Mohon tunggu...
Fauzul Faqih
Fauzul Faqih Mohon Tunggu... Desainer - Desainer Grafis, Copywritter, Penulis lepas yang ingin sekali bekerja di Tempo.

Jakarta, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Ketika Instagram Memengaruhi Kehidupan Lebih Dalam

29 Juni 2020   02:26 Diperbarui: 29 Juni 2020   02:23 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat mudik lebaran kemarin, banyak hal yang saya diskusikan dengan sahabat-sahabat saya. Mulai dari sahabat SMP, SMA bahkan perkuliahan. Beragam tema mulai kami angkat, dari hal yang sudah lazim seperti pernikahan, pekerjaan, studi Magister dan banyak hal tidak penting lainnya.

Satu hal menarik yang kami bicarakan adalah bagaimana pola dan tingkah laku pengguna Instagram. Media sosial dengan pengguna hingga 800 juta lebih ini mulai memberikan dampak psikologis terhadap banyak penggunanya.

Berdasarkan salah satu riset yang bisa anda baca di sini, Instagram merupakan media sosial terburuk bagi kesehatan mental. disebutkan bahwa anak muda yang menghabiskan lebih dari 2 jam di media sosial, lebih mudah berada dalam kondisi tertekan, stress dan semacamnya. Aplikasi berbagi foto dan video ini dekat hubungannya dengan kegelisahan, depresi, dan perasaan kehilangan.

Masih berdasarkan riset yang sama, berdasarkan urutan manfaat positif, Youtube berada di peringkat pertama, disusul oleh Twitter. Lalu Facebook, di urutan ke empat adalah Snapchat, dan yang terakhir adalah Instagram. Terbukti, Instagram mulai memberkan dampak negatif terutama dari sisi kepuasan hidup.

Mungkin banyak yang tidak setuju dengan hasil survei tersebut. Ada juga yang menolak karena merasa Instagram adalah media sosial yang menyenangkan, mampu membangun komunitas dan menambah wawasan.

Tapi dari hasil obrolan saya dan beberapa rekan, kami sepertinya sama-sama sepakat bahwa Instagram juga bisa memberikan pengaruh yang kurang baik dari sisi psikologis.

Sejatinya, Instagram adalah tempat pamer. Iya, PAMER Salah satu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan di era digital ini adalah pengakuan. Dan media sosial memberikan ruang kepada setiap penggunanya untuk mendapatkan pengakuan tersebut, baik itu pengakuan karena karya atau karena sensasi semata.

Instagram memfasilitasi penggunanya untuk berbagi berbagai hal. Entah itu foto, karya desain, video, dan semacamnya. Dan harus diakui, konten terbanyak yang dimuat di Instagram adalah hal-hal membahagikaan dan momen hits yang terjadi kepada diri seseorang.

Ada yang sedang liburan, kuliah di luar negeri, bridal shower, pernikahan, unboxing barang mewah, dll. Bahkan makin kesini, model postingan semakin beragam dan benar-benar terkesan ingin pamer. Mulai dari mobil baru, rumah baru, hingga struk belanjaan pun di posting. Intinya, semua momen berkesan haruslah di rekam di Instagram.

Sebagai pengguna, tentu saja membagikan konten apapun di Instagram adalah hal yang sah. Tidak ada hukum yang dilanggar selagi memang itu merupakan milik sendiri. Silakan berbagi apa saja, karena toh kuota internet beli sendiri. Tidak ada hak bagi siapapun untuk mengatur apa yang ingin kita posting.

Tapi seiring waktu, berbagi kebahagiaan ini mulai terasa menyakitkan bagi sebagian orang. Iya, Instagram tidak selamanya membawa dampak positif bagi penggunanya.

Salah seorang rekan saya pernah bercerita bahwa ia sendiri mulai merasa risih dengan berbagai postingan rekan sejawatnya di Instagram. Hal ini dikarenakan ia merasa tertinggal dibandingkan dengan teman-temannya dari sisi pencapaian hidup.

Ada yang sudah menikah dan punya anak. Ada juga yang masih single, tapi melanjutkan kuliah ke luar negeri. Ada juga yang bekerja tapi dengan pencapaian yang luar biasa. Sedangkan ia? Masih hanya sebatas pekerja kantoran biasa di Ibukota, dan masih jomblo, masih dengan gelar Sarjana.

Teman saya yang lain pun pernah merasa sedikit depresi karena terus-terusan melihat postingan tentang anak bayi oleh rekan sejawatnya. Ada perasaan tertekan bila melihat kawan yang lain membagikan foto bayi dan segala pernak-pernik kehidupan motherhood.

Hal ini mungkin disebabkan Ia yang sudah beberapa tahun menikah belum diberikan rezeki anak oleh Sang Maha Kuasa. Padahal bila dibandingkan dengan kami-kami yang sejawatnya ini, ia merupakan kawan yang memiliki progress kehidupan yang jauh lebih cepat. Sudah menyelesaikan studi S-2, sudah menikah, dan bekerja di BUMN ternama di negeri ini.

Dan saya yakin, masih banyak orang yang merasakan hal seperti ini, termasuk anda. Iya, sama, saya juga merasakan kok ! Yang lain liburan, kita masih kerja. Yang lain makan di kafe, kita masih di warteg. Yang lain sudah menikah, kita masih jadi jomblo. Dan begitulah siklus Instagram ini terus berlanjut hingga kita merasa puas dengan apa yang dimiliki, entah kapan itu.

Kita tidak bisa mengubah apa yang dilakukan orang lain. Kita sama sekali tidak berhak untuk mengatur apa saja yang akan dibagikan oleh sesama pengguna Instagram.

Mengutip dari Buku 7 Habits of Highly Effective People, kita hanya bisa mengendalikan diri kita sendiri untuk menciptakan kondisi seideal mungkin. The happiness is yours.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun