Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saya Memilih Golput, Tapi Tak Mengajak yang Lain untuk Golput

9 Desember 2015   11:23 Diperbarui: 9 Desember 2015   13:05 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

http://www.kompasiana.com/fantasi/haruskah-saya-golput-kali-ini-simalakama-pilkada-2015_56676f1f3393732f2e2e4748

Saya baru saja melakukan peran saya sebagai warga negara Indonesia yang baik: menggunakan hak pilih dalam pemilihan kepala daerah. Ujung jari kelingking kiri saya masih berwarna ungu. Ada dua pasangan calon walikota/wakil walikota yang boleh dipilih. Setelah membaca kembali profil singkat dan visi misi kedua pasang kandidat yang dipampang di gerbang masuk TPS, saya tetap tak menemukan alasan untuk memilih salah satu pasangan; di bilik suara, saya coblos kedua-duanya. Saya merasa plong!

Untuk pertama kalinya dalam pemilu yang saya ikuti, melalui pencoblosan tak sah, saya menyatakan bahwa saya tak mau memilih salah satu dari kandidat yang ditawarkan. Tidak saya biarkan kertas suara saya tetap bersih, takut disalahgunakan nantinya. Saya beri dua bolongan di dua kolom pilihan untuk memastikan suara saya dihitung sebagai suara tak sah.

Sambil berjalan pulang dari TPS saya tanya istri saya. Pilih yang mana ? Karena saya tak akan memilih salah satu pasangan, saya sarankan dia memilih sesuai kehendaknya saja. Ternyata dia pilih pasangan calon petahana. Alasannya ? "Wajahnya lebih ramah daripada pasangan yang satunya." Duh!

Pulang dari TPS saya mampir ke tetangga saya yang sudah tua dan tinggal sendiri. Ternyata dia tidak ke TPS (berbeda dengan TPS saya), karena tak ada yang menemani. Saya menawarkan untuk mengantar, tempatnya tak jauh hanya beda arah dengan TPS tempat saya tadi mencoblos. Dia bilang tidak usah, karena dia sudah memutuskan tidak memilih - mengikuti tetangga sebelah rumahnya yang seharusnya memilih di TPS yang sama. Saya heran, karena tahu tetangga sebelah rumahnya (6 orang dewasa) rajin ikut Pemilu; tahun lalu kami satu TPS, entah mengapa kali ini jadi beda.

"Memangnya mengapa mereka tak mau mencoblos ?" tanya saya.

"Katanya, dua-duanya yang mau dipilih itu maling."

"Lho ?!"

Meskipun kali ini saya golput, saya tidak menyarankan orang lain juga golput. Bagaimana pun juga - saya masih percaya - pemilu adalah salah satu mekanisme dalam sistem demokrasi yang harus dipertahankan. Itu sebabnya saya tidak mencoba mempengaruhi istri saya untuk juga ikut golput. Ketidakpuasan saya akan kualitas kandidat dan partai yang ikut pilkada adalah bersifat pertimbangan pribadi, maka saya berharap tiap orang juga menggunakan akal budi masing-masing untuk memberikan suara di dalam pemilihan ini.

Memilih dalam pemilu legislatif, pemilu presiden dan pilkada adalah hak. Saya sudah menggunakan hak saya dengan tidak memilih kandidat mana pun; suara saya dicatat sebagai suara tidak sah. Tetangga saya tak mau menggunakan hak mereka; tak ada catatan tentang suara mereka. Suara saya dan suara tetangga saya akan dinilai sebagai golput.

Saya golput ? Ada rasa asing menyandang label itu. Tapi, ya sudahlah. Siapapun nanti yang terpilih jadi walikota saya tak akan menyesali. Saya hanya berharap suara golput cukup signifikan agar siapa pun yang terpilih sadar bahwa mereka menjadi pemimpin pada dasarnya tak diinginkan oleh mayoritas rakyatnya. Karena itu, mereka harus merebut hati rakyat dengan menunjukkan kinerja yang baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun