Dalam beberapa tahun terakhir, istilah zona integritas menjadi mantra favorit di banyak institusi. Plakat penghargaan digantung megah, baliho besar terpampang gagah, dan slogan-slogan tentang birokrasi bersih terdengar di setiap pojok kantor.
Tapi di tengah gegap gempita itu, muncul pertanyaan sederhana namun mendasar: apakah zona integritas benar-benar telah menjadi nilai hidup dalam keseharian birokrasi, atau justru hanya berhenti sebagai label administratif dan dokumentasi belaka?
Tak dapat dimungkiri, keberhasilan meraih predikat WBK atau WBBM patut diapresiasi. Itu buah dari kerja keras, disiplin administratif, dan koordinasi lintas bagian. Namun, apakah predikat itu otomatis mencerminkan budaya kerja yang jujur, transparan, dan melayani sepenuh hati?
Itulah mengapa integritas tidak bisa dibangun dari piagam dan dekorasi. Ia tidak hidup dalam laporan penilaian, tapi tumbuh dalam keputusan-keputusan kecil yang tidak terlihat, dalam cara seorang petugas menjelaskan prosedur dengan sabar, dalam sikap atasan yang tidak menutup mata pada pelanggaran, atau dalam keberanian menolak ‘titipan’ meski tidak enak hati.
Sayangnya, tak sedikit yang lebih sibuk menata ruang pelayanan demi citra penilaian daripada menata cara pikir dalam melayani. Banyak yang mendeklarasikan diri sebagai Wilayah Bebas dari Korupsi, tapi tak bebas dari konflik kepentingan. Bahkan ada yang menyandang predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani, tapi masyarakat masih harus melayani birokrasi dengan kesabaran berlipat.
Ada semacam paradoks yang menggelitik: semakin keras teriakan integritas digaungkan, terkadang semakin kuat pula kecurigaan publik akan ketulusannya. Masyarakat bukan tidak tahu. Mereka bisa membedakan mana pelayanan yang datang dari hati, dan mana yang sekadar pencitraan.
Ini bukan tentang menyalahkan. Ini tentang mengingatkan. Karena integritas bukan status administratif, melainkan komitmen moral. Dan komitmen itu tidak berhenti saat predikat diraih, justru di situlah ia diuji.
Mari kita mulai membalik arah. Kembalikan makna integritas ke tempat asalnya, pada nurani dan tanggung jawab pribadi. Jangan biarkan nilai-nilai besar seperti kejujuran, keadilan, dan pelayanan tulus hanya menjadi bagian dari slogan
Zona integritas yang sejati tidak menunggu momen penilaian, tidak butuh kamera, tidak perlu hashtag. Ia hidup dalam ruang-ruang sunyi, di antara tumpukan berkas dan antrean masyarakat yang berharap pelayanan terbaik.
Karena pada akhirnya, penghargaan terbaik bukan datang dari lembaga penilai, melainkan dari hati masyarakat yang merasa benar-benar dilayani.
Biarlah predikat menjadi pelengkap, bukan tujuan. Sebab kepercayaan masyarakat, tak pernah bisa dibeli dengan piagam.