Mohon tunggu...
SHANIWA Yuhu
SHANIWA Yuhu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanggapan terhadap Kasus-kasus Pelanggaran HAM

27 Juli 2017   12:41 Diperbarui: 27 Juli 2017   13:32 14567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Korban menginginkan teman-temannya ini tetap sekolah seperti biasa. Selama tiga bulan direhab anak-anak yang berasal dari enam sekolah berberda ini mendapat sejumlah pembinaan. Kejadian ini menyebabkan 9 anak tersebut harus pindah sekolah. Sementara koban sendiri akan mendapat terapi untuk memulihkan kondisi mentalnya sehingga tidak trauma. Efek bullying hampir saja mengecam keamanan anak. Tentu, untuk menangani anak yang tertindas atau korban kekerasan perlu ditangani secara serius. Pendekatan secara bijaksana dari hati ke hati dan mengetahui sebagaimana mestinya kita sebagai orang tua harus bersikap terhadap anak kita. Yang perlu digaris bawahi adalah efek psikologi yang berlanjut saat mereka dewasa nanti.

Sekarang apa kata hukum. Perilaku Bullying termasuk Pelangaran Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak No 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jelas banyak hak korban bullying yang direnggut oleh pelakunya. Seperti hak memperoleh  rasa aman, hak dihargai dan dihormati. Di sisi lain tindakan ini melenceng dari norma agama manapun bukan.

Nah mungkin sebagian solusi dalam kasus ini salah satunya mengalihkan mereka pada kegiatan positif seperti kegiatan kerohanian atau ekstrakurikuler. Juga peran orang tua secara bijaksana dapat terus menerus mengawasi dan mendampingi secara rutin, rasa aman dan nyaman dalam menekuni pendidikannya. Dengan begitu tindakan Bullying dapat mengurangi juga dihindari. Kasus ini sedang diadili yang membuktikan bahwa hak asasi manusia sangat di jungjung tinggi kehormatannya.

Artikel 3 : Kasus Tolikara dan Aceh Singkil, Catatan Hitam Toleransi Beragama

Kasus Tolikara dan Aceh Singkil, catatan hitam toleransi beragama

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E Ayat 1 berbunyi "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya". Namun, lain kenyataannya dengan yang terjadi di negeri ini. Dasar hukum tersebut masih saja dilanggar oleh segelintir orang di beberapa tempat di Indonesia, contohnya dalam kasus intoleransi antaragama yang terjadi di Tolikara, Papua. Pada hari Jumat, 17 Juli 2015, sekitar pukul 07.00 WIT di Tolikara, Papua telah terjadi pembakaran masjid Baitul Muttaqin.

 Saat itu, umat Islam sedang melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan terbuka Makoramil 1702-11/Karubaga. Tak lama, sekelompok orang datang ke lokasi tersebut dan meminta mereka untuk menghentikan kegiatan shalat Ied. Beberapa hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 11 Juli 2015, telah beredar surat yang mengatasnamakan Jemaat GIDI Wilayah Tolikara. 

Dalam surat tersebut, umat Islam dilarang melaksanakan shalat Ied dan mengadakan kegiatan lebaran pada tanggal 17 Juli dan hanya diperkenankan mengadakan kegiatan hari raya di luar wilayah Tolikara. Surat larangan tersebut diedarkan dengan alasan akan diselenggarakannya Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Pemuda tingkat Internasional dimana hal ini merupakan suatu pelanggaran HAM untuk bebas beribadah sesuai agama dan kepercayaannya.

 Disini jelas bahwa jemaat Kristen melarang umat Islam untuk melaksanakan ibadah di hari raya dan mengadakan perayaannya, menunjukkan tidak adanya toleransi segelintir orang kepada agama lain. Padahal sesungguhnya di negara Indonesia yang penduduknya menganut beragam agama ini, kita harus bisa mentolerir orang lain yang berbeda agama. Kita tidak diperkenankan menghalangi orang lain yang hendak beribadah, termasuk juga terhadap umat beragama yang berbeda kepercayaan dengan kita. 

Kasus di Tolikara ini menunjukkan bahwa umat Kristen telah melampaui batas toleransi terhadap umat Islam, dengan puncaknya yaitu pembumihangusan salah satu masjid. Meskipun umat Islam telah menerima surat larangan beribadah di hari Idul Fitri dan tetap melaksanakan shalat Ied, mereka tidaklah bersalah karena mereka pun memiliki hak untuk beribadah. 

Dan meskipun jemaat GIDI Tolikara memiliki alasan untuk melarang umat Islam beribadah di hari Idul Fitri, pelarangan tersebut tetap saja tidak dibenarkan karena mereka telah merampas hak umat Islam untuk beribadah. Perseteruan seperti ini dapat menimbulkan perpecahan bangsa jika tidak diselesaikan dengan baik. Tak bisa dipungkiri bahwa kita hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda agama. Karenanya, kita diharuskan menghargai umat beragama yang lain dalam menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya masing-masing dan selalu menjaga hubungan baik sesama umat beragama agar tercipta perdamaian dan persatuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun