaya diri. Banyak atlet profesional yang menganggap olahraga bukan hanya latihan fisik, tetapi juga ritual mental untuk menanamkan optimisme dan keberanian. Dengan rutin berolahraga, kita secara tidak langsung mengajarkan otak untuk terus bergerak maju, meskipun kondisi sulit. Para ilmuwan menemukan bahwa otak manusia memiliki sifat neuroplastisitas --- kemampuan untuk berubah dan beradaptasi. Dengan latihan optimisme, kita sebenarnya sedang "mencetak ulang" jalur saraf di otak agar lebih mudah merespons secara positif. Hal ini menunjukkan bahwa optimisme bukan sekadar bakat bawaan, melainkan kemampuan yang bisa dipelajari, dibangun, dan ditumbuhkan oleh siapa saja.

Optimis merubah hidup : Positif Thinking

Selain berdampak pada kemampuan diri, optimisme juga berdampak pada hubungan sosial kita. Orang yang memberikan positive vibes akan memberikan dampak positif pada orang disekitarnya. Orang yang optimis lebih mudah dipercaya dan disukai, karena mereka memancarkan energi positif yang menular. Seperti yang dijelaskan Peale, "Energi positif seperti magnet: ia menarik keberhasilan dan mempererat hubungan." Hubungan yang sehat pada gilirannya menjadi penopang utama ketika kita merasa takut atau rapuh.Tentu saja, membangun optimisme bukan berarti kita tidak akan pernah merasa takut lagi. Rasa takut akan tetap muncul sebagai bagian alami dari hidup. Namun, dengan optimisme sebagai "vaksin", kita belajar mengelola dan meredam ketakutan itu. Kita tidak membiarkannya menguasai hidup, melainkan menjadikannya sinyal untuk bertindak lebih cerdas dan berani.

Optimisme dibangun bukan berarti kita tidak akan pernah merasa takut lagi. Rasa takut tetap muncul sebagai bagian alami dari kehidupan manusia. Namun, dengan optimisme sebagai "vaksin", kita belajar mengelola dan meredam ketakutan itu. Kita tidak membiarkannya menguasai hidup, melainkan menjadikannya sinyal untuk bertindak lebih cerdas dan lebih berani. Optimisme tidak menghapus ketakutan, tetapi mengajari kita berdamai dengannya.

Di tengah dunia yang penuh tekanan, penting bagi kita untuk memiliki "perisai" mental yang kuat. Optimisme menawarkan kekuatan untuk terus bergerak, meski jalannya terjal dan hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Ketika kita optimis, kita tidak hanya melihat kemungkinan kegagalan, tetapi juga peluang untuk tumbuh. Kita tidak hanya memikirkan "bagaimana jika gagal?", tetapi juga "bagaimana jika berhasil?"

Sebagai penutup, kita bisa merenungkan satu pesan penting: optimisme bukan sekadar harapan kosong, tetapi fondasi nyata yang dibangun dengan latihan pikiran dan kebiasaan sehari-hari. Ia adalah vaksin mental yang akan terus melindungi kita dari virus ketakutan yang sering melemahkan semangat. Dengan optimisme, kita belajar mengubah rasa takut menjadi dorongan, mengubah kegagalan menjadi pelajaran, dan mengubah keraguan menjadi keyakinan.

Hari ini, mari kita suntikkan dosis optimisme dalam diri. Kita bisa memulainya dengan langkah sederhana: mensyukuri satu hal baik setiap hari, menantang satu pikiran negatif, atau berbagi energi positif dengan orang lain. Dengan begitu, kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga menularkan "kesehatan mental" kepada lingkungan sekitar. Karena pada akhirnya, keberanian untuk melangkah lebih jauh lahir bukan dari hilangnya rasa takut, melainkan dari keyakinan bahwa kita bisa mengatasinya, dan bahwa masa depan selalu memiliki ruang bagi mereka yang berani berharap dan berusaha.

Referensi :

  • Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. New York: Scribner.
  • Peale, N. V. (1952). The Power of Positive Thinking. New York: Prentice Hall.
  • Seligman, M. E. P. (1990). Learned Optimism: How to Change Your Mind and Your Life. New York: Alfred A. Knopf.

oleh : Fasya Akhsanti Nadiyya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun