Mohon tunggu...
Farid Fauzi
Farid Fauzi Mohon Tunggu... Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cakak Banyak dan Krisis Toleransi

17 Agustus 2018   05:52 Diperbarui: 17 Agustus 2018   06:28 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: annasindonesia.com

Perilaku musyawarah ini sangat besinergi dengan spirit firman Allah Swt. yang tertuang dalam surat Ali-Imran/3: 159, sebagai berikut:

Artinya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya. ((Departeman Agama RI, 2000: 103).

Kedua, edukasi melalui pendidikan formal.

Sekolah adalah tempat anak-anak menimba ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu sekolah adalah salah satu tempat paling efektif untuk membentuk generasi yang pandai bertoleransi. Karenanya, pendidikan di sekolah seharusnya tidak hanya menfokuskan pada pendidikan umum saja, tetapi juga menggalakkan kembali moral education atau pendidikan berkarakter.

Maksudnya adalah pendidikan yang disertai dengan pembentukan moral peserta didik, yang memahami dan membiasakan nilai-nilai toleransi. Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membiasakan peserta didik untuk gotong royong, berorganisasi, diskusi ketika belajar, sehingga anak-anak tersebut biasa bersilang pendapat dan akan membentuk pribadi yang bertoleransi. Upaya lainnya dengan memajang slogan-slogan yang berisi nilai-nilai toleransi, misalnya "Jauhi Kekerasan dengan Bersikap Toleran," atau dengan kata-kata yang seirama dengan itu. Kemudian slogan-slogan tersebut dipajang di tempat-tempat strategis yang bisa dilihat oleh peserta didik setiap harinya. Sehingga bila kata-kata yang bernada toleransi tersebut sudah dibaca oleh peserta didik setiap harinya maka akan terekam di kepalanya dan akan merasuk ke dalam jiwanya, alhasil akan terbentuk generasi yang pandai bertoleransi.

Tegasnya, sekolah tidak hanya mengajarkan pelajaran umum saja, tetapi juga menitik beratkan pada pendidikan moral, seperti bersikap toleransi tersebut. Oleh sebab itu wacana penghilangan mata pelajaran agama di sekolah adalah ide konyol yang mesti dimusnahkan. Bahkan seharusnya jam pelajaran agama yang mendidik nilai-nilai toleransi itu harus ditambah, tidak cukup dengan hanya dua jam seminggu, lalu peserta didik akan paham dengan perihal seluk beluk toleransi tersebut. 

Ketiga, edukasi melalui kearifan Minangkabau.

Ada pepatah Minang yang sangat populer, yaitu "lamak dek awak katuju dek urang." Maksudnya adalah kita menyukai dan orang pun merasa senang. Pepatah ini adalah buah pikir orang Minang dahulu yang belajar dari alam dan mengamati pengalaman hidup. 

Salah satu kearifan lokal Minang yang tampak sekali nilai-nilai pepatah di atas adalah "tradisi balapau" atau kebiasaan duduk bersama di kedai. Lapau atau kedai biasanya diisi oleh anak bujang dan orang tua-tua. Di lapau biasanya dijual kopi, teh, berbagai gorengan dan makanan ringan lainnya. Orang Minang dahulu ketika duduk minum kopi di lapau biasanya bersama-sama membahas isu-isu terbaru, mulai dari lingkungan sekitar, agama, adat istiadat bahkan sampai kepada calon pemimpin yang layak dipilih. Itulah sebabnya orang-orang Minang itu cerdas dalam memilih siapa pemimpinnya, karena secara tidak langsung dibahas ketika berada di lapau.

Ketika di lapau itu pulalah para pengunjung lapau terdidik untuk mengaplikasikan pepapah lamak dek awak katuju dek urang. Dalam bahasa lainnya pandai bertenggang rasa, tidak memaksakan kehendak diri sendiri, tetapi juga menenggang pendapat dan perasaan orang lain. Mereka tahu pebedaan pendapat itu biasa, "Basilang kayu di tungku di sinan api mangko ka idui," maksudnya perbedaan buka menjadi penyebab perpecahan tetapi mebentuk semangat kebersamaan. Itulah yang disebut nilai-nilai toleransi.

Namun dewasa ini lapau di Ranah Minang sudah mulai berkurang, karena secara tidak langsung zaman telah membuat tradisi itu lapuk dan keropos. Kalau pun ada, itu hanya diperkampungan saja dan pengunjungnya pun tidak seberapa. Ironisnya lagi, dulu lapau tampat duduk-duduk sampai membahas isu terbaru, kini sudah berganti fungsi menjadi tempat untuk main kartu "kuning," (semacam kartu untuk main judi yang berwarna kuning).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun