Mohon tunggu...
Fasya Alif
Fasya Alif Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Faqir Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

LGBT: Antara Kebebasan dan Kerusakan

2 Juli 2022   13:25 Diperbarui: 5 Juli 2022   00:35 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, isu LGBT kembali naik ke permukaan dengan di awali seorang youtuber mengunggah video yang di dalamnya mengundang sepasang Gay dalam acara podcast-nya dan menuai banyak kritikan dari masyarakat, sampai-sampai video tersebut ditarik kembali. Kemudian pada tanggal 17 Mei, kedutaan besar Inggris untuk Indonesia mengunggah foto bendera pelangi yang merupakan simbol dari kelompok LGBT, unggahan tersebut menuai berbagai macam kritik dan kecaman. Bahkan dari tokoh Islam Indonesia pun bersuara, bahwa ‘kedubes Inggris tidak menghormati negara RI yang memiliki nilai-nilai falsafah ketuhanan yang Maha Esa. Tidak ada satu agama pun yang di akui oleh negara yang mentolerir praktik LGBT’.

Pada akhir bulan Mei, di dalam parlemen kembali di angkat RUU KUHP yang di dalamnya mengatur LGBT. Banyak sekali pro-kontra di masyarakat terkait RUU ini, yang ‘pro’ berdalih bahwa LGBT tidak sesuai dengan falsafah negara yang berketuhanan yang Maha Esa dan merusak nilai-nilainya, serta menyimpang dari budaya masyarakat Indonesia. Sedangkan, yang ‘kontra’ berdalih bahwa jika disahkannya RUU tersebut akan adanya stigmatisasi terhadap LGBT bahkan adanya diskriminasi terhadap LGBT yang tidak melakukan kesalahan, serta menjadi LGBT merupakan kebebasan bagi mereka. Jadi, apakah LGBT merupakan sebuah kebebasan yang bisa dipilih setiap orang, atau merupakan sebuah kerusakan nilai-nilai yang ada? Apakah perlu diterima atau ditolak?

Kebebasan pada masa ini, dipahami sebuah keadaan dimana seseorang bebas melakukan apapun baik itu dari ataupun untuk dirinya.[1] Jika kebebasan dipahami seperti itu, maka akan banyak kesalahan dan kejahatan dimuka bumi, serta manusia akan banyak menyalahi fitrahnya. Sedangkan dalam Islam kebebasan dimaknai sebagai suatu yang sesuai dengan fitrahnya, dan kebebasan memlilih yang baik, yang pada ujungnya akan bermuara pada kebaikan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Jika kebebasan ingin dipahami secara mutlak dimiliki seseorang, maka kita harus menerima konsekuensinya, baik maupun buruk.[2] Sebagai contoh, Jika seseorang mencuri barang kita, kita tidak boleh marah, karena itu merupakan kebebasan yang dimiliki orang lain.

 

Bagi Barat, Penyimpangan seksual (LGBT) merupakan sebuah kebebasan yang dimiliki seseorang. Mereka berpandangan seperti itu karena berangkat dari trauma historis pada zaman dahulu, mereka sangat diatur oleh gereja. Maka dari itu pada masa sekarang, mereka memisahkan peran agama dari dunia dan agama hubungannya hanya dengan individu saja.

 

Jika ditelusuri lebih dalam, LGBT mempunyai banyak kekurangan bahkan kerusakan, apapun alasan yang membelanya. Karena data dan fakta mengatakan bahwa orang yang LGBT memiliki kesehatan mental yang buruk, lebih lagi gangguan depresi mayor, kecemasan, dan kecenderungan bunuh diri pada kelompok homoseksual lebih tinggi dari pada kelompok heteroseksual. Bahkan 57% homo seksual di Amerika terinfeksi HIV. Di tahun 2021, kelompok homo seksual masih memiliki tendensi HIV/AIDS lebih tinggi dari heteroseksual. Di Indonesia sendiri presentase HIV tertinggi ditemukan pada kelompok homoseksual 22% dan Lelaki Seks sesama Lelaki (LSL) 25,2%.[3] Lebih dari itu tindakan seperti itu di dalam Islam sangatlah menyalahi fitrah sebagai manusia, bahkan Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang jahat, melampaui batas, dan orang yang bodoh.[4] Bahkan MUI memfatwakan bahwa perbuatan LGBT itu haram.[5]

 

Maka dari itu, selama kita ada di muka bumi, kebebasan pasti ada batasnya, dan kebebasan yang baik adalah kebebasan yang akan melahirkan kebaikan bagi diri sendiri terlebih orang lain, bukan yang malah membawa kerusakan. Lalu sikap yang perlu kita ambil terhadap para pelaku LGBT adalah tidak mendiskriminasinya, sebab yang perlu kita jauhi adalah perilakunya, bukan orangnya. Kita patut membantunya karena mereka sedang dalam keadaan tidak baik dan menyimpang, berada diluar fitrahnya. Selama kita bisa membantu mereka kembali ke jalan yang benar, maka bantulah mereka. Salah satu guru spiritualnya Soekarno, bernama A. Hassan pernah berujar, bahwa “hidup yang bahagia adalah hidup dalam batas-batas agama”.

[1] Arif, Syamsyddin, Islam dan Diabolisme Intelektual, 2018, hlm. 167.

[2] Rasjidi, H.M, Filsafat agama, 1983, hlm. 14.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun