Perjalanan ke Pulau Banda Neira adalah impian saya sejak kecil.
Dimulai dari tulisan alm. Bapak Des Alwi mengenai Pulau Banda Neira yang saya baca di Harian Kompas dan Majalah Intisari (Mama saya, Tjia Fung Ing, menyisihkan gaji nya yang pas-pas an, untuk berlangganan bacaan yang berkualitas agar anak2 nya mendapatkan pengetahuan yang luas, terima kasih Mama). Thank you LORD JESUS for this trip. My dreams come true.
Bagi yang belum tahu... alm. Bapak Des Alwi Abubakar, adalah tokoh nasional Indonesia, pahlawan, sejarawan, penulis, pengusaha, diplomat juga klektor film dokumenter. Cucu Raja Mutiara Said Badilla ini dilahirkan di Banda Neira, pada tanggal 17 November 1927 dan meninggal di Jakarta tanggal 12 November 2010 dan dimakamkan secara militer di Banda Neira.
Ketika berusia 8 tahun dan duduk di kelas dua ELS (Europeesche Lagere School), Des Alwi kecil yang sedang bermain di Pelabuhan, bertemu pertama kali dengan Bapak Moh. Hatta dan Bapak Sutan Sjahrir (yang diasingkan oleh Belanda di Banda Neira) yang kemudian mengangkat nya menjadi anak.
Bapak Des Alwi Abubakar yang akhirnya membangun kembali kemasyuran Pulau Banda Neira yang sejak dahulu kala terkenal dengan tanaman pala yang menjadi salah satu magnet menarik pihak asing datang ke Indonesia, selain keindahan alamnya yang memukau. Lebih jauh tentang Bapak Des Alwi dapat dibaca internet, seperti di tautan antaranews.com atau tulisan-tulisan beliau (salah satunya berjudul: Sejarah Maluku).
Sekarang kita tengok perjalanan kami ke Banda Neira ya.
Di tanggal 6 Agustus 2017, karena keadaan cuaca peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau, kapal cepat Express Bahari belum dapat beroperasi (biasanya 4-6 jam) dan pesawat Dimonim Airline (satu-satunya maskapai kecil yang melayani penerbangan untuk rute ini) masih dalam perawatan dan juga cuaca yang tidak memungkinkan untuk dioperasikan. Diperkirakan tanggal 9 August 2017 baru ada jadwal lagi dan seminggu hanya satu kali saja.
Kami yang hanya memiliki waktu berlibur satu minggu, cukup membingungkan, mau dilanjutkan atau batal ke Banda Neira. Akhirnya keluarga kenalan kami di Ambon, Bung Bey yang saat itu bertugas di SAR Banda Neira menyarankan untuk menumpang kapal Pelni.
 Siang itu, kami langsung membeli tiket di agent penjualan tiket kapal laut di Pelabuhan Ambon. Lalu pulang ke hotel untuk bersiap-siap berangkat dan karena tidak tersedia kamar / tempat duduk, maka kami harus mengantri untuk masuk ke dalam kapal untuk mendapatkan posisi/tempat terbaik selama berlayar semalaman.Â
Bagi kami yang lahir dan dibesarkan di kota metropolitan Jakarta, situasi dan kondisi seperti itu cukup mengagetkan, tapi kami berpikir, hal itu akan menjadi pengalaman menarik...
Dengan berbekal nasi bungkus, air minum dan koper2 kecil, maka sejak pukul 19.00 kami mengantri di pintu masuk gedung dibuka, pukul 21.00 pintu dibuka untuk masuk ke ruang tunggu, dan pukul 22.30 boarding masuk ke kapal, lalu terjadilah perebutan tempat. Di atas kapal ada tawaran oleh para calo untuk menginap di kamar-kamar ABK. Kami memutuskan untuk menyewa satu kamar dengan 4 kasur (2 bunk beds bertingkat)...Â
Puji TUHAN, akhirnya dapat kamar ABK no. 3029 di KM. Nggapulu tujuan Banda Neira (8 jam dari Ambon) yang di dalamnya sudah tersedia tv kecil, washtafel kecil, pemanas air untuk membuat teh/kopi. Sprei, sarung bantal selimut yang sepertinya sudah digunakan oleh berbagai macam orang dan belum dicuci.Â
Tapi setidaknya kami memiliki tempat untuk merebahkan tubuh yang penat karena antrian. Belum satu jam kami berada di dalam kabin... ada kecoa kecil muncul di ranjang... lalu temannya menyusul di meja kecil... dan temannya lagi daaannn keluarganya reuni-an di kamar itu ...hahahahaha ... kami berusaha untuk menutup telinga dan mata dengan pakaian/kain pribadi dan berusaha untuk terlelap....
Kapal mulai berlayar pukul 23.59 malam... KM Nggapulu kapal Pelni menuju Banda Neira, sejenak kami terlelap dan beberapa jam sebelum berlabuh, agar tidak mengantri, kami mencoba untuk ke kamar mandi/toilet yang "wangi" nya tercium dari jauuuh... Kami tidak mandi, hanya buang air kecil saja... tidak lama kemudian kapal merapat di Banda Neira pukul 09.00 pagi.
Ketika tiba di Pelabuhan Banda Neira, Bung Bey sudah menyambut kami dan langsung menuju ke dermaga kecil untuk naik perahu ting2 (perahu motor Johnson) menuju ke Pulau Hatta. Cerita tentang Pulau Hatta akan ditulis di artikel khusus yaaa... simak terus link Kompasiana Farianty Gunawan.
Tanggal 08 Aug 2017, kami kembali ke Banda Neira... kami menginap di penginapan sederhana Bintang Laut yang berada di tepi dermaga Laut Banda Neira.
Usai beristirahat sekitar satu jam, kami berjalan kaki untuk makan siang di rumah makan Bu Fat yang letaknya dekat kantor penjualan tiket Pelni. Selama di Maluku, kami selalu mencari makanan khas, maka kami makang ikang dan colo dan ikang kuah kuning, kali ini ditemani es kacang merah dan kelapa muda murni. Nikmat tiada taraaa...
Dari sana kami berjalan kaki ke bekas rumah pengasingan Bung Hatta tokoh Proklamator Kemerdekaan Indonesia.
Puji TUHAN kami masih bisa bertemu dengan Ibu Emi Salma Baadilla (sepupu almarhum Bapak Des Alwi). Bapak Des Alwi adalah tokoh masyarakat Banda Neira yang sangat aktif berjuang mengangkat nama Banda Neira di mata international.
Bapak Des Alwi semasa hidupnya merenovasi dan memelihara bekas rumah pengasingan Bung Hatta (rumah ini dibangun kembali oleh Bung Hatta yg pernah mengunjungi rumah ini bersama Ibu Rahmi Hatta beberapa saat setelah kemerdekaan).
Pak Des Alwi juga merenovasi kursi santai yg pernah dipakai oleh Bung Hatta, serta memajang foto-foto alm. Bapak Moh. Hatta di rumah itu. Sayangnya, pemerintah baik Daerah maupun Pusat kurang memberikan perhatian kepada bangunan bersejarah ini.
Usai meninggalnya Bapak Des Alwi, tidak ada lagi dana untuk merawat rumah itu.
Keluarga Ibu Emi Salma Baadilla lah yang membayar listrik tiap bulan walaupun tidak besar, dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak semampunya.
Tidak ada retribusi untuk pengunjung yang datang, hanya buku tamu seadanya.
Foto2 sudah banyak yang rusak, perabotan banyak yang patah dan rusak.
Bapak Soekarno pernah berkata "Bangsa yg besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya".Â
Semoga penerus bangsa ini masih bisa melihat sejarah bangsanya melalui peninggalan-peninggalan sejarah termasuk di Banda Neira.
Majulah Indonesia MERDEKAAAAA !!!
Dari rumah pengasingan Bung Hatta, kami menuju ke Benteng Belgica... Cerita tentang Benteng Belgica dan Gereja (tua) Neira akan ditulis di artikel khusus yaaa... simak terus link Kompasiana Farianty Gunawan.
Cerita "perjuangan" kembali ke Ambon ...
Awalnya kami sudah melakukan reservasi pesawat perintis maskapai Dimonim ini dua bulan sebelumnya. Namun pihak maskapai mengatakan pesawat sedang dalam pemeliharaan dan tidak ada kepastian kapan bisa dioperasikan. Sampai satu minggu lalu masih dikatakan jadwal belum pasti , mungkin Rabu 9 Agustus2017, maka uang tiket belum dapat diterima pihak maskapai.Â
Sampai akhirnya kami memutuskan berangkat naik kapal perintis : KM Nggapulu dari Ambon ke Banda Naira dan kemudian, saat kami sudah tiba di Banda Neira, tanggal 8 Agustus malam baru dikabari bahwa ada keberangkatan pesawat Dimonim Air tanggal Rabu 9 Agustus namun semua seats fully booked untuk rute Banda ke Ambon (cadangan 6 orang) ataupun Banda ke Masohi/ Amahi (cadangan 3 orang) sedangkan kapasitas hanya 12 orang (pesawat Twin Otter).
Sooo... tanggal 9 Agustus 2017...tiba saat nya kami harus kembali ke Ambon karena terbatasnya cuti kerja... tiket belum di tangan... seperti saat kami berangkat ke Pulau Banda Neira... kapal cepat belum dioperasikan... kapal Pelni masih dua hari lagi untuk merapat... Ada kabar Damian Airlines akan terbang, namun kemungkinan besar kami tidak akan memperoleh tiket karena ada narapidana dengan beberapa polisi akan menumpang pesawat itu... kami hanya bisa berdoa dan meminta bantuan dari Mas Anton (teman Bung Bey yang sudah menetap cukup lama di sana), yang mungkin dapat menjadi perantara untuk menolong kami.
Pak Ben, dan Bro Berlhey Nacikit dan Mas Anton dari unit SAR Banda Neira sangat membantu kami dalam mencari seats ini, dan TUHAN memberikan pelajaran baru dalam hidup rohani kami : berdoa dan berusaha yang terbaik dan selanjutnya berserah kepada TUHAN, biarlah kehendak TUHAN saja yg terjadi.
Pagi ini, tanpa kepastian berangkat atau tidak, kami sudah siap di Bandara Neira... pukul 07.30 pagi 9 August 2017, namanya Go Show passanger, di bandara kami duduk di taman karena yang masuk ke lobby hanya yang sudah pasti berangkat dan tempat duduk pun hanya ada 4 kursi saja di depan sepotong meja counter. Berita nya simpang siur, ada yang bilang, pesawat ngga jadi ke Ambon tapi ke Masohi, tempat duduk hanya ada satu saja, dsb. It seems we or some of us should stay longer in Banda Neira.
Thank you LORD JESUS for everything. We got much lessons for our faith journey in this trip
Kami menyaksikan pesawat perintis ini mendarat dari Ambon dan kemudian dari Masohi. Sampai menit terakhir, setelah sekitar 3 jam menunggu... nama kami dipanggil bahwa ada seats untuk kami berempat dan silahkan membayar biaya tiket (Rp. 320.900 per kali jalan karena disubsidi pemerintah), perlihatkan KTP. Sampai saat ini kami tidak tahu siapa penumpang cancel.
Puji TUHAN, thank you LORD JESUS, terima kasih Bung Bey, Mas Anton (teman Bung Bey yang menetap di Neira) dan semua yg membuat kami dapat tiket at the last minute...Â
TUHAN buka jalan dan bekerja dalam jalan yang tidak terlihat oleh kita. TUHAN menuntun kita ke jalan yg benar
Terpujilah nama TUHAN YESUS. Amin
Catatan penting lainnya (updated 23 Feb 2021) :
Menuju dan ke Banda Neira melalui udara hanya dilayani oleh satu maskapai, maka tiket pesawat dari Banda Neira ke Ambon, karena pesawat hanya ada satu buah dan dioperasikan tidak tiap hari dan kapasitas penumpang sedikit, maka tiket hanya dapat dibeli di Banda Neira, jadi lebih baik ketika mendarat di Banda Neira, sebaiknya langsung membeli tiket pesawat pulang kembali ke Ambon.Â
Jika tidak mendapatkan kursi pesawat, maka alternatif lain adalah naik kapal cepat (bila ombak dan cuaca tidak memungkinkan juga tidak dioperasikan) atau naik kapal Pelni yang beroperasi sepanjang tahun dengan jadual hanya beberapa kali seminggu (tidak tiap hari) ...sooo pastikan untuk memiliki waktu cukup untuk berlibur di Banda Neira supaya ngga diburu2 waktu dug-dug deeer hahahahaha....
Kenapa pesawat hanya ada satu? Kenapa hanya ada satu Airline saja?
Saya juga tidak paham, tapi yang terlihat nyata adalah fasilitas bandara sangat terbatas, panjang landasan (runway) juga pendek (runway 900mx30m) sehingga tidak dapat dilandasi oleh pesawat yang lebih besar/panjang.
Kenapa landasan pesawat tidak diperpanjang? Kemungkinan lahannya terbatas. Semoga ada solusi untuk membuka jalur udara lebih lebar lagi menuju dan dari Banda Neira supaya pariwisata dan bisnis yang ujungnya bermuara ke perekonomian akan lebih berkembang, sehingga kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Lebih jauh dapat mampir di tautan :http://hubud.dephub.go.id/website/BandaraDetail.php?id=84
Lebih baik menyesuaikan waktu berkunjung dengan musim di Banda Neira. Musim terbaik menuju Banda Neira adalah Oktober dan awal November. Saat itu cuaca cerah di Kepulauan Banda dengan ombak tenang dan bersahabat. Bulan terburuk adalah Mei-Juli, saat ombak laut sedang tinggi.
Cerita belum berakhir...ketawa dulu aaaahhahahahaha... pertama kali naik pesawat Twin Otter  yang hanya dapat ditumpangi oleh maksimum 12 penumpang dengan bagasi terbatas, bahkan berat tubuh penumpang juga ditimbang di atas alat timbangan barang bagasi hahahahaha... Bagi sebagaian orang atau mungkin bagi penduduk Pulau Banda Neira hal itu sudah biasa, tapi bagi kami luaarrr biasa.Â
Saat masuk ke dalam pesawat, tercium bau bahan bakar... ngeri juga... tapi penumpang lain yang tampaknya penduduk setempat, teknisi, pramugara dan pilot serta co-pilot nya adem aja... ya sudahlah... Pramugara menjelaskan singkat tentang K3 di dalam pesawat, kami berdoa pribadi, lalu pilot dibantu co-pilot mulai menjalankan baling-baling dan menjalankan pesawat... tidak lama mengudara, pesawat mulai bergoyang2...berusaha tenang dan melihat pemandangan... pemandangan saat berada di atas Pulau Banda Neira sangaaat indah...cekidot foto amatiran nya ya.
Perjalanan sekitar 45 menit, akhirnya tiba di bandara Ambon.
What a wonderful adventure trip.