Literasi Algoritmik: Kecakapan Baru Umat Digital
Untuk menghidupkan nilai profetik di dunia digital, umat Islam juga perlu memahami cara kerja algoritma. Di sinilah muncul konsep literasi algoritmik, yaitu kemampuan membaca bagaimana platform digital menentukan informasi yang muncul di layar kita. Tanpa pemahaman ini, pengguna mudah terjebak dalam "gelembung informasi" yang mempersempit pandangan dan memperkuat bias.
Algoritma pada dasarnya mengatur arus informasi berdasarkan pola interaksi dan minat pengguna. Jika seseorang lebih sering menonton konten sensasional, maka sistem akan menampilkan hal serupa secara berulang. Akibatnya, pesan dakwah yang mendalam bisa tersisih oleh konten yang lebih ringan atau kontroversial. Di sinilah pentingnya literasi algoritmik bagi para dai digital: mereka perlu memahami logika platform agar dapat menyampaikan pesan kebaikan tanpa kehilangan substansi.
Literasi algoritmik juga mengandung nilai kritis: bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang benar harus viral. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra': 36: "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya." Ayat ini menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi, termasuk di ruang digital.
Â
Membangun Etika Digital Profetik
Etika menjadi pilar penting dalam komunikasi profetik. Dakwah di media digital seharusnya tidak sekadar menarik perhatian, tetapi juga menumbuhkan kesadaran dan kasih sayang. Etika digital profetik menuntut kejujuran, keadilan, dan empati. Menyebarkan hadis palsu, memelintir tafsir, atau mengunggah konten yang menyesatkan demi popularitas, adalah bentuk penyimpangan dari misi dakwah yang sejati.
Di sisi lain, pendakwah perlu memahami strategi komunikasi modern tanpa meninggalkan akhlak profetik. Pendekatan integrated digital communication yang memadukan pesan religius dengan visual yang menarik bisa menjadi jalan tengah. Kuncinya adalah menjaga niat dan nilai, konten boleh mengikuti tren, tetapi maknanya harus tetap membimbing ke arah kebenaran.
Komunikasi profetik juga sejalan dengan prinsip komunikasi ideal menurut Habermas yaitu komunikasi yang bertujuan untuk saling memahami, bukan mendominasi. Di dunia dakwah digital, prinsip ini berarti menghindari ujaran yang memecah belah, serta mengedepankan dialog yang membangun. Dakwah seharusnya menjadi ruang bagi pencerahan bersama, bukan arena perebutan pengaruh.
Tantangan dakwah digital bukan lagi soal teknologi, melainkan soal integritas. Di tengah derasnya arus algoritma, para dai dan pengguna media sosial dituntut untuk memiliki kompas moral yang jelas. Komunikasi profetik menawarkan arah, yaitu bahwa setiap kata, gambar, dan video bisa menjadi jalan dakwah jika berlandaskan niat suci dan nilai ilahi.
Sudah saatnya umat Islam tidak hanya menjadi konsumen algoritma, tetapi juga pengendali narasi kebaikan di dunia digital. Dakwah tidak boleh kehilangan ruhnya, ruh yang menuntun, bukan memecah; yang mencerahkan, bukan sekadar menghibur. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 125: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik." Ayat ini menjadi pengingat bahwa komunikasi profetik, di dunia nyata maupun digital, selalu berakar pada hikmah dan kelembutan.