Mohon tunggu...
Farid Maruf
Farid Maruf Mohon Tunggu... Perawat - Full-time Learner

Penikmat film. Mahasiswa dan tenaga kependidikan di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tujuan Pendidikan, Budaya Kritis, dan Kemampuan Menemukan Pertanyaan

9 Oktober 2019   06:00 Diperbarui: 9 Oktober 2019   13:39 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berpikir kritis (Sumber: www.techinasia.com)

Hal ini menjadi penting karena kita kerap membuang waktu hanya untuk mencari jawaban yang sejatinya tidak berkontribusi terhadap pemahaman. Seperti sebuah pertanyaan seperti ini: "Di wilayah kerja Puskesmas tempat saya bertugas, banyak orang merokok, apa yang harus kami lakukan?". 

Ilustrasi seorang anak yang krtisi (Sumber: thriveglobal.com)
Ilustrasi seorang anak yang krtisi (Sumber: thriveglobal.com)
Merupakan salah satu contoh pertanyaan yang bersifat teknis alih-alih kritis. Pertanyaan yang kritis pada umumnya radikal dan menuntut jawaban yang filosofis. 

Adalah sah menanyakan hal-hal teknis dan bersifat personal, namun dalam konteks mengejar pemahaman yang utuh, pertanyaan semacam itu hanya akan berujung pada waktu yang terbuang sia-sia.

Kembali ke dunia pendidikan tinggi. Saya adalah mahasiswa program studi S1 Keperawatan yang merupakan salah satu rumpun dalam bidang ilmu kesehatan. 

Dalam perkuliahan, saya sering menemukan rekan-rekan mahasiswa yang lebih tertarik untuk menanyakan hal-hal teknis seputar protokol kerja seorang perawat. 

Jika begini, maka bagaimana? Jika pasien mengalami gejala lebih dari tiga hari, apa yang harus dilakukan? Jika instrumen ini tidak ada, apakah bisa diganti dengan instrumen yang lain? Dan seterusnya. 

Semestinya kita lebih tertarik untuk mengejar pemahaman tentang sebuah konsep---yang dalam hal ini adalah konsep sebuah penyakit dan konsep keperawatan---sampai ke tingkatannya yang paling dasar, sehingga pertanyaan yang muncul tidak lagi berkutat pada hal-hal yang bersifat teknis maupun personal. 

Bahkan, lebih parahnya lagi, sebagian mahasiswa juga menyukai pertanyaan-pertanyaan semacam, "Apakah materi ini akan diujikan nanti saat final test?", "Apakah peraturan itu wajib?", "Di acara seminar itu harus pakai seragam atau tidak?".

Membuka diri untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, yang tidak jarang adalah pertanyaan yang radikal, sering kali terkendala oleh stereotip bahwa orang yang ditanya, yang dalam hal ini adalah dosen, adalah orang yang serba tahu dan tidak mungkin salah. 

Di daerah-daerah tertentu, hal ini barangkali erat kaitannya dengan budaya belajar mengajar yang tradisional, di mana adalah tidak lazim bagi seorang murid untuk mengkritisi sang guru, karena seseorang tidak mungkin diberi label sebagai "guru", kecuali apa yang dikatakannya adalah berdasarkan keilmuan yang mendalam serta kebijaksanaan yang ditempa sepanjang hidup. 

Tidak menaati apalagi membantah perkataan guru berarti mencederai integritas dan karakter sebagai seorang murid yang berbakti, yang ujungnya bisa menjadi kualat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun