Mohon tunggu...
Faridz Artha
Faridz Artha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psychological Analyst, State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Abal-abal ala Pemilu Raya Mahasiswa UIN Malang 2013

18 Maret 2013   17:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:32 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang diadakan pemilihan umum raya (pemira) presiden oleh mahasiswa. Mahasiswa sebagai regenerasi bangsa, pada kesempatan ini merupakan momentum yang baik untuk mengeksplorasikan suaranya dalam ajang sistem pemerintahan yang dibangun dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa. Menurut hemat penulis begitulah pada dasarnya demokrasi mahasiswa memiliki dua kedigdayaan, yaitu suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox Dei) dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema leg). Dua kedigdayaan mahasiswa tersebut sebagai  civil society kampus idealnya dipraktekkan menjadi demokrasi yang sehat. Mahasiswa sebagai harapan masyarakat Indonesia setidaknya menjadikan miniatur tata kelola demokrasi ini berlangsung sehat. Cuman masalahnya apakah sistem politik mahasiswa di UIN Maliki Malang menggunakkan praktek demokrasi? Lantas jika iya bagaimana sistem demokrasi yang diterapkan? Apakah dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa? Jika iya, mahasiswa yang mana? Setau penulis setelah melakukan analisis terhadap sejumlah mahasiswa bagaimana peraturan pemira 2013 kali ini, penetapan peraturan dalam konggres tidak ada. Alasan tersebut dikarenakan kongres mahasiswa untuk pemilu raya diganti dengan musyawarah mahasiswa. Masalahnya, teman-teman komunitas penulis bergerumul untuk kajian tentang keislaman dan keindonesiaan tidak diundang sama sekali sehingga draft musyawarah mahasiswa tiba-tiba jadi. Apakah ini mekanisme demokrasi di kampus yang mengatasnamakan Islam? Oh, mungkin saja ini bukan demokrasi. Namun, jika bukan memakai sistem demokrasi kenapa ada pemilu? Ataukah pemilu pagi ini seolah-olah saja mewujud dengan mahasiswa pemegang kebijakan pemira “membuka mata” akan tetapi “terdidur mata hati dan fikirannya”? Sepertinya menurut hemat penulis, mereka tidak memahami tentang konsep demokrasi. Ironis. Tentu untuk mengutarakan statement diatas, penulis tidak serta merta langsung men-judge bahwa para pemegang kebijakan pemira, seperti Komisi Pemilihan Umum Pemira dan Pihak Badan Eksekutif Mahasiswa sebelumnya yang menyelenggarakan musyawarah mahasiswa  mengidap rabun” demokrasi”. Pasalnya mereka tidak melibatkan keputusan mayoritas mahasiswa dalam membuat peraturan pemira di musyawarah mahasiswa. Sistem pemerintahan model “kabur” begini sepertinya mau dibawa kearah sistem pemerintahan kerajaan (monarki) dengan kemenangan oleh “penerus tahta keluarga kerajaan”. Bagaimana tidak toh bisa dilihat tadi penulis mengamati dari bilik suara jurusan psikologi bahwa calon presiden dari Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas hanya 1 orang, calon anggota dari Senat Mahasiswa (SEMA) Universitas dari jurusan Psikologi cuma 1 orang, calon Presiden dari DEMA Fakultas Psikologi pun juga satu orang. Hanya calon anggota SEMA jurusan Psikologi saja yang 4 orang karena bisa kita amati, bukan posisi ketua. Fakta dilapangan semacam ini berawal dari pembuatan peraturan sepihak dari penyelenggara musyawarah mahasiswa bahwa yang berhak menjadi presiden baik itu DEMA maupun SEMA haruslah pernah duduk di kursi itu sebelumnya. Seperti yang diketahui oleh kebanyakan mahasiswa, bahwa dari kelompok kami Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), teman-teman Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim (KAMMI), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) se-UIN Malang tidak dilibatkan dalam kepengurusan DEMA/SEMA sebelumnya. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa Pergerakan Mahasiswa Muslim Indonesia (PMII) UIN Malang memainkan percaturan pribadi tanpa ingin ber-fastabiqul khairat kecuali secuil di pemira ini. Politik memakai drama kolosal demokrasi saat ini berjalan dengan apatisme mahasiswa kebanyakan sebab sudah terlalu jenuh dengan kondisi yang ada, “Lagi-lagi mahasiswa dari kelompok itu yang menang!” batin mahasiswa. Anehnya, pihak kemahasiswaan kampus yang juga berprofesi sebagai dosen mata kuliah pun juga tidak bergeming, merasa tidak ada masalah sehingga proses pemilu raya mahasiswa sah. Padahal sebagai pihak kemahasiswaan sudah menjadi keharusan menjadi mediator bagi semua elemen mahasiswa yang bersumber dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa secara merata dengan dua pusaka vox populi vox Dei dan salus populi suprema leg. sumber gambar: http://lutfichakim.blogspot.com/2012/07/demokrasi-perakilan.html Seperti yang mungkin pembaca sudah ketahui, penulis ialah kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Namun dalam paragraf ini penulis bermaksud menyampaikan bahwa meskipun penulis kader HMI, penulis berusaha memandang fenomena demikian dengan kacamata objektif. Politisasi dari kader HMI jika tidak benar maka akan penulis ingatkan, begitu pula di organisasi lain. Pandangan terhadap rahim organisasi HMI tidak menjadikan penulis buta melihat kebenaran sehingga fanatisme bagaimanapun tidak diperkenankan. Dampak dari fanatisme adalah konservatif (ketertutupan) dan reaksioner terhadap stimulus dari luar kelompok,sehingga menyebabkan kejumudan berfikir, mempertajam kepikunan intelektual. Penulis berusaha untuk menghindari bias sujektifitas baik dalam ulasan kali ini, maupun dalam keseharian. Fenomena pemira 2013 yang masih tetap tidak demokratis menyisakan tangis dalam fikiran penulis. Kampus yang melabel institusinya dengan kata “Islam” ini setidaknya menjadi figur bagi kampus berlabel sekuler maupun Islam yang ada dalam menjalankan praktek sistem pemerintahan secara tepat. Praktek yang adil bagi sesama, transparan, menyejahterakan, dan bebas dari intervensi buta oleh pihak siapapun karena berguru pada kebenaran semua mahasiswa seharusnya dilaksanakan, bukan dengan ketertutupan. Politik yang tak tentu arah dari pemegang kekuasaan di pemira kali ini baik dari pihak kemahasiswaan sebagai pemantau maupun dari mahasiswa pembuat kebijakan sangatlah abal-abal, tidak jelas. Pernah penulis mengadakan diplomasi dengan pihak dosen kemahasiswaan beserta mahasiswa yang terpilih di pemira secara tertutup, penulis tidak menuai kesepakatan. Selain itu pada akhirnya pernah penulis juga melakukan aksi demonstrasi pemira dari Komisi Pemilihan Umum, dosen bagian Kemahasiswaan Universitas, dan Pembantu Rektor 2 UIN Maliki Malang 2 tahun lalu, juga tak menuai hasil kesejahteraan bagi semua sebab pemenang presiden mahasiswa dari satu partai dari tataran bawah sampai atas. Apalagi proses perhitungannya dilakukan secara tertutup. Penulis beserta rekan-rekan pencinta demokrasi tidak luput dari interogasi dan intimidasi dosen pembuat kebijakan, baik itu di kelas maupun di luar kelas. Alhasil, karena penulis tidak ingin buta mata hati dan fikiran, maka dari coret-coretan liputan pemira 2013 secara umum inilah selemah-lemahnya iman penulis. Penulis katakan selemah-lemah iman sebab dengan perbuatan dan lisan tak lagi penulis lanjutkan kecuali dengan tulisan. Berharap dimanapun pembaca, baik dari afilisasi organisasi ekstra PMII, KAMMI, IMM, maupun HMI selayaknyalah menjadi pemersatu supaya masing-masing organisasi mahasiswa yang mengatasnamakan Islam tersebut tidak berhamburan kadernya, terpecah belah mengejar kekuasaan untuk kekuasaan, bukan kesejahteraan dalam kebersamaan. Bersatulah karena kebenaran, bukan karena kebutaan pada golongan demi clean governance! Langkah kita saat ini adalah penentu langkah nasib bangsa kedepan. Harapannya mahasiswa juga mempraktekkan ilmunya pada pemerintahan kedepan untuk menghalau politik bejat yang masuk, tanpa menanggalkan kepentingan akademik sebagai prasyarat utama dan meminimalisasi ketidakpercayaan dunia pada politik sebab banyaknya “lingkaran setan” di lubang tersebut. Pemira kali ini, disanalah kita bercermin. Wallahu a’lam…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun