Abstrak
Menyelami fenomena perlawanan Masyarakat Sipil di Indonesia melalui pendekatan hermeneutika yang memadukan filsafat politik dan analisis sastra. Perlawanan tidak dibaca sebagai kronik sejarah belaka, melainkan momen kritis perlawanan terjadi tatkala "yang-tersubordinasi" menemukan bahasa untuk menyuarakan penderitaannya, ketika ketakutan yang terfragmentasi bersatu menjadi keberkatan kolektif, dan ketika memori tentang ketidakadilan mencapai suatu ambang kesadaran yang tak terelakkan. Dengan menelusuri narasi perlawanan dari masa kolonial hingga detik-detik runtuhnya Orde Baru, simpulan yang dihadirkan adalah bahwa potensi revolusioner senantiasa hadir sebagai undercurrent dalam psyche bangsa, hanya menunggu momentum sejarah yang tepat untuk mencapai artikulasinya yang paling sublim.
PendahuluanÂ
Sebagai sebuah bangsa yang terbentuk dari lapis-lapis peradaban, Indonesia memahami kekuasaan dan perlawanan dalam ritme yang kompleks. Relasi antara penguasa dan yang-dikuasai bukan sekadar hubungan politis, tetapi juga sebuah drama metafisik yang berulang. Kezaliman kekuasaan, dalam esensinya yang paling jernih, adalah suatu kondisi di mana kekuasaan melupakan tugas etisnya untuk memanusiakan, dan justru merendahkan martabat insani menjadi sekadar angka dan objek.
"Api" yang dinyalakan dalam revolusi adalah simbol yang mengandung paradoks. Ia menghancurkan sekaligus memberi kehidupan; ia adalah kekuatan chaos sekaligus pencipta tatanan baru. Dalam konteks pemikiran Indonesia, api bisa disandingkan dengan konsep teja atau cahaya dalam tradisi Jawa—suatu energi spiritual yang menerangi kegelapan (awidya). Dengan demikian, menyalakan api revolusi adalah sebuah tindakan pencerahan kolektif, sebuah upaya untuk merebut kembali hak untuk mendefinisikan realitas sendiri dari cengkeraman narasi kuasa yang dominan.
Memori sebagai Amunisi, Harapan sebagai Kompas: Menjaga Nyala yang Tak Kunjung Padam
Revolusi kerap bersifat siklus. Api yang berkobar bisa meredup, dikalahkan oleh dis-ilusi atau kooptasi. Namun, semangat revolusioner itu sendiri tidak pernah mati. Ia dirawat oleh dua kekuatan kultural yang fundamental:Â memori dan harapan.
Memori kolektif tentang penderitaan dan ketidakadilan dirawat melalui kanal-kanal kultural. Ia hidup dalam kidung-kidung protes, dalam syair-syair W.S. Rendra yang penuh amarah, dalam lirik-lirik melankolis Iwan Fals yang menyentuh sanubari, dan dalam cerita-cerita lisan yang dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Memori ini adalah amunisi bagi yang lemah, senjata simbolik yang menjaga agar api kritik tetap menyala.
Sementara itu, harapan adalah kompas yang menuntun ke depan. Bukan harapan yang naif, tetapi harapan yang dialektis, sebagaimana dipahami Ernst Bloch—sebuah "prinsip harapan" (The Principle of Hope) yang melekat dalam kondisi manusia untuk membayangkan dan memperjuangkan suatu dunia yang "belum menjadi" (not-yet-become). Harapan inilah yang mencegah keputusasaan dan memandu perlawanan menuju suatu horizon masa depan yang lebih baik.
Revolusi: Api yang Terus Membara