Seruan "Revolusi" adalah seruan yang abadi karena ia adalah seruan untuk menjaga kemanusiaan kita tetap utuh. Ia adalah peringatan bahwa kewaspadaan terhadap kezaliman adalah harga mati dari sebuah kehidupan yang bermartabat.
Kezaliman tidak selalu berwajah kekerasan fisik yang brutal. Pada stadiumnya yang paling canggih, ia bekerja secara halus melalui mekanisme hegemoni, sebagaimana diuraikan oleh Antonio Gramsci. Kuasa tidak hanya memaksa tubuh untuk tunduk, tetapi yang lebih penting, ia membentuk konsensus dan "akal sehat" (common sense) yang membuat struktur dominasi diterima sebagai sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan.
- Jika ditarik ke belakang dalam sejarah Indonesia, wajah kezaliman ini bermetamorfosis. Ia adalah politik etis kolonial yang berkamuflase sebagai misi pencerahan, yang dalam praktiknya adalah eksploitasi tersistem. Ia adalah negara paternalistik Orde Baru yang memakai retorika pembangunan dan stabilitas untuk membungkus mulut rakyat dan memonopoli kebenaran. Rezim ini menciptakan apa yang disebut filsuf Byung-Chul Han sebagai "masyarakat transparansi," di mana setiap warga merasa diawasi, bukan hanya oleh negara, tetapi juga oleh sesamanya, sehingga melakukan swasensor. Inilah penjara panoptikan modern, di mana yang-dikuasai menjadi penjaga bagi dirinya sendiri.
- Namun di satu sisi lain titik balik perlawanan adalah suatu momen liminal—suatu fase ambang dalam prosesi peralihan kolektif. Ini adalah saat di mana identitas lama (sebagai objek yang patuh) dicairkan dan identitas baru (sebagai subjek politik yang berdaulat) belum sepenuhnya terbentuk. Pada momen inilah kemungkinan untuk perubahan yang radikal terbuka lebar. Momen ini dipicu oleh suatu peristiwa yang berfungsi sebagai "penanda kosong" (empty signifier) dalam teori Ernesto Laclau—suatu simbol yang mampu mempersatukan beragam ketidakpuasan dan aspirasi ke dalam satu front perlawanan yang solid. Kematian Munir bukan sekadar kematian seorang aktivis; ia menjadi simbol betapa haqqnya nyawa manusia diinjak-injak oleh kekuasaan yang takabur. Tragedi Trisakti dan Semanggi bukan sekadar kerusuhan; ia adalah teatrikal yang mempertontonkan kekerasan negara dalam wujudnya yang paling telanjang, sehingga memutus mata rantai hegemoni yang selama ini dibangun.Â
- Pada detik-detik itulah ketakutan individu mengalami alkimia menjadi keberanian kolektif. Rakyat yang sebelumnya teratomisasi menyadari bahwa "kita" ada, dan bahwa "kita" memiliki kekuatan. Mereka berhenti menjadi "masyarakat" (society) dan berubah menjadi "rakyat" (the people)—sebuah entitas politik yang bersatu oleh kesadaran akan hak-hak dan martabatnya. Inilah kelahiran sang Subyek, yang dengan suaranya yang baru ditemukan, menantang sang Penguasa. Untuk menjelaskan bagaimana visi tentang masa depan yang lebih adil menjadi pendorong utama perlawa nan sipil.
PenutupÂ
Episode revolusi adalah suatu peristiwa fenomenologis yang hidup seiringan dengan kehidupan manusia itu sendiri . Ia adalah momen pencerahan di mana kesadaran akan realitas yang sesungguhnya menerobos tabir ideologi. Api revolusi pada hakikatnya adalah api pencerahan—suatu penegasan bahwa kedaulatan tertinggi sesungguhnya berada di tangan mereka yang berani berpikir, berani bersuara, dan berani untuk tidak patuh pada segala bentuk kezaliman. Tugas kita adalah memastikan bahwa obor kesadaran ini tetap diteruskan, agar cahayanya tidak pernah padam ditelan angin perubahan zaman. Seperti yang Tan Malaka tulis bahwa harapan buruh dan tani di Indonesia tidak cuma persetujuan hati saja dari intelektual itu. Mereka menghendaki perbuatan atau bukti-bukti. Maka Selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama itulahperbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar belajar menyeburkan diri kedalam politik revolusioner yang aktif.Â
Pendeknya dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasional lah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan. Revolusi bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari kecelaan. Di dalam masa revolusilah tercapai puncak Kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru. Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenakan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk Menjadi budak abadi.
Revolusi adalah mencipta!
Maka Cobalah pikirkan ulang dan Revitalisasi pemikiran Tan di era hari ini!Â
Terima kasihÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI