Mohon tunggu...
Faradila Nur Hasanah
Faradila Nur Hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Selalu penasaran dan terbuka terhadap pengalaman baru. Setiap kesempatan untuk belajar sesuatu yang berbeda atau mencoba hal yang belum pernah dilakukan selalu membuatmu bersemangat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komunikasi Profetik dan Nilai Ilahi di Era Dakwah Digital

14 Oktober 2025   12:05 Diperbarui: 14 Oktober 2025   11:59 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: google.com

Dunia dakwah telah berubah drastis. Kini, pesan keislaman tak hanya disampaikan lewat mimbar masjid atau majelis taklim, melainkan juga melalui layar ponsel dan beranda media sosial. Dari video berdurasi satu menit hingga postingan singkat di TikTok atau Instagram, setiap konten bisa menjadi "ceramah" yang menjangkau jutaan jiwa. Namun, di tengah derasnya arus digital, muncul pertanyaan penting: apakah nilai profetik masih hadir di balik konten dakwah yang kian viral?

Fenomena ini menampakkan dua sisi. Di satu sisi, digitalisasi membuka peluang luar biasa untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara luas dan cepat. Namun, di sisi lain, muncul gejala komersialisasi agama, ketika sebagian pendakwah lebih dikenal karena gaya dan sensasinya ketimbang substansi pesannya. [1]Algoritma media sosial pun sering kali mendorong konten yang paling menarik perhatian, bukan yang paling bermakna. Akibatnya, pesan profetik yang menuntun hati sering tenggelam dalam hiruk-pikuk hiburan rohani.

 

Komunikasi Profetik dan Tantangan Algoritmik

Komunikasi profetik adalah bentuk komunikasi yang berakar pada misi kenabian, yaitu menyampaikan kebenaran dengan hikmah, menegakkan kemanusiaan, dan menumbuhkan kesadaran ilahiah.[2] Ia bukan sekadar menyebarkan ajaran agama, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat. Dalam konteks digital, komunikasi profetik berperan penting untuk menjaga agar dakwah tidak kehilangan ruh spiritualnya di tengah derasnya arus informasi yang serba cepat dan dangkal.

Namun, dunia digital bekerja dengan logika yang berbeda. Algoritma media sosial beroperasi dalam sistem attention economy, ia menonjolkan konten yang paling menarik emosi dan menghasilkan interaksi tinggi. Akibatnya, pesan dakwah yang tenang, reflektif, dan mendalam sering kalah oleh konten sensasional.[3] Dakwah yang seharusnya mencerahkan justru bisa berubah menjadi ajang pencarian popularitas. Dalam situasi ini, nilai-nilai profetik seperti kejujuran, kesabaran, dan kelembutan berisiko tersisih oleh godaan klik dan viewer.

Selain itu, algoritma menciptakan fenomena filter bubble, lingkaran sempit informasi yang hanya memperkuat pandangan yang sudah diyakini pengguna. Ruang dialog lintas pandangan pun menyusut, dan umat lebih mudah terjebak pada polarisasi keagamaan. Pesan dakwah yang seharusnya mengajak pada hikmah dan kebersamaan sering tergeser oleh konten yang memicu perdebatan atau kebencian. Padahal, esensi komunikasi profetik adalah membangun jembatan pemahaman, bukan menambah sekat perbedaan.

Meski demikian, algoritma tidak harus dilihat sebagai musuh. Ia bisa menjadi sarana dakwah yang efektif bila digunakan dengan kesadaran etis dan literasi digital yang memadai. Para dai dan kreator konten Islam perlu memahami cara kerja algoritma agar mampu menyesuaikan strategi tanpa kehilangan integritas. Literasi algoritmik kemampuan memahami pola distribusi konten digital dapat membantu umat Islam menggunakan teknologi secara bijak. Prinsipnya sederhana: gunakan algoritma untuk menyebar hikmah, bukan sekadar untuk menjadi viral.

Akhirnya, komunikasi profetik menuntut integritas di atas segalanya. Setiap unggahan, komentar, dan pesan di dunia digital adalah bagian dari tanggung jawab moral. Dakwah sejati bukan tentang siapa yang paling populer, tetapi siapa yang paling tulus menyampaikan kebaikan. Ketika niat yang lurus dipadukan dengan kecakapan digital, dakwah tidak akan terjebak dalam logika algoritma semata. Sebaliknya, ia akan menjadi cahaya yang menuntun masyarakat menemukan nilai-nilai ilahi di tengah riuhnya dunia maya.

 

Literasi Algoritmik: Kecakapan Baru Umat Digital

Untuk menghidupkan nilai profetik di dunia digital, umat Islam juga perlu memahami cara kerja algoritma. Di sinilah muncul konsep literasi algoritmik, yaitu kemampuan membaca bagaimana platform digital menentukan informasi yang muncul di layar kita. Tanpa pemahaman ini, pengguna mudah terjebak dalam "gelembung informasi" yang mempersempit pandangan dan memperkuat bias.

Algoritma pada dasarnya mengatur arus informasi berdasarkan pola interaksi dan minat pengguna. Jika seseorang lebih sering menonton konten sensasional, maka sistem akan menampilkan hal serupa secara berulang. Akibatnya, pesan dakwah yang mendalam bisa tersisih oleh konten yang lebih ringan atau kontroversial. Di sinilah pentingnya literasi algoritmik bagi para dai digital: mereka perlu memahami logika platform agar dapat menyampaikan pesan kebaikan tanpa kehilangan substansi.

Literasi algoritmik juga mengandung nilai kritis: bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang benar harus viral. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra': 36: "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya." Ayat ini menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi, termasuk di ruang digital.

 

Membangun Etika Digital Profetik

Etika menjadi pilar penting dalam komunikasi profetik. Dakwah di media digital seharusnya tidak sekadar menarik perhatian, tetapi juga menumbuhkan kesadaran dan kasih sayang. Etika digital profetik menuntut kejujuran, keadilan, dan empati. Menyebarkan hadis palsu, memelintir tafsir, atau mengunggah konten yang menyesatkan demi popularitas, adalah bentuk penyimpangan dari misi dakwah yang sejati.

Di sisi lain, pendakwah perlu memahami strategi komunikasi modern tanpa meninggalkan akhlak profetik. Pendekatan integrated digital communication yang memadukan pesan religius dengan visual yang menarik bisa menjadi jalan tengah. Kuncinya adalah menjaga niat dan nilai, konten boleh mengikuti tren, tetapi maknanya harus tetap membimbing ke arah kebenaran.

Komunikasi profetik juga sejalan dengan prinsip komunikasi ideal menurut Habermas yaitu komunikasi yang bertujuan untuk saling memahami, bukan mendominasi. Di dunia dakwah digital, prinsip ini berarti menghindari ujaran yang memecah belah, serta mengedepankan dialog yang membangun. Dakwah seharusnya menjadi ruang bagi pencerahan bersama, bukan arena perebutan pengaruh.

Tantangan dakwah digital bukan lagi soal teknologi, melainkan soal integritas. Di tengah derasnya arus algoritma, para dai dan pengguna media sosial dituntut untuk memiliki kompas moral yang jelas. Komunikasi profetik menawarkan arah, yaitu bahwa setiap kata, gambar, dan video bisa menjadi jalan dakwah jika berlandaskan niat suci dan nilai ilahi.

Sudah saatnya umat Islam tidak hanya menjadi konsumen algoritma, tetapi juga pengendali narasi kebaikan di dunia digital. Dakwah tidak boleh kehilangan ruhnya, ruh yang menuntun, bukan memecah; yang mencerahkan, bukan sekadar menghibur. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 125: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik." Ayat ini menjadi pengingat bahwa komunikasi profetik, di dunia nyata maupun digital, selalu berakar pada hikmah dan kelembutan.

Di era ketika algoritma menentukan perhatian, komunikasi profetik menjadi penuntun agar kita tidak kehilangan arah. Dari klik menuju dzikir, dari tren menuju refleksi, dakwah digital yang berjiwa profetik adalah jembatan menuju masyarakat beradab di tengah zaman yang serba cepat.

Referensi:

Azis, A. R. (2024). Etika dakwah dan media sosial: Menebar kebaikan tanpa diskrimasi. Alhaqiqa: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam, 5(1), 31-40.

Lakum, L., Wardatun, S., Mardiamah, S., Randiansyah, R., & Marpaung, J. R. (2025). Etika Komunikasi Islam dalam Dakwah Media Sosial Tantangan dan Solusi di Tengah Arus Modernitas. Jurnal Pusat Studi Pendidikan Rakyat, 52-59.

Marlenda, M., & Bashori, B. (2025). Peran Literasi Digital dalam Dakwah Berbasis Al-Qur'an: Implementasi dan Tantangan di Media Sosial. AL-UKHWAH-JURNAL PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM, 1-12.

Maulidna, F., Ulfi, K., Mulia, A., Ramadhan, A. Z., & Saleh, M. (2025). Etika Dakwah di Media Digital: Tantangan dan Solusi. Jurnal Manajemen Dan Pendidikan Agama Islam, 3(2), 315-336.

Sakdiah, H., Rahmah, M. N., & Adawiah, R. (2025). Prophetic Communication in Digital Preaching: Building a Critical and Wise Society in Using Social Media/Komunikasi Profetik dalam Dakwah Digital: Membangun Masyarakat yang Kritis dan Bijak dalam Bermedia Sosial. Al-Hiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, 13(1), 13-24.

Samsudin, D., & Putri, I. M. (2023). Etika dan strategi komunikasi dakwah Islam berbasis media sosial di Indonesia. Ath-Thariq: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 7(2), 125-138.

Subakti, M. F. (2022). Literasi Digital: Fondasi Dasar Dakwah Dalam Media Sosial. Jurnal Dakwah, 23(1), 1-16.

Yuwafik, M. H., Muslimin, M., & Mahmudi, A. (2025). Kontroversi Komersialisasi Dakwah: Perspektif Dakwah Profetik. JDARISCOMB: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 5(1), 41-55.


Oleh: Faradila Nur Hasanah 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun