Mohon tunggu...
Farhan Abdullah M
Farhan Abdullah M Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sosiologi Fisip UIN 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Islam, dan Seksualitas"

6 November 2021   00:48 Diperbarui: 6 November 2021   00:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Buku berjudul, "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas", karya Neng Dara Affiah, merupakan buku yang berisi tentang pandangan penulis mengenai perempuan yang ditinjau dari sudut sosial, politik, agama, hingga seksualitasnya. Buku ini terdiri dari tiga bab utama yang masing-masing memiliki topik pembahasan sesuai dengan tema utamanya. Bab pertama, berjudul "Islam dan Kepemimpinan Perempuan", membahas tentang perempuan dari sudut pandang kepemimpinan baik secara sosial hingga politik kenegaraan, dengan ditunjang oleh tujuh subbab yang membahas secara rinci tentang persoalan tersebut. Bab kedua, berjudul "Islam dan Seksualitas Perempuan", membahas tentang sisi seksualitas dan agama terhadap perkara seksualitas, seperti hubungan perkawinan hingga kontrol terhadap perempuan atas peranan seks dalam rumah tangga dan masyarakat beragama. Bab ketiga, sebagai bab terakhir, berjudul "Perempuan, Islam, dan Negara", membahas tentang pandangan secara umum oleh institusi agama dan negara terhadap perempuan dengan delapan subbab turunan yang membahas mulai dari kerangka pemikiran ilmu pengetahuan terhadap perempuan hingga membahas mengenai hubungan seksual sedarah yang merupakan larangan keras agama, adat, atau hukum tertentu pada suatu wilayah.

  • Islam dan Kepemimpinan Perempuan

            Bab pertama buku ini membahas mengenai Islam dan Kepemimpinan Perempuan. Islam memandang setiap manusia adalah sama tanpa membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial, ras, dan jenis kelamin. Dalam Islam, hal yang membedakan seseorang dengan yang lainnya hanyalah kualitas ketaqwaannya serta amal baik yang dilakukan semasa hidupnya.

            Dalam Islam diajarkan tentang kesetaraan manusia, jadi bagaimana dengan kepemimpinan perempuan dalam Islam? Konsep dasar Islam yang harus dimaknai adalah sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, yaitu Allah menciptakan manusia, laki-laki, dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Pemimpin yang dinyatakan dalam surah ini memiliki arti yang sangat luas, di mana seseorang bisa menjadi pemimpin pemerintahan, pendidikan, keluarga, dan pemimpin untuk dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan, sejatinya manusia memiliki tanggung jawab pada dirinya sendiri yang harus diemban dan dilaksanakan penuh dengan amanah. Dengan melihat konsep ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu konsep pun dalam Al-Qur'an yang membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin. Bahkan, Al-Qur'an mendorong manusia untuk menjadi pemimpin.

            Akan tetapi, terdapat sebagian orang yang menentang dan menolak kepemimpinan perempuan, berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 34 yang berbunyi, "laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan". Beberapa ahli tafsir klasik dan modern mengartikan kata qowwam, sebagai penaggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Berdasarkan pemaknaan tentang qowwam ini, terlihat jelas bahwa pria berada para posisi yang superior, sedangkan perempuan berada pada posisi inferior.

            Pernyataan tentang laki-laki berada pada posisi superior, karena memiliki aset kekayaan untuk menghidupi istrinya. Selain itu, pada umumnya, laki-laki dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), keteguhan (al-aznl), kekuatan (al-quwwah), kemampuan tulisan (al-kitabah), dan keberanian (al-furushiyyah wa al-ramyl). Oleh karena itu, para nabi, ulama, dan imam lahir dari kaum laki-laki.

            Menurut Fazrul-Rahman, yang menafsirkan bahwa "kelebihan" yang dimiliki laki-laki bukanlah bersifat hakiki, melainkan bersifat fungsional. Sesuai dengan tafsir Fazrul-Rahman, Amina Wadud Muhsin menyatakan bahwa laki-laki qowwamun atas perempuan tidaklah lahir secara otomatis, sebab hal tersebut hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Al-Qur'an. Kriteria tersebut juga dapat dimiliki oleh perempuan, karena perempuan pun memiliki kelebihan.

            Selain itu, penolakan kepemimpinan perempuan juga merujuk pada hadis, "Tidak akan berjaya suatu kaum jika kepemimpinannya diserahkan kepada perempuan (Lan yufliha qaumun imra'atan)". Kemudian, Fatima Mernissi melakukan penelitian secara mendalam tentang hadis tersebut. Dari pengamatannya, ia menemukan beberapa hal, yaitu. Pertama, hadis ini diucapkan Nabi untuk menggambarkan negeri Persia yang saat itu sedang berada di ujung tanduk kehancuran, karena dipimpin oleh seorang perempuan yang tidak memiliki kualitas yang memadai. Kedua, hadis ini dikemukakan kembali oleh perawinya, yaitu Abu Bakrah, ketika ia melihat ada tanda-tanda perpecahan di antara umat Islam karena peristiwa Perang Shiffin (unta) antara Khalifah Ali dan Siti Aisyah. Ketiga, hadis ini hanya diriwayatkan oleh satu orang, yaitu Abu Bakrah. Menurut para ahli hadis, apabila sebuah hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang (hadis ahad), maka hadis tersebut harus diragukan keontetikannya.

            Dari hasil penelitian yang ditemukannya, Mernissi menyimpulkan bahwa penolakan terhadap perempuan untuk terlibat dalam ranah politik sangat tidak berdasar, jika mengacu kepada teks keagamaan. Jika kita melakukan penelitian yang lebih dalam tentang kepemimpinan perempuan, banyak perempuan dalam sejarah Islam yang menorehkan dirinya sebagai pemimpin. Contohnya di Aceh, pemimpin perempuan yang bisa disebut, yaitu Ratu Tajul Alam Syafiyatuddin Syah (1641-1675), Ratu Nur Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayatsyah Zakiyatuddin Syah (1678-1688), dan Ratu Kamalat Syah (1688-1699). Di Jawa, terdapat pula pemimpin perempuan yang terkenal, yaitu Ratu Kalimayat. Selain yang disebutkan di atas, masih banyak lagi pemimpin-pemimpin perempuan lokal yang namanya tidak tercatat dalam sejarah.

            Jadi, terdapat banyak faktor yang menyumbat potensi perempuan untuk memimpin, diantaranya adalah pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran Islam. Kemudian, faktor lainnya adalah ego kolektif masyarakat muslim yang terlalu menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki, menganggap laki-laki sebagai aktor utama dan perempuan sebagai figuran.

            Teori Sosialisasi Politik menyatakan bahwa keluarga dan orang tua adalah penentu utama anak untuk ikut terlibat dalam kehidupan politik. Banyak stigma di masyarakat, jika pemimpin perempuan hanya terlahir dari kalangan elite tertentu saja, tanpa mempunyai kemampuan. Dalam Islam sendiri, kendala seputar kemunculan kepemimpinan perempuan adalah kendala teologis, karena banyak para mullah (ulama konservatif) yang menentang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Jadi, kendala yang sering dialami kepemimpinan perempuan adalah diskriminasi gender dan isu agama.

            Di Indonesia, perempuan yang menduduki posisi sebagai wakil rakyat di DPR RI hanya beberapa orang saja, padahal penduduk Indonesia lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya diskriminasi gender di Indonesia. Selain itu, ketika Presiden Kelima Indonesia, Megawati Soekarno Putri ditolak oleh Kongres Umat Islam Indonesia (KUII, 1998). Penolakan ini pun didukung oleh fatwa MUI 7 November 1998, yang menyatakan bahwa "Islam melarang perempuan menjadi khalifah atau pemimpin bangsa". Kendala-kendala ini terjadi karena konsep "qowwam" yang menganggap bahwa hanya laki-laki lah yang berhak menjadi pemimpin atau penguasa. Menurut Henry Kissinger, bakat yang perlu dimiliki oleh pemimpin bangsa bukanlah intelegensia, melainkan kekuatan, keberanian, dan kecerdikan. Independensi, kekuatan visi, dan integritas pribadi juga merupakan faktor vital bagi pemimpin. Jadi, apabila perempuan memiliki kriteria tersebut, seharusnya ia dapat menjadi pemimpin. Hal ini dapat saja terjadi, jika negara ini tidak patriarki. Kepemimpinan nasional Indonesia, seperti yang disebutkan dalam UUD 1945, tidak ada satu pun kalimat yang memberi peluang interpretasi ada masalah gender dalam memilih pemimpin. Baik "putra", maupun "putri", yang terpenting adalah pilihan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun