Mohon tunggu...
Zulhaq Faqih Nugroho
Zulhaq Faqih Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (NIM 24107030084)

Menulis apa saja yang menarik di sekitar. Suka membahas transportasi, buku, perjalanan, dan hal random lainnya. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Book

Tak Seorang Pun Gila

10 April 2025   14:18 Diperbarui: 10 April 2025   14:17 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto salah satu bab di buku The Psychology of Money (sumber: dokumentasi pribadi)

Dalam hidup ini, dalam suatu hal, kita mungkin pernah melihat seseorang membeli atau melakukan sesuatu yang kita anggap tidak masuk akal. Kita bertanya-tanya "mengapa orang lain melakukan itu?", seperti "kalau aku sih mending buat beli ini" atau "ngapain ngelakuin itu, mending ini aja", dan sebagainya. Hal yang dilakukan oleh orang lain seolah tampak "gila" di mata kita. Pernah kalian seperti itu? Saya sendiri pernah mengalami hal itu.

Saya pernah membaca buku yang membahas hal ini, berjudul The Psychology of Money. Mungkin buku ini tidak asing bagi teman-teman semua, karena buku ini telah terjual lebih dari 200 ribu eksemplar di Indonesia, dan telah diterjemahkan ke dalam 53 bahasa. Buku ini ditulis oleh Morgan Housel, ia adalah partner di The Collaborative Fund dan mantan kolumnis di The Motley Fool dan The Wall Street Journal.

Foto buku The Psychology of Money (sumber: dokumentasi pribadi)
Foto buku The Psychology of Money (sumber: dokumentasi pribadi)
Dalam buku The Psychology of Money, ada satu bab yang berjudul "Tak Seorang Pun Gila". Buku ini memang membahas hal-hal yang berkaitan dengan uang, namun penjelasannya bisa ditarik lebih luas untuk memahami hal-hal lain dalam hidup. Ketika saya membaca bab ini, saya teringat pada salah satu video yang dulu pernah saya tonton di media sosial. Kurang lebih isinya menyampaikan bahwa "kita semua gila, namun gila di mata orang lain". Meskipun kalimat ini bertentangan dengan judul bab tadi, sebenarnya pesan yang disampaikan sama. Agar lebih jelas, mari kita bahas lebih lanjut.

Beberapa orang melakukan hal "gila" dengan uang mereka, tapi itu "gila" di mata kita. Seperti "ngapain beli jam tangan harga 10 juta", dan lain sebagainya. Orang-orang dibesarkan oleh orang tua berbeda, dengan penghasilan, lingkungan, budaya, dan agama yang berbeda juga. Setiap orang memiliki pengalaman dan persepktif masing-masing terhadap dunia. Misalnya saja orang Jepang dan Indonesia, pasti punya cara pandang yang berbeda terhadap banyak hal karena perbedaan lingkungan, iklim, nilai-nilai, budaya, agama, dan lain-lain. Maka dari itu, bisa jadi yang kita anggap "gila" adalah sesuatu yang "masuk akal" bagi orang lain karena berbeda pengalaman hidup. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga berlaku dalam banyak aspek kehidupan lainnya.

"Pengalaman pribadi Anda dengan uang barangkali menjadi 0,00000001% dari seluruh kejadian dunia, tapi mungkin 80% cara kerja dunia menurut Anda." Orang-orang pintar sekalipun bisa berbeda pendapat soal banyak hal, seperti bagaimana cara mengelola uang, apa yang harus diprioritaskan, cara berinvestasi, cara terbaik mengambil keputusan, dan sebagainya. Kita semua bisa berbeda pandangan, karena pengalaman hidup yang kita alami pun berbeda. Itulah sebabnya mengapa kita kadang bahkan sering menganggap "gila" tindakan orang lain. Tapi sebenarnya, tak seorang pun gila. Atau, mereka "gila", namun "gila" di mata orang lain.

Analogi begini. Seperti yang sudah saya singgung tadi, saya pernah menonton video di media sosial soal hal ini. Judulnya kurang lebih "Kita semua gila, tapi gila di mata orang lain. Di video itu, ada analogi menarik: saat sedang konser, ada dua tipe penonton konser dan pedagang di sekitar konser. Pertama, si penonton mungkin akan berpikir, "Ngapain sih dagang? Mending nonton konser aja." Sementara si pedagang justru berpikir, "Ngapain nonton konser, mending jualan, bisa dapat cuan." Nah, keduanya saling menganggap "gila". Tapi sebenarnya, keduanya punya alasan masing-masing yang masuk akal menurut mereka. Mungkin si pedagang memang punya jiwa bisnis atau sedang dalam ekonomi yang berbeda, jadi konser adalah kesempatan untuk mencari uang. Sementara si penonton mungkin memang suka musik dan menikmati suasana konser sebagai hiburan. Dari sini kita bisa paham, bahwa tak seorang pun benar-benar gila. Masing-masing punya alasan yang masuk akal menurut diri mereka sendiri.

Morgan Housel juga memberi contoh menarik dalam bukunya. The New York Times pernah membuat artikel tentang kondisi kerja di pabrik elektronik besar, Foxconn, di Taiwan. Kondisinya sering buruk, pekerjaan berat, jam kerja panjang, gaji kecil, dan lingkungan kerja yang tidak ideal. Orang Amerika menyebutnya "sweat shop". Mereka yang melihat berita itu marah dan mungkin bertanya "Mengapa orang-orang mau bekerja di tempat seperti itu?" Tapi ternyata, salah satu keponakan seorang pekerja di sana berkomentar bahwa bibinya dulu adalah seorang pelacur. Bekerja di "sweat shop" walau berat, itu jauh lebih baik dibanding hidup sebelumnya. Jadi, sesuatu yang dianggap "gila" oleh orang Amerika, justru dianggap langkah yang masuk akal bagi orang tersebut. Lagi-lagi, pengalaman dan latar belakang berbeda membuat cara pandang orang juga berbeda.

Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari. Kita mungkin sering melihat orang lain melakukan hal-hal yang tampak "gila", tapi kita tidak tahu alasan di baliknya. Bisa soal hobi, makanan, minuman, cara berpakaian, minat, wisata, atau sekolah yang mereka pilih. Dengan memahami hal ini, kita bisa belajar untuk tidak terlalu cepat menghakimi pilihan hidup orang lain.

Perlu diketahui, di sini saya tidak sedang membicarakan soal benar atau salah. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa setiap orang memiliki alasan masing-masing dalam bertindak atau membuat pilihan, bahkan jika tindakan mereka adalah hal yang buruk, di sini saya tidak bermaksud membenarkan hal buruk tersebut, tapi saya ingin mengajak kita semua untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain. Bahwa ada cerita dan pengalaman hidup yang membentuk pilihan-pilihan itu.

Itulah salah satu bab dari buku The Psychology of Money. Kalau kalian ingin lebih paham dan mendapatkan insight lainnya, saya menyarankan kalian untuk membaca langsung, bisa di pinjam di perpustakaan yang menyediakannya atau membeli secara online maupun langsung di toko buku. Sekian, terima kasih sudah membaca!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun