Mohon tunggu...
Faridz Artha
Faridz Artha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psychological Analyst, State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Fitur Psikologis Penjangkit Manusia di Era dunia Maya

11 Desember 2012   01:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:52 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13551907991913896830

[caption id="attachment_220909" align="aligncenter" width="425" caption="sumber gambar: http://kaskus-forum.blogspot.com/2011/10/mitos-vs-fakta-gangguan-gangguan-mental.html"][/caption]

Arah arus informasi dan telekomunikasi yang melanda kehidupan sudah tidak bisa ditawar lagi peranannya. Kedua arus tersebut merupakan wahana dari kecepatan proses komunikasi. Komunikasi mulai dari obrolan sehari-hari, bisnis, rapat, bahkan kencan pun bisa dilakukan dengan cara yang super cepat meskipun tanpa bertatap. Caranya sudah tentu, seperti yang kita duga ialah penggunaan aplikasi internet, apakah yang ada dalam gadget, laptop, maupun perangkat canggih lainnya. Berbagai macam, mulai dari seputar fitur yang digunakan untuk tujuan positif maupun negatif tidaklah mustahil dapat ditemukan dalam dunia yang serba dunia instan ini, tentu lewat kompor internet itu sendiri. Meminjam istilah dari Yasraf Amir Piliang, dunia sekarang seperti lipatan kertas yang tidak bisa dirapikan menjadi kertas yang rapi kembali (sebelum dilipat). Bagi yang belum mampu menerima dapat tertinggal nantinya dalam drama super jet informasi ini. Perubahan itu pada mulanya memang tidak disadari, karena perlahan-lahan ketika setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik informasi ini ditinggalkan maka ketertinggalan zaman yang nantinya akan didapatkan. Berawal dari sisi iseng pribadi mengisi waktu luang, berimbas pada kebiasaan – kecanduan. Dengan kata lain, saat ini kita sedang berjalan pada kebijakan teknologi, ataukah kebijakan diri sendiri?

Coba kita bayangkan bahwa teknologi ialah raja. Apabila teknologi dijadikan raja, kemudian raja sepersekian detik terus berubah kebijakannya, para prajurit dan rakyat (user) yang tinggal di istana pastilah bingung dengan keputusan raja. Mau menuruti kebijakan raja, takutnya nanti berubah. Bukan hanya itu, dikhawatirkan lagi malah tertinggal sebab si prajurit dan rakyat teringgal jauh dari raja dan patihnya yang sudah lari menyerang musuh dengan super jet-nya. Siapakah raja dan patih yang ada itu? Tentu sekelompok orang yang teroligarki dengan kepiawaian materi, politik, dan kecerdikannya, ditambah pemahamannya menggunakan perangkat informatika. Bagi dia yang tidak piawai, bahaya laten ketertinggalan mengancam. Disaat tertinggal, kekacauanlah (chaos) yang terjadi sebab tidak ada raja yang mengarahkan mau kemana dia menuju. Dalam situasi ini setan mulai menggoda. Tidak mengherankan, anomie akibat krisis eksistensial lingkaran setan mengjangkit para prajurit dan rakyat, yakni pecandu teknologi. Bingung, resah, yang pada akhirnya ditemukanlah kebanyakan dari pecandu teknologi khususnya berbasis internet facebook dan twitter terancam gangguan narzistik, obsessive compulsive (OC), dan phobia sosial.

Penulis yang masih dalam usia muda, melihat fenomena tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Disaat sarana telekomunikasi berupa internet dalam laptop maupun gadget menjadi sarana keasyikan dalam berinteraksi daripada face to face membicarakan hal yang sekiranya diperlukan. Dulu, sebelum perangkat informatika ini dijadikan sebagai raja, arus sosialisasi tiap-tiap individu berjalan menarik, dinamis, dan fleksibel meski sesekali terjadi diskomunikasi. Diskomunikasi pun apabila ada, dia berwujud sebagai realitas tunggal yang kerap tidak dibuat-buat, sangat beda dengan kemencolokan fenomena palsu (hyper-realitas) abad ini yang menyediakan jebakan dengan jurang menganga, setiap orang yang tidak menggunakan kesempatan informasi dapat terjebak. Kecuali dia yang memilih dalam wilayah aman (comfort zone) dengan tidak melakukan apa-apa, yang sama dengan hidup segan mati tak mau. Pada dasarnya berfikir pun sudah melakukan satu tahap, apalagi bertindak dan menyebarkan. Sekarang, kecenderungan sosialisasi yang ada, semisal bertanya mengenai informasi baru dilakukan lewat google. Media harian koran, majalah, dan tabloid terancam daya saing dengan internet apabila tidak inovatif dalam produk, kemasan, serta cara pemasarannya. Pertanyaan yang tinggal diketik lewat google, melunturkan nilai-nilai kecerdasan interpersonal (hubungan sesame orang lain). Kecerdasan yang oleh H. Gardner mampu memahami manusia lain dengan etika komunikasi yang baik, tidak menjadi unggulan. Individualistis makin menjadi ancaman, dan jargon gotong-royong nenek moyang Indonesia dikhawatirkan hilang. Membicarakan jargon dari nenek moyang, berhubungan sekali dengan para cucu sebagai regenerasi wasiat-wasiat kebaikannya yang mesti diemban dan dijunjung tinggi sebagai jati diri bangsa Indonesia.

Meminjam istilah Radhar Panca Dahana (Kompas, 28 November 2012; hal. 6), generasi saat ini ialah generasi digital. Generasi yang bisa disebut sebagai Net-generation, atau iGeneration (i:internet), atau bisa disebut juga Generation@. Dimensi ini menyeruak setelah tahun 1995, dimana pasca itu orde baru dinilai resisten untuk menghadapi krisis global yang segera datang, ditambah pula korupsi ratusan triliun oleh pemimpin rezim otoriter, Suharto (Alm.). Stimulasi intelektual dari para cendekiawan terancam mandek dalam karya-karya kertas, karena berupak dari tataran imajinasi kritis sebelum itu menjadi penyeruan protes dalam tiap-tiap waktu senggang yang digunakannya, demonstrasi. Sementara para remaja dan pemuda yang dinilai kurang kritis sebelumnya dengan imun-imun propaganda perubahan kecil, terjembab;ah ia pada pencarian dunia baru, dunia maya yang kini hamper disepakati kan menjadi alam nyata perubah transaksi kebutuhan manusia. Sampai-sampai, Net-generation lebih bangga bergeming dengan keyboard di hadapan monitor, atau keypad di tiap-tiap gadget keluaran terbaru. Dianggap pengetahuan itu ada pada file-file penyimpan seperti flashdisc, memory card, hard disc, atau hand phone yang bisa ditaruh dalam saku, sebesar bungkus rokok bahkan lebih kecil, merasa tau tentang seputar dunia informasi, namun tidak tau. Dikatakan tidak tau sebab berbeda dari generasi dulu yang mengkritisi sebuah buku dari halaman buku hingga buku tersebut terbitan apa. Dunia yang instan merasa digenggam, namun utopis genggamannya, kabur dalam pemaknaan yang sesungguhnya, yakni pemaknaan esensial yang mesti diperoleh oleh manusia regenerasi seperti Taufik Ismail, Gus Dur, Nurcholis Madjid, Syafi’ie Ma’arif, Amin Rais, Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, Buya Hamka, M. Natsir, dan puluhan cendekiawan lainnya. Kekaburan itu sudah seharusnya diperjelas dengan identitas diri yang ada pada dunia nyata sebagai dunia utama sementara dunia maya sebagai aktivasi dari upaya meraih goal setting atas apa yang kita inginkan. Bukan dunia maya sebagai dunia utama, dunia teknologi informasi yang dirubah oleh manusia, bukan teknologi informasi yang merubah manusia.

Jangan sampai terjebak oleh perangkat informatika, tetapi manfaatkanlah ia sebagai tujuan mulia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun