Mohon tunggu...
FanFan F Darmawan
FanFan F Darmawan Mohon Tunggu... Marketing Strategist, Writter, Copy Writter

“The universe sends guides not on your demand, but in response to your readiness.” Semoga yang saya bagikan bisa 'menggerakan' pikiran dan perbuatan Anda, menjadi lebih berbahagia dan berperan dalam kehidupan, semoga..

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Gerundelan Penulis Kere'

20 Juni 2025   08:55 Diperbarui: 20 Juni 2025   08:55 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Dokumentasi Penulis

Gerundelan Penulis Kere - Idealisme yang Runtuh ditengah Algoritma dan Tuntutan Pasar

Memulai satu paragraf pertama bagi penulis saat ini, adalah munculnya kengerian yang ada di pikiran penulisnya. Kengerian dan teror di pikiran sang penulis adalah : apakah tulisan ini akan sesuai dengan selera pasar? Apakah tulisan ini nantinya sesuai dengan tren SEO nya Google?  Apakah tulisan ini jika diposting di social media akan viral sesuai dengan algoritma?Penulis yang memiliki idealisme menghadirkan tulisan berkualitas dan syair yang indah, akan frustrasi dengan kondisi mayoritas pembaca buku saat ini. Buku dan tulisan yang digemari adalah novel cerita percintaan dan perselingkuhan. Jikapun ada buku motivasi, banyak disajikan ringkas, dangkal, dan dibungkus nilai relijius yang semu. Atau tulisan yang digemari oleh anak muda pencari jati diri, adalah buku yang menyadarkan bahwa hidup ini rapuh, serapuh jiwanya.Jika karya tulisan itu dipublikasikan di social-media, maka akan berhadapan dengan algoritma yang menjadi hakimnya. Konten yang seringan kerupuk, dilihat jutaan kali, dibanding konten yang kontemplatif hasil perenungan diri. Kisah skandal selebriti dan gaya hidup mewah, lebih menarik secara secara visual dibanding dunia para sastrawan dan ilmuwan yang dingin dan sepi.
Jika suasana ini terasa di dunia tempat hidup kita sekarang, George Orwell pernah menuliskannya dengan sangat perih dalam novel Keep the Aspidistra Flying pada tahun 1936. Novel ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dengan judul yang cukup menyayat hati, Gerundelan Penulis Kere (Penerbit Bentang, 2025).
Novel yang ditulis berlatar Inggris tahun 30-an ini, sebenarnya bercerita tentang sebuah idealisme yang gugur ketika berhadapan dengan sistem kapitalisme. Betapa idealisme tidak akan bertahan, jika untuk memenuhi kebutuhan perutpun tidak ada.
Tokoh utama di novel ini, Gordon Comstock seorang penyair muda yang cerdas, dan ingin merdeka dalam berkarya. Ia bahkan keluar dari pekerjaan tetapnya, dan memutuskan hidup sederhana bekerja di toko buku bekas dengan gaji kecil.
Impiannya menjadi penyair, harus berhadapan dengan kenyataan pahit yang dialaminya. Kemiskinan, rasa malu, dan perasaan tidak berharga, menghinggapi jiwa Gordon yang mulai rapuh, dalam perjuangan mempertahankan idealisme nya menjadi seorang penulis.
Gordon berjuang melawan sistem kapitalis penerbitan saat itu. Penerbit mengikuti selera pasar yang lebih menyukai karya yang ringan, dibanding karya yang penuh pendalaman pikiran. Di sisi lain, penulis yang mencurahkan gagasannya secara jujur dengan idealisme luhur, tidak diberi kesempatan menerbitkan karyanya. Tentu saja, karya dengan nilai sastra yang tinggi, tidak akan bisa menjual sebanyak karya tulis ringan yang mudah dibaca.
Novel ini secara jujur, meskipun pedih, menggambarkan realita bahwa menjalani kehidupan sebagai penulis itu sunyi dan penuh penderitaan. Penulis berada diantara dua dunia mempertahankan idealisme atau realistis menambah profesi dengan mencari pekerjaan yang lebih mapan. Disini George Orwell dengan berimbang menyisipkan pesan tentang mempertahankan idealisme, ditengah kemiskinan yang mendera tokoh utamanya, Gordon. Betapa kemiskinan pada akhirnya bisa menghancurkan produktivitas, dan menjauhkan diri dari hubungan dengan masyarakat.
Suasana dalam novel ini jika di refleksikan, masih kontekstual dengan yang terjadi di dunia literasi dan penerbitan di Indonesia saat ini. Betapa penulis tidak pernah bisa benar-benar hidup layak dari royalti buku nya. Penulis harus memiliki pekerjaan sampingan selain menulis, dan bisa menghidupi diri (dan keluarganya). Kreativitas tidak akan lahir dari perut yang kelaparan (dalam novel ini digambarkan Gordon tidak punya cukup uang untuk membeli rokok, sumber inspirasinya ketika menulis).
Kondisi pasar Indonesia saat ini, tidak berbeda dengan yang digambarkan Orwell lebih dari 80 tahun yang lalu di novel ini. Pembaca lebih menyukai konten ringan, mudah dicerna, dangkal tanpa pemikiran, dan menjual sensasi. Hampir tidak ada tempat untuk karya yang lahir dari perenungan, penelitian, dan refleksi jujur penulisnya.
Tentu saja ada penulis yang bisa mendapatkan royalti yang layak dari penjualan ribuan bukunya di pasaran. Dan presentase penulis yang sukses tersebut, sangat sedikit dibanding jumlah penulis yang karya nya diterbitkan di negara ini. Sebagian besar tetap menulis dengan kesadaran bahwa ia menulis sebagai sebuah ekspresi diri. Ia tetap menulis meski sering berbenturan dengan tuntutan pasar, apalagi algoritma social-media. Sebagian berhenti menulis, lalu mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan seperti content-creator atau pembicara seminar.
Ada juga perlawanan dari para penulis yang merasa karyanya dinilai tidak memihak pasar. Diantaranya mereka menerbitkannya secara mandiri (self-publishing). Menerbitkan dan menjualnya secara mandiri, kini terbantu dengan kekuatan social-media dan teknologi internet. Tentu saja ini akan melelahkan penulis, yang seharusnya fokus pada karya, kini di kepalanya ada urusan promosi dan distribusi.
Pada akhirnya novel ini, sedang menceritakan pada kita betapa ringkihnya karya sastra (industri penerbitan buku) di tengah dunia yang memuja uang dan materi. Tentu tidak harus kita membenci uang, tapi tidak menjadikan ia satu-satunya nilai yang menjadi ukuran.
Sedikit catatan tambahan, sebagai refleksi pribadi. Setelah membaca novel ini, saya temukan pada akhirnya idealisme akan menjadi barang langka, kesepian, jauh dari gegap gempita pesta. Tapi itulah jalan yang ditempuh dahulu oleh para cendikia, pemikir, sastrawan, ilmuwan, bahkan para Nabi. Jalan yang sunyi, melawan arus, penuh penderitaan, dan harus tetap dijalani karena ini bagian dari kebebasan berfikir dan menyampaikan makna. Jika kebebasan berfikir mati, begitu juga dengan literasi.
(Fan Fan F Darmawan, Juni 2025)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun