Pelayanan publik merupakan cerminan langsung dari kualitas tata kelola pemerintahan dan integritas aparatur negara dalam melayani masyarakat. Di era modern saat ini, pelayanan publik tidak hanya diukur dari kecepatan dan efisiensi, tetapi juga dari nilai-nilai moral, etika, dan budaya pelayanan yang melekat pada setiap aparatur. Budaya publik yang baik harus dihilangkan pada nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, empati, dan profesionalitas, karena tanpa landasan etika pelayanan yang kuat, pelayanan publik akan kehilangan makna dan kepercayaan terhadap pemerintah akan menurun secara signifikan.
Menurut Dwiyanto (2006), keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik sangat bergantung pada budaya organisasi yang mendukung perilaku etis dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dalam konteks ini, budaya pelayanan publik dapat diartikan sebagai sistem nilai, norma, dan perilaku yang membentuk cara aparatur bertindak dan berinteraksi dalam melayani masyarakat. Budaya tersebut tidak dapat dibentuk secara instan, tetapi harus ditanamkan melalui proses pembelajaran, keteladanan, dan konsistensi kebijakan yang mendorong integritas serta tanggung jawab moral.
Etika pelayanan publik memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah. Menurut Cooper (2012), etika dalam pelayanan publik mencakup prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar pengambilan keputusan oleh aparatur dalam menjalankannya. Etika tidak hanya berbicara tentang apa yang benar atau salah, tetapi juga tentang bagaimana tindakan pemerintah yang mencerminkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Aparatur publik dituntut untuk tidak hanya mematuhi aturan hukum, tetapi juga memiliki kesadaran moral untuk melakukan hal yang benar demi kepentingan publik.
Dalam konteks budaya birokrasi di Indonesia, tantangan besar yang dihadapi adalah masih adanya budaya paternalistik, koruptif, dan orientasi kekuasaan yang menghambat tumbuhnya budaya pelayanan yang berintegritas. Menurut Thoha (2012), birokrasi di Indonesia cenderung menempatkan kekuasaan sebagai simbol kehormatan, bukan sebagai sarana pelayanan. Akibatnya, perilaku aparatur sering kali tidak berorientasi pada kepuasan masyarakat, melainkan pada kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, perubahan budaya organisasi menjadi kebutuhan mendesak untuk menumbuhkan etos kerja pelayanan publik yang berlandaskan nilai moral dan tanggung jawab sosial.
Salah satu pendekatan penting dalam membangun budaya dan etika pelayanan publik adalah dengan menanamkan nilai-nilai good governance . Menurut UNDP (1997), good governance mencakup prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efektivitas, dan supremasi hukum. Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman moral bagi aparatur publik dalam menjalankan kewenangannya agar tetap sejalan dengan kepentingan masyarakat luas. Selain itu, menurut Denhardt dan Denhardt (2003), paradigma New Public Service menekankan bahwa pelayanan publik harus dilandasi semangat melayani, bukan mengendalikan. Hal ini berarti aparatur negara harus menjadi pelayan masyarakat yang rendah hati, bukan penguasa yang menuntut kepatuhan.
Etika pelayanan publik juga erat kaitannya dengan nilai-nilai profesionalisme. Menurut Frederickson (1997), profesionalisme aparatur publik dapat diukur dari kemampuan mereka untuk menyeimbangkan antara kepentingan individu, organisasi, dan masyarakat secara adil. Aparatur yang profesional harus mampu menjaga integritas dalam menghadapi dilema etika, seperti konflik kepentingan, otoritas otoritas, atau intervensi politik dalam pelayanan publik. Untuk itu, pendidikan dan pelatihan etika bagi aparatur negara menjadi salah satu strategi penting dalam memperkuat budaya pelayanan publik yang kinerjanya.
Budaya pelayanan publik yang baik juga harus memperhatikan dimensi kemanusiaan dan spiritualitas dalam bekerja. Menurut Sedarmayanti (2010), pelayanan publik yang efektif tidak hanya menuntut kecakapan teknis, tetapi juga kesadaran moral dan spiritual yang tinggi. Pelayanan yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, keadilan, dan rasa hormat akan menciptakan interaksi yang positif antara aparatur dan masyarakat. Dengan demikian, budaya pelayanan publik yang beretika tidak hanya meningkatkan kinerja birokrasi, tetapi juga memperkuat legitimasi pemerintah sebagai pelayan rakyat.
Pemerintah Indonesia telah berupaya menanamkan nilai-nilai budaya pelayanan publik melalui berbagai kebijakan reformasi birokrasi, antara lain penguatan nilai integritas dalam ASN melalui Nilai-nilai Inti BerAKHLAK (Berorientasi pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif). Nilai-nilai ini merupakan implementasi nyata dari budaya dan etika pelayanan publik yang ingin menumbuhkan aparatur yang profesional, melayani, dan berintegritas. Keberhasilan kebijakan ini tentu bergantung pada komitmen pemerintah instansi dan konsistensi keberlangsungan lapangan.
Pada akhirnya, membangun budaya dan pelayanan etika publik bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Masyarakat harus ikut memperhatikan, memberi masukan, dan menjadi mitra aktif dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Sinergi antara pemerintah yang berintegritas dan masyarakat yang kritis akan menciptakan ekosistem pelayanan publik yang sehat, transparan, dan berkeadilan. Hal serupa dikemukakan oleh Bouckaert dan Halligan (2008), keberhasilan pelayanan publik ditentukan oleh kepercayaan publik, dan kepercayaan hanya dapat tumbuh jika pemerintah konsisten dalam menjunjung nilai etika dan integritas dalam setiap tindakan pelayanan.
Dengan demikian, budaya dan etika pelayanan publik merupakan fondasi utama dalam menciptakan pemerintahan yang melayani dan dipercaya oleh masyarakat. Tanpa nilai moral dan etika yang kuat, pelayanan publik hanya akan menjadi rutinitas administratif tanpa makna. Oleh karena itu, penguatan budaya organisasi yang berorientasi pada integritas, profesionalisme, dan kemanusiaan harus menjadi prioritas utama dalam reformasi birokrasi di Indonesia agar tercipta pelayanan publik yang benar-benar mencerminkan semangat pengabdian kepada rakyat.
Referensi
Bouckaert, G., & Halligan, J. (2008). Mengelola Kinerja: Perbandingan Internasional . Routledge.
Cooper, TL (2012). Administrator yang Bertanggung Jawab: Pendekatan Etika untuk Peran Administratif . Jossey-Bass.
Denhardt, JV, & Denhardt, RB (2003). Pelayanan Publik Baru: Melayani, Bukan Mengarahkan . ME Sharpe.
Dwiyanto, A. (2006). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik . Pers Universitas Gadjah Mada.
Frederickson, HG (1997). Semangat Administrasi Publik . Jossey-Bass.
Sedarmayanti. (2010). Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan . Refika Aditama.
Thoha, M. (2012). Organisasi Perilaku: Konsep Dasar dan Aplikasinya . Raja Grafindo Persada.
UNDP. (1997). Tata Kelola untuk Pembangunan Manusia Berkelanjutan . New York: Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI