Lembaga investigasi korupsi internasional, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), belakangan menjadi sorotan setelah secara konsisten merilis laporan-laporan tajam yang menarget negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu momen mencolok adalah ketika Presiden Indonesia disebut sebagai salah satu kandidat pemimpin paling korup dunia versi OCCRP pada tahun 2024. Publik pun mulai mempertanyakan, apakah investigasi ini murni demi keadilan, atau ada kepentingan tersembunyi di baliknya?
Pendanaan OCCRP menjadi bahan perbincangan serius. Lembaga ini diketahui menerima dana dari berbagai organisasi luar negeri seperti Open Society Foundations (OSF) milik George Soros, United States Agency for International Development (USAID), dan National Endowment for Democracy (NED). Ketiga entitas ini bukan lembaga netral, mereka memiliki rekam jejak panjang dalam mendanai proyek-proyek sosial dan politik di berbagai negara sesuai dengan agenda kebijakan luar negeri negara donor, terutama Amerika Serikat. Maka wajar jika timbul kecurigaan akan adanya bias dalam laporan-laporan yang disajikan OCCRP.
Menariknya, OCCRP lebih sering menyoroti praktik korupsi dan kejahatan terorganisir di negara-negara seperti Rusia, China, Venezuela, dan Indonesia, sementara negara-negara Barat nyaris tak tersentuh. Padahal, skandal korupsi besar juga kerap terjadi di Amerika Serikat, Inggris, dan negara Eropa lainnya. Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan: apakah benar OCCRP murni mengejar kebenaran, atau justru menjalankan peran sebagai alat tekanan terhadap negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingan elite global?
Indonesia punya sejarah kelam dengan George Soros, terutama dalam krisis moneter tahun 1998. Banyak pihak menilai, manuver pasar oleh Soros dan spekulasi valas kala itu memperparah keruntuhan ekonomi nasional. Kini, nama Soros kembali disebut dalam konteks media dan pendanaan organisasi internasional seperti OCCRP dan OSF yang aktif membiayai berbagai lembaga serta media di tanah air. Pengaruh ini dikhawatirkan membentuk opini publik yang condong pada narasi luar, bukan pada kebenaran obyektif.
Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa media lokal yang menerima bantuan OSF mulai terlihat selaras dengan narasi yang disebarkan OCCRP. Bila hal ini dibiarkan, maka opini masyarakat Indonesia bisa diarahkan oleh pihak asing melalui saluran informasi yang tampak lokal namun berjiwa internasional. Dalam konteks kedaulatan informasi, ini adalah ancaman serius yang harus segera direspons oleh pemerintah dan masyarakat.
Indonesia perlu bangkit dan mengambil kendali atas narasi di negeri sendiri. Membangun media nasional yang benar-benar independen, kritis terhadap agenda asing, serta berpihak pada kepentingan rakyat adalah solusi jangka panjang. Di tengah arus informasi global yang semakin deras dan penuh kepentingan, kemandirian dalam bermedia menjadi tiang utama dalam menjaga kedaulatan bangsa.
#OCCRP #MediaIndependen #KedaulatanInformasi #IndonesiaBerdaulat #StopAgendaAsing #GeorgeSoros #OpiniPublik #InvestigasiBerimbang #JurnalismeKritis #KuasaiNarasiSendiri
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI