Mohon tunggu...
faringga ventiara
faringga ventiara Mohon Tunggu... Mahasiswa

hobi nonton film, dan drama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Live Tiktok: Tren Baru Anak Muda Indonesia di Tengah Budaya Digital

14 Oktober 2025   20:35 Diperbarui: 14 Oktober 2025   20:31 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau kita buka Tiktok malam-malam, kita bakal lihat betapa ramainya siaran langsung. Ada yang jualan, ada yang makan sambil sambil curhat, ada juga yang debat atau nyanyi bareng penonton. Live tiktok bukan hanya hiburan biasa, hal itu sudah menjadi bagian dari gaya hidup digital masyarakat Indonesia, khususnya anak muda dan mahasiswa.
Fenomena ini menunjukkan perubahan besar dalam cara kita berinteraksi dan mengekspresikan diri. Jika dulu ruang interaksi terbatas pada dunia nyata, seperti nongkrong di kampus, ngobrol di warung kopi, atau sekedar bertemu di acara komunitas. Kini semua itu bisa berpindah ke ruang virtual secara langsung lewat fitur live streaming. Orang tidak lagi menjadi penonton pasif, tetapi juga menjadi aktor utama dalam panggung digital yang ditonton banyak orang. Dalam siaran langsung, ekspresi, opini, curhat, bahkan aktivitas sehari-hari bisa dibagikan secara real time kepada publik luas.
Namun, tren ini juga membawa tantangan sosial yang tidak kecil. Ketika batas antara ruang pribadi dan ruang publik makin kabur, banyak pengguna kehilangan kendali atas privasinya sendiri. Informasi yang seharusnya bersifat personal seringkali disiarkan tanpa sadar kepada ribuan penonton, membuka peluang terjadinya penyalahgunaan data atau perundungan daring. Selain itu, literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah membuat banyak orang tidak benar-benar memahami risiko yang mereka hadapi saat tampil di ruang online terbuka. Hal ini, diperparah dengan munculnya tekanan sosial di platform digital, dimana banyak anak muda merasa harus tampil dan mengikuti tren supaya tidak dianggap "ketinggalan zaman" oleh lingkaran sosialnya.
Dengan kata lain, tren live streaming bukan hanya sekedar hiburan atau cara mencati cuan, tapi juga mencerminkan transformasi sosial yang lebih dalam, dimana eksistensi identitas, dan interaksi manusia semakin ditentukan oleh bagaimana kita hadir di dunia maya.
Lonjakan pengguna live Tiktok di Indonesia
Fitur Tiktok Live makin populer dalam beberapa tahun terakhir dan kini menjadi salah satu pusat aktivitas digital masyarakat Indonesia. Berdasarkan Kompas.com jumlah pengguna aktif Tiktok di Indonesia tembus lebih dari 160 juta pengguna per Maret 2025. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pasar terbesar Tiktok di dunia, mengungguli banyak negara lain di kawasan Asia Tenggara. Tidak hanya digunakan untuk hiburan semata, Tiktok kini telah menjadi ruang sosial baru tempat orang Indonesia berbagi cerita, ide, bahkan, mencari penghasilan.
Diperkirakan jutaan pengguna Indonesia ikut menonton atau melakukan live streaming Tiktok secara berkala setiap minggu. Entah itu untuk sekedar menyapa teman, berdagang, membuat konten hiburan, atau mengikuti diskusi interaktif. Fenomena ini memperlihatkan bahwa fitur live streaming bukan lagi sekedar tren musiman, melainkan telah berubah menjadi bagian dari kebiasaan digital sehari-hari, khususnya di kalangan generasi muda.
Jika kita perhatikan di lapangan, banyak mahasiswa, pekerja muda, hingga ibu rumah tangga yang kini rutin membuka siaran langsung sebagai bentuk interaksi sosial atau mencari tambahan penghasilan. Tidak sedikit pula brand lokal dan UMKM yang memanfaatkan fitur ini untuk memperluas pasar dan membangun kedekatan dengan konsumen secara real time. Live streaming menjadi semacam "panggung digital" baru di mana pun dan siapa pun bisa tampil dan membangun audiensnya sendiri, tanpa harus menjadi selebritas besar terlebih dahulu.
Dari siaran biasa menjadi peluang cuan
Salah satu alasan kenapa fitur Tiktok cepat booming adalah karna bisa menghasilkan uang. Banyak anak muda, termasuk mahasiswa menggunakan live Tiktok untuk berjualan atau menerima gift dari penonton. Dikutip dari techinasia,com, menurut laporan Jakpat pada 2024, sebanyak 58% konsumen Indonesia berniat melakukan pembelian produk melalui sesi live shopping. Sehingga banyak pelaku UMKM mulai beralih dari marketplace konvensional ke live Tiktok karena lebih interaktif dan responsif. Konsumen bisa langsung bertanya dan melihat produk secara real time.
Budaya tampil, privasi yang kabur, dan tekanan sosial digital
Fenomena live streaming di Tiktok bukan hanya tentang hiburan atau jualan online. Di balik layar ponsel, tren ini mencerminkan pergeseran besar dalam cara kita menampilkan diri dan memaknai privasi. Banyak orang kini terasa sangat nyaman membahgikan kehidupan pribadinya secara langsung ke ruang publik digital. Mulai dari curhat masalah pribadi, konflik keluarga, sampai kisah asmara, semua disiarkan secara real time di depan ratusan bahkan ribuan penonton. Kalau dulu kehidupan pribadi dianggap sesuatu yang "pribadi" dan dijaga rapat-rapat, sekarang justru dijadikan konten demi engagement dan popularitas. Seperti kata pepatah digital masa kini, "gak live sehari aja, rasanya kayak ngilang dari peradaban".
Namun, budaya tampil ini juga memiliki sisi gelap. Tidak semu penonton memiliki niat baik. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, sepanjang tahun 2023 terdapat lebih dari 2.500 laporan pelecehan dan perundungan daring yang terjadi di ruang live streaming. Banyak penyiar mengalami pelecehan verbal, komentar kasar, bahkan penyebaran identitas pribadi (doxing). Artinya, ruang live yang awalnya dimaksudkan sebagai sarana berekspresi malah seringkali berubah menjadi arena kekerasan digital yang merugikan penyiar, terutama perempuan dan anak muda. Ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di ruang digital sering kali berbenturan dengan lemahnya perlindungan privasi dan literasi digital masyarakat kita.
Selain masalah privasi dan keamanan digital, tren live Tiktok juga menimbulkan tekanan sosial yang besar, terutama bagi anak muda dan mahasiswa. Dalam kehidupan kampus, banyak mahasiswa merasa "ketinggalan" kalau tidak ikut tampil atau menonton siaran yang sedang viral. Fenomena ini disebut Fear of missing out (FOMO), perasaan cemas atau takut tertinggal tren yang sedang ramai. Penelitian oleh Universitas Indonesia (2024) terhadap mahasiswa pengguna aktif Tiktok menunjukkan bahwa sekitar 58% responden merasa cemas jika tidak aktif tampil atau mengunggah konten dalam jangka waktu lama. Tekanan ini sering kali berdampak pada kesehatan mental karena banyak orang mulai mengukur harga dirinya dari jumlah penonton, gift, atau komentar yang mereka dapat.
Dengan kata lain,tren live streaming bukan cuma soal teknologi, tapi juga menyemtuh aspek psikologis dan sosial para penggunanya. Kita bukan sekedar bermain di dunia digital, tapi juga sedang membangun identitas dan relasi sosial di ruang yang sangat terbuka. Jika tidak diimbangi dengan literasi digital dan kesadaran akan batas privasi, budaya tampil ini berpotensi membuat ruang digital kita menjadi tempat yang menekan dan tidak aman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun