Ketika IT dan Strategi Bisnis Hidup di Dua Alam Berbeda
Dalam banyak organisasi, terutama sektor publik dan pendidikan tinggi, strategi bisnis dan strategi TI seringkali berjalan di rel yang berbeda. Mereka tampak seolah-olah selaras karena adanya dokumen, flowchart, dan pertemuan koordinasi. Tetapi dalam praktiknya, keduanya nyaris tidak pernah bertemu di titik implementasi. Yang satu bicara visi dan dampak, yang lain bicara kapasitas server dan siklus pengembangan aplikasi. Dan lebih sering dari yang kita akui, tak ada jembatan yang sungguh menghubungkan keduanya secara substansial.
Bahkan ketika istilah seperti strategic alignment terdengar di ruang rapat direksi, sebenarnya yang terjadi adalah delegasi --- bukan integrasi. Top management menyerahkan keputusan TI kepada divisi teknis, bukan karena percaya penuh, tapi karena tidak memahami sepenuhnya dampaknya. Padahal, ketidakpahaman ini adalah bentuk kegagalan tata kelola yang paling mendasar.
Delegasi Itu Bukan Tata Kelola
Satu kesalahan fatal yang kerap dijumpai adalah asumsi bahwa pengelolaan TI cukup dilakukan oleh departemen TI itu sendiri. Maka manajemen puncak hanya muncul saat menandatangani anggaran atau saat terjadi insiden besar. Dalam logika Good Governance, ini adalah bentuk pelepasan tanggung jawab strategis. ISO/IEC 38500 sudah lama menegaskan bahwa tanggung jawab strategis atas TI adalah tanggung jawab kolektif, bukan eksklusif milik teknokrat.
Namun realitanya, keputusan penting seperti apa proyek TI yang akan dikerjakan, berapa alokasi sumber daya, mana yang sesuai dengan prioritas organisasi --- semuanya lebih sering ditentukan secara bottom-up dengan justifikasi teknis, bukan berdasarkan arah strategis institusi.
Proyek TI Bukan Sekadar Otomatisasi
Dalam dunia organisasi modern, proyek TI bukan lagi soal mengotomatisasi tugas manual. Mereka adalah pengungkit utama transformasi. Tapi ironisnya, banyak proyek yang hanya menjadi digitalisasi prosedur yang usang, bukan transformasi proses secara fundamental. Alih-alih menjadi peluang menciptakan nilai tambah, proyek-proyek itu hanya menghasilkan versi digital dari dokumen kertas yang dulu ditandatangani manual.
Ini bukan kesalahan divisi TI. Ini kesalahan struktural: ketika strategi TI tidak masuk ke dalam strategi bisnis sejak awal, maka hasil akhirnya hanyalah digitalisasi tanpa makna. Dan semua ini terjadi karena tidak adanya model penyelarasan yang konkret dan dipahami lintas peran dalam organisasi.
Strategic Alignment Seharusnya Menyakitkan
Penyelarasan strategi bukanlah aktivitas manis penuh persetujuan. Ia seharusnya menjadi proses menyakitkan --- karena harus memaksa organisasi untuk membuat keputusan sulit: proyek mana yang dikorbankan, siapa yang harus dilibatkan, bagaimana risiko ditoleransi, dan bagaimana hasil diukur dalam konteks nilai bisnis.
Namun saat alignment hanya diperlakukan sebagai proses teknis untuk menyusun portofolio proyek TI, maka seluruh esensinya hilang. Bahkan dalam organisasi yang sudah "mature" sekalipun, kita masih sering menjumpai IT Project Portfolio yang tampaknya rapi, namun sebenarnya dipenuhi proyek-proyek yang tidak pernah ditinjau dari kacamata strategis.
Sebagian besar organisasi tidak kekurangan alat atau framework. Mereka kekurangan keberanian untuk berkata 'tidak' pada proyek yang tidak relevan secara strategis.
Penyelarasan Harus Dimulai dari Struktur, Bukan dari Sistem
Kebanyakan kegagalan dalam penyelarasan strategi terjadi bukan karena kekurangan teknologi, tapi karena tidak adanya struktur komunikasi dan akuntabilitas yang tegas. Di sinilah organisasi sering keliru: mencoba mengimplementasikan alat sebelum memperbaiki struktur.
Kita terlalu cepat membeli perangkat lunak perencanaan proyek atau sistem ERP, berharap mereka bisa menyatukan strategi dan operasional. Padahal, tanpa adanya proses penentuan prioritas yang melibatkan pimpinan puncak dan pemilik proses, semua sistem itu hanyalah alat birokrasi tambahan.
Kebiasaan Membuat Proyek yang "Aman"
Tendensi banyak institusi adalah hanya memprioritaskan proyek TI yang "aman" --- artinya: proyek yang tidak mengganggu status quo, tidak menuntut perubahan budaya, dan mudah diukur secara administratif. Proyek yang benar-benar bisa mengubah arah organisasi justru sering ditunda atau dikubur dalam fase "kajian lanjutan". Kenapa? Karena proyek-proyek itu menuntut keterlibatan manajemen senior, keputusan strategis, dan komitmen lintas fungsi --- hal-hal yang menuntut kerja keras, bukan sekadar klik dan approval di sistem.
Saatnya Menempatkan Strategi Bisnis di Atas TI, Bukan di Sampingnya
Penyelarasan antara strategi bisnis dan TI tidak akan pernah berhasil jika kedua entitas ini hanya berjalan sejajar. Mereka harus menjadi satu: saling memengaruhi, saling menyesuaikan, dan saling menuntut.
Organisasi yang serius membangun IT Governance seharusnya berhenti melihat TI sebagai sekadar fungsi pendukung. TI adalah mitra strategis. Dan dalam banyak hal, TI adalah bisnis itu sendiri.
Jika tidak ada keberanian untuk membawa diskusi TI ke level boardroom secara substansial dan bukan simbolik, maka strategic alignment akan selamanya menjadi poster manis di ruang meeting, bukan kenyataan dalam praktik organisasi.
Referensi:
Prez, F. M., Berna Martinez, J. V., & Fonseca, I. L. (2021). Strategic IT alignment projects: Towards good governance. Computer Standards & Interfaces, 76, 103514. https://doi.org/10.1016/j.csi.2021.103514
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI