Mohon tunggu...
fasya official
fasya official Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris

Tanggungjawab mendeskripsikan kualitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Optimisme : Vaksin terbaik melawan rasa takut

13 Juli 2025   11:30 Diperbarui: 13 Juli 2025   11:27 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Peale dalam The Power of Positive Thinking menyarankan agar kita rutin melakukan afirmasi positif, seperti "Saya mampu melewati ini" atau "Saya layak mendapatkan yang terbaik." Meskipun terdengar sederhana, kalimat-kalimat positif ini perlahan-lahan akan mengubah pola pikir bawah sadar kita. Peale juga menganjurkan agar kita mengelilingi diri dengan orang-orang yang mendukung dan berpikiran positif, sebab lingkungan sangat memengaruhi ketahanan mental kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa memulai dari hal kecil, misalnya memperhatikan dengan siapa kita sering bergaul, jenis konten yang kita konsumsi, serta rutinitas yang kita bangun setiap pagi. Angela Duckworth menekankan pentingnya "passion journaling" atau mencatat hal-hal yang kita sukai, serta kemajuan yang kita capai setiap hari, sekecil apa pun itu. Dengan cara ini, kita melatih otak untuk fokus pada pertumbuhan dan pencapaian, bukan pada ketakutan gagal. Kebiasaan ini juga membantu kita membangun grit yang kokoh, sehingga kita tidak mudah terjatuh oleh rasa takut.

Selain strategi mental, aktivitas fisik juga berperan penting. Riset menunjukkan bahwa olahraga teratur membantu menurunkan hormon stres (kortisol), memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan rasa percaya diri. Banyak atlet profesional yang menganggap olahraga bukan hanya latihan fisik, tetapi juga ritual mental untuk menanamkan optimisme dan keberanian. Dengan rutin berolahraga, kita secara tidak langsung mengajarkan otak untuk terus bergerak maju, meskipun kondisi sulit. Para ilmuwan menemukan bahwa otak manusia memiliki sifat neuroplastisitas --- kemampuan untuk berubah dan beradaptasi. Dengan latihan optimisme, kita sebenarnya sedang "mencetak ulang" jalur saraf di otak agar lebih mudah merespons secara positif. Hal ini menunjukkan bahwa optimisme bukan sekadar bakat bawaan, melainkan kemampuan yang bisa dipelajari, dibangun, dan ditumbuhkan oleh siapa saja.

Optimis merubah hidup : Positif Thinking

Selain berdampak pada kemampuan diri, optimisme juga berdampak pada hubungan sosial kita. Orang yang memberikan positive vibes akan memberikan dampak positif pada orang disekitarnya. Orang yang optimis lebih mudah dipercaya dan disukai, karena mereka memancarkan energi positif yang menular. Seperti yang dijelaskan Peale, "Energi positif seperti magnet: ia menarik keberhasilan dan mempererat hubungan." Hubungan yang sehat pada gilirannya menjadi penopang utama ketika kita merasa takut atau rapuh.Tentu saja, membangun optimisme bukan berarti kita tidak akan pernah merasa takut lagi. Rasa takut akan tetap muncul sebagai bagian alami dari hidup. Namun, dengan optimisme sebagai "vaksin", kita belajar mengelola dan meredam ketakutan itu. Kita tidak membiarkannya menguasai hidup, melainkan menjadikannya sinyal untuk bertindak lebih cerdas dan berani.

Optimisme dibangun bukan berarti kita tidak akan pernah merasa takut lagi. Rasa takut tetap muncul sebagai bagian alami dari kehidupan manusia. Namun, dengan optimisme sebagai "vaksin", kita belajar mengelola dan meredam ketakutan itu. Kita tidak membiarkannya menguasai hidup, melainkan menjadikannya sinyal untuk bertindak lebih cerdas dan lebih berani. Optimisme tidak menghapus ketakutan, tetapi mengajari kita berdamai dengannya.

Di tengah dunia yang penuh tekanan, penting bagi kita untuk memiliki "perisai" mental yang kuat. Optimisme menawarkan kekuatan untuk terus bergerak, meski jalannya terjal dan hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Ketika kita optimis, kita tidak hanya melihat kemungkinan kegagalan, tetapi juga peluang untuk tumbuh. Kita tidak hanya memikirkan "bagaimana jika gagal?", tetapi juga "bagaimana jika berhasil?"

Sebagai penutup, kita bisa merenungkan satu pesan penting: optimisme bukan sekadar harapan kosong, tetapi fondasi nyata yang dibangun dengan latihan pikiran dan kebiasaan sehari-hari. Ia adalah vaksin mental yang akan terus melindungi kita dari virus ketakutan yang sering melemahkan semangat. Dengan optimisme, kita belajar mengubah rasa takut menjadi dorongan, mengubah kegagalan menjadi pelajaran, dan mengubah keraguan menjadi keyakinan.

Hari ini, mari kita suntikkan dosis optimisme dalam diri. Kita bisa memulainya dengan langkah sederhana: mensyukuri satu hal baik setiap hari, menantang satu pikiran negatif, atau berbagi energi positif dengan orang lain. Dengan begitu, kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga menularkan "kesehatan mental" kepada lingkungan sekitar. Karena pada akhirnya, keberanian untuk melangkah lebih jauh lahir bukan dari hilangnya rasa takut, melainkan dari keyakinan bahwa kita bisa mengatasinya, dan bahwa masa depan selalu memiliki ruang bagi mereka yang berani berharap dan berusaha.

Referensi :

  • Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. New York: Scribner.
  • Peale, N. V. (1952). The Power of Positive Thinking. New York: Prentice Hall.
  • Seligman, M. E. P. (1990). Learned Optimism: How to Change Your Mind and Your Life. New York: Alfred A. Knopf.

oleh : Fasya Akhsanti Nadiyya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun