Mohon tunggu...
FARIDL MUZAKY
FARIDL MUZAKY Mohon Tunggu... Strategic Partner Peradilan

ASN full-time, idealis part-time, desain grafis di waktu lembur • Punya hobi develop apps, meski sering tidak tuntas • Berusaha waras di antara rapat, disposisi, dan kopi sachet

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Zona Integritas : Antara Baliho dan Nilai yang Nyata

4 Juli 2025   11:40 Diperbarui: 4 Juli 2025   19:14 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah zona integritas menjadi mantra favorit di banyak institusi. Plakat penghargaan digantung megah, baliho besar terpampang gagah, dan slogan-slogan tentang birokrasi bersih terdengar di setiap pojok kantor.

Tapi di tengah gegap gempita itu, muncul pertanyaan sederhana namun mendasar: apakah zona integritas benar-benar telah menjadi nilai hidup dalam keseharian birokrasi, atau justru hanya berhenti sebagai label administratif dan dokumentasi belaka?

Tak dapat dimungkiri, keberhasilan meraih predikat WBK atau WBBM patut diapresiasi. Itu buah dari kerja keras, disiplin administratif, dan koordinasi lintas bagian. Namun, apakah predikat itu otomatis mencerminkan budaya kerja yang jujur, transparan, dan melayani sepenuh hati?

Itulah mengapa integritas tidak bisa dibangun dari piagam dan dekorasi. Ia tidak hidup dalam laporan penilaian, tapi tumbuh dalam keputusan-keputusan kecil yang tidak terlihat, dalam cara seorang petugas menjelaskan prosedur dengan sabar, dalam sikap atasan yang tidak menutup mata pada pelanggaran, atau dalam keberanian menolak ‘titipan’ meski tidak enak hati.

Sayangnya, tak sedikit yang lebih sibuk menata ruang pelayanan demi citra penilaian daripada menata cara pikir dalam melayani. Banyak yang mendeklarasikan diri sebagai Wilayah Bebas dari Korupsi, tapi tak bebas dari konflik kepentingan. Bahkan ada yang menyandang predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani, tapi masyarakat masih harus melayani birokrasi dengan kesabaran berlipat.

Ada semacam paradoks yang menggelitik: semakin keras teriakan integritas digaungkan, terkadang semakin kuat pula kecurigaan publik akan ketulusannya. Masyarakat bukan tidak tahu. Mereka bisa membedakan mana pelayanan yang datang dari hati, dan mana yang sekadar pencitraan.

Ini bukan tentang menyalahkan. Ini tentang mengingatkan. Karena integritas bukan status administratif, melainkan komitmen moral. Dan komitmen itu tidak berhenti saat predikat diraih, justru di situlah ia diuji.

Mari kita mulai membalik arah. Kembalikan makna integritas ke tempat asalnya, pada nurani dan tanggung jawab pribadi. Jangan biarkan nilai-nilai besar seperti kejujuran, keadilan, dan pelayanan tulus hanya menjadi bagian dari slogan

Zona integritas yang sejati tidak menunggu momen penilaian, tidak butuh kamera, tidak perlu hashtag. Ia hidup dalam ruang-ruang sunyi, di antara tumpukan berkas dan antrean masyarakat yang berharap pelayanan terbaik.

Karena pada akhirnya, penghargaan terbaik bukan datang dari lembaga penilai, melainkan dari hati masyarakat yang merasa benar-benar dilayani.

Biarlah predikat menjadi pelengkap, bukan tujuan. Sebab kepercayaan masyarakat, tak pernah bisa dibeli dengan piagam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun