Mohon tunggu...
farid luthfi
farid luthfi Mohon Tunggu... Seniman - -

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membicarakan Radikalisme dengan Bahasa Sepakbola

22 Agustus 2016   00:55 Diperbarui: 22 Agustus 2016   01:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Isu yang saat ini masih hangat dibicarakan bangsa ini adalah mengenai radikalisme. Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada pondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa. Radikalisme tidak hanya menjadi musuh bagi NKRI tapi sudah menjadi musuh nomor satu seluruh dunia.

Pada sisi lain, sepakbola merupakan olahraga paling digemari di Indonesia. Menpora kita Imam Nahrawi juga mengatakan bahwa sepakbola adalah milik bangsa Indonesia. Bagi saya dan sebagian para pecinta bola tidak hanya menganggap sepakbola sebagai suatu permainan 2x45 menit, sepakbola bisa kita kaitkan dengan sosiologi, antropologi, psikologi, agama, bahkan politik, termasuk perihal radikalisme.

Jika kita mau berpikir jahil, kita bisa membayangkan untuk mengalahkan radikalisme melalui strategi yang ada dalam sepakbola. Seperti ketika Gus Dur dan RM Sindhunata saling tulisan dengan bahasa sepakbola dengan topik “cattenachio politik Gus Dur.”

Hingga tahun 2016 bisa dikatakan Indonesia masih menggunakan total football dalam menghadapi bahaya radikalisme. Dalam total football Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus membuka ruang seluas-luasnya ketika menyerang dan mempersempit ruang menjadi sangat kecil ketika diserang. Masalahnya belum tercipta keseimbangan antara menyerang dan bertahan bagi masyarakat Indonesia. Artinya belum ada pemahaman yang cukup bagi masyarakat memahami radikalisme ditambah mulai lunturnya budaya paguyuban di masyarakat menyebabkan teroris dengan mudah masuk ke lingkungan masyarakat.

Pada masyarakat perkotaan dan pedesaan saat ini memiliki pola yang hampir sama. Masyarakat yang paham agama dan radikalisme tidak lagi peduli pada lingkungannya sehingga masyarakat awam mudah dimasuki seorang pendatang yang terlihat perhatian dengan agama dan masjid di lingkungan tersebut. Padahal ada misi terselubung di dalamnya. Otomatis pertahanan NKRI telah jebol dari dalam.

Para gelandang yang dalam hal ini adalah pemerintah dari pusat sampai ke desa dan RT/RW tidak mampu bermain seimbang dan kurang konsentrasi. Artinya mereka terus mencoba membongkar dan menghabisi radikalisme, namun ketika masyarakat terlihat aman ditambah kurang tanggapnya para tokoh masyarakat. Paham-paham radikal sangat mudah masuk ke lapisan masyarakat.

Pada kasus lain penyerang atau striker yang dalam hal ini adalah aparat keamanan beberapa kali kecolongan dalam menghadapi para teroris. Kita sudah beberapa kali kecolongan oleh serangan balik kaum radikal akibat kurang waspadanya aparat keamanan, uniknya serangan lawan ini justru terjadi di tengah kota atau di keramaian. Bom Bali I, bom Bali II, Bom Marriot I dan II, bom gereja, bom Sarinah, dan terakhir bom kantor polisi di Solo. Sementara aparat keamanan kita pernah berhasil membunuh dan menangkap gembong teroris di pinggiran kota dan pedesaan. Sebut saja trio bom bali I, Ali Imron, Dr. Azahari, Nurdin M Top, Dulmatin, dan terakhir teroris dari Poso, Santoso.

Satu pertanyaan yang cukup menarik, mengapa Densus 88, tentara, atau polisi kita dapat membekuk gembong teroris di tempat terpencil dengan medan yang sulit tapi dengan mudah para teroris kelas kroco melakukan aksi teror di tengah kota?

Militer Indonesia sejak awal berdirinya sangat ahli dalam perang gerilya, Indonesia kesulitan berperang secara terbuka di tengah kota karena saat itu kalah persenjataan dan pengalaman tempur dari pasukan Belanda. Indonesia bahkan diakui dunia sebagai salah satu peletak dasar perang gerilya melalui karya Jenderal AH. Nasution (Pokok-pokok gerilya). Namun entah kenapa, hingga saat ini Indonesia tetap kesulitan bertempur di tengah kota. Contoh jelas adalah peristiwa bom sarinah awal tahun lalu. Saat itu polisi butuh waktu berjam-jam untuk melumpuhkan para teroris yang jumlahnya sangat sedikit.

Artinya di masa yang akan datang Indonesia perlu memperkuat jiwa nasionalisme dan anti radikalisme kepada seluruh lapisan masyarakat. Dari segi militer para aparat keamanan harus mampu mempersempit ruang gerak teroris di wilayah perkotaan sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untuk menyerang.

Inti dari analisis ini, permainan total football pemerintah Indonesia untuk menghadapi radikalisme harus disempurnakan. Dalam pertahanan, taktik pertahanan kantong-kantong (menjaga daerah masing-masing) atau zona marking dalam istilah sepakbolanya harus dilakukan dengan disiplin dengan bantuan sweeper yaitu pemerintah daerah sampai ke tingkat RT/RW. Pertahanan di tengah kota juga harus diprluas sehingga para teroris menjadi semakin terjepit. Istilah sepakbolanya melakukan pressing sampai garis pertahanan lawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun