Mohon tunggu...
Fana Insanu
Fana Insanu Mohon Tunggu... -

Fana Mustika Insanu adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro. Saat ini, ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edents FEB Undip.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"The Overpower" Supersemar, Antara Miskonsepsi dan Legitimasi

13 Maret 2018   19:47 Diperbarui: 13 Maret 2018   20:30 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti ajaran Pemimpin Besar Revolusi,"

Sekiranya, pernyataan diatas adalah poin pertama yang diperintahkan Soekarno kepada Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat pada tahun 1966. Pernyataan tersebut tertera pada Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), diikuti dengan 2 poin di bawahnya yang memerintahkan Soeharto untuk melakukan koordinasi kepada panglima angkatan lainnya dan melakukan pelaporan. 

Surat perintah yang hingga detik ini 'masih' belum ditemukan naskah otentiknya ini ditandatangani oleh Soekarno pada 11  Maret 1966. Siapa sangka, penandatanganan surat ini menjadi 'awalan dari akhir' kekuasaan Soekarno dan menjadi gerbang lahirnya rezim orde baru yang bertahan hingga 30 tahun lamanya.

Banyak Versi dan Tidak ada yang Asli

Setidaknya, hingga tahun 2013 terdapat 4 versi naskah supersemar yang disimpan oleh pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Keempat versi naskah tersebut berasal dari tiga instansi yang berbeda, yakni; Satu versi dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Satu versi dari Akademi Kebangsaan, dan dua versi dari Sekretariat Negara (Setneg). 

Celakanya, dari keempat versi yang disimpak oleh ANRI tidak ada yang asli. Bahkan, Supersemar versi Puspen TNI AD yang pada saat itu menjadi pegangan Soeharto untuk melakukan 'eksekusi' juga disinyalir palsu. Hal ini merujuk kepada naskah fisiknya yang sudah diketik menggunakan teknologi komputer, padahal pada tahun 1966 mayoritas proses pengetikan masih menggunakan mesin ketik manual. 

Pernyataan tersebut berasal dari M. Asichin, mantan kepala ANRI pada saat dirinya menjadi pembicara dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip di Jakarta pada 21 Mei 2013. Ia juga menambahkan bahwa dokumen tersebut palsu, baru diketik setelah tahun 1970-an. Terakhir, bukti kuat ketidakaslian 4 naskah tersebut juga telah diuji oleh Laboratorium Forensik (Labfor) Mabes Polri.

Lantas timbul beberapa pertanyaan, jikalau dokumen Supersemar yang dijadikan sebagai pegangan Soeharto tersebut juga palsu, maka apakah lahirnya rezim orde baru juga menjadi 'tidak sah'. Pernyataan tersebut mungkin hanya satu dari sekian banyak akibat dari 'hilangnya' naskah asli Supersemar. Bahkan hingga pada tahun 2018, hal ini masih melahirkan beragam opini baru di masyarakat.

Menurut penulis, debat kusir mengenai sah atau tidaknya rezim orde baru yang disebabkan oleh ketidakaslian Supersemar bukanlah hal esensial yang harusnya dipikirkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini dikarenakan orde baru sudah menjadi fakta sejarah yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia. Selain itu, peralihan masa orde lama dan orde baru juga telah diakui oleh dunia internasional dan diakui secara konstitusi keabsahannya. Mengutip perkataan Mahfud MD yang dilansir dari tirto.id, bahwa 'apabila ada yang menganggap rezim orde baru adalah haram, maka segala yang kita miliki sekarang juga haram'.

Supersemar sebagai Alat Legitimasi

Selain ketidakjelasan naskah otentiknya, ada hal lain yang membuat Supersemar menjadi menarik untuk dibahas, yaitu proses pembuatan surat itu sendiri. Setidaknya ada dua hipotesis sederhana yang bisa penulis ambil. Pertama adalah asumsi bahwa supersemar bukan dibuat atas kehendak Soekarno dan yang kedua adalah asumsi bahwa supersemar memang 'sengaja' dibuat atas kehedak Soekarno.

Pertama,  asumsinya adalah bahwa supersemar dibuat bukan atas kehendak Soekarno, dan ditandatangani dalam kondisi di bawah tekanan. Asumsi ini datang dari sebuah fakta yang dituangkan dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" karya Syamdani yang terbit pada tahun 2001. 

Pada buku tersebut, dikatakan bahwa Mantan Anggota Cakrabirawa, Letnan Dua Soekardjo Wilardjito menyaksikan bahwa Soekarno menandatangani surat tersebut di bawah todongan pistol FN Kaliber 46. Otomatis, pernyataan tersebut dibantah oleh Mayjen Muhammad Yusuf dan Mayjen Amirmahmud. Mereka adalah dua dari empat jenderal yang mendatangi Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Sisanya adalah Mayjen Nasoeki Rachmat dan Mayjen Maraden Panggabean.

Versi lain dari asumsi ini juga datang dari Ali Akbar Navis, dalam bukunya yang merupakan biografi dari Hasjim Ning yang berjudul  'Pasang Surut Pengusaha Pejuang. Otobiografi Hasjim Ning' yang dibuat pada tahun 1987. Pada buku tersebut, dikatakan bahwa Soekarno didatangi oleh dua pengusaha yaitu Hasjim Ning dan Dasaad sehari sebelum penandatanganan supersemar, yaitu 10 Maret 1966. Mereka berdua diutus oleh Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara, yang pada saat itu menjabat sebagai Asisten VII Menteri Panglima Angkatan Darat. Maksud dari dua pengusaha ini adalah untuk membujuk Soekarno yang terdiri dari dua poin; Membubarkan PKI dan Mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Dua versi yang penulis sebutkan diatas memiliki satu benang merah yang sesuai dengan asumsi pertama, bahwa supersemar ditandatangani pada saat kondisi Soekarno dibawah tekanan. Bahkan, secara halus dapat dikatakan sebagai 'kudeta secara halus' yang dilakukan oleh Soeharto. Pada asumsi ini dapat disimpulkan bahwa supersemar memang sudah menjadi alat legitimasi politik yang direncanakan matang-matang, menjadi 'pelicin' bagi Soeharto untuk melenggang menuju kursi kekuasaan yang lebih tinggi.

Supersemar yang 'Overpower'

Selain asumsi pertama yang menyatakan bahwa supersemar adalah alat legitimasi Soeharto yang pembuatannya jelas-jelas bukan 'ide' dari Soekarno, penulis mengajak anda untuk masuk kepada asumsi kedua. Asumsi kedua ini bermula dari sebuah fakta bahwa pada dasarnya isi dari supersemar itu sendiri sudah 'overpower'. Pada skenario ini penulis mengasumsikan bahwa pernyataan terkait 'Soekarno memang membuat supersemar' dan 'supersemar adalah murni kehendak dan ide dari Soekarno' adalah benar. 

Jadi, pada sesi ini penulis tidak lagi mengasumsikan bahwa supersemar adalah 'alat legitimasi' atau 'alat kudeta' atas kehendak Soeharto yang ingin melicinkan dirinya menuju kursi kekuasaan. Singkatnya, pada asumsi kedua ini penulis mengajak anda untuk khusnudzon, yaitu berprasangka baik dalam mengkritisi apa yang terjadi pada peristiwa ini.

Asumsi ini berangkat dari 'hitam diatas putih', yaitu pernyataan dan poin-poin yang tertulis pada surat tersebut. Setidaknya ada tiga poin perintah yang ditujukan oleh Soeharto pada surat tersebut, dan poin pertama yang paling mencuri perhatian. Pernyataan yang menarik perhatian saya merujuk kepada kalimat 'Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu', yang dimana kalimat lengkapnya telah saya kutip di awal tulisan ini. Kalimat 'Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu' tersebut dinilai dapat menciptakan makna ambiguitas yang luar biasa. 

Bayangkan, apabila seseorang dengan pemikiran sekelas jenderal yang diberikan perintah tersebut, maka apa yang akan terjadi menjadi sulit untuk dibayangkan. Kalimat tersebut ditujukan kepada Soeharto yang pada saat itu bisa dikatakan sebagai 'pemegang kendali militer' yang sangat besar.  Soekarno, di lain sisi, yang memberikan mandat tersebut tidak mengetahui apa yang bisa Soeharto lakukan dengan adanya surat tersebut.

 Bagi penulis, hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang horror karena betapa banyaknya ragam interpretasi yang dapat dilakukan dari makna ambiguitas perintah tersebut. Surat ini menjadi sesuatu yang 'overpower' dan dipegang oleh seseorang dengan 'great power'.

Miskonsepsi dan Penerabas Sekat Disipliner

Masih merujuk kepada apa yang menjadi 'hitam diatas putih' supersemar, masih pada kalimat yang sama. Selain menimbulkan kesan 'overpower', supersemar juga menimbulkan kesan miskonsepsi pada proses implementasinya. Miskonsepsi yang terjadi adalah Soeharto, yang diberikan mandat tersebut mungkin menganggap bahwa supersemar adalah bentuk dari transfer of authority. Hal tersebut menurut penulis sangat mungkin untuk terjadi, mengingat sisi 'overpower' dan ambiguitas yang terkandung dari apa yang tertulis pada surat tersebut, sangat besar kemungkinan bagi penerima mandat untuk salah dalam mengimplementasikannya.

Benar saja, dua hari setelah penandatanganan supersemar, yaitu tanggal 13 Maret 1966 muncul Surat Perintah Tiga Belas Maret (Supertasmar). Supertasmar kali diungkapkan oleh AM Hanafi selaku Duta Besar RI untuk Kuba pada era Soekarno dalam buku 'Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar'  yang diterbitkan pada tahun 1998. Singkatnya, supertasmar merupakan koreksi dari Soekarno yang mengatakan bahwa supersemar hanyalah bersifat administratif dan teknis, bukan politis. 

Koreksi ini berangkat dari pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh Soeharto, sehingga Soekarno beranggapan bahwa Soeharto telah melampaui wewenangnya sebagai pemegang mandat supersemar. Namun ironisnya, hingga saat ini, naskah asli supertasmar juga belum ditemukan.

Kehadiran supertasmar yang dikemukakan oleh AM Hanafi membuat asumsi miskonsepi atas supersemar memang benar adanya. Supersemar, yang pada dasarnya sudah 'overpower' ditambah dengan adanya miskonsepsi dari sang pemegang mandat, menjadi sesuatu yang menyeramkan. Ibaratnya, supersemar menjelma menjadi surat izin 'penerabas sekat disipliner'. Penerabas hak politik bahkan hingga hak asasi manusia sekalipun. Bicara perihal hak asasi manusia, penulis kira rakyat Indonesia sudah mengetahui apa yang terjadi selanjutnya, setelah 'sang pemegang mandat' naik kursi kekuasaan. Supersemar, tidak dapat dipungkiri lagi, menjadi gerbang atas segalanya yang terjadi yang bertahan hingga 3 dekade lamanya.

Ajang untuk Introspeksi

Pada tahun 2018 ini, peristiwa supersemar menginjak 52 tahun. Pertanyaan yang sering muncul adalah 'apakah masih penting memperingati peristiwa supersemar', dan rakyat Indonesia berhak memiliki jawaban versinya masing-masing. Mengutip pernyataan Anhar Gonggong, bahwa supersemar sudah tidak 'relevan' lagi karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas kekeliruan sejarah yang terjadi. Pernyataan itu dikatakan dalam diskusi Peringatan 50 Tahun Supersemar di Jakarta, 13 Februari 2016.

Penulis setuju dengan pernyataan Anhar Gonggong diatas, bahwa tidak ada pihak yang bisa dibebankan atas kekeliruan sejarah yang terjadi. Namun, yang menjadi hal esensial disini adalah bukan berdebat mengenai 'pada siapa kita membebankan kekeliruan sejarah', melainkan belajar dari peristiwa tersebut.

 Eksistensi 'sejarah' bertujuan untuk dapat dijadikan pedoman oleh setiap individu yang hidup setelah 'sejarah' tersebut. Penulis berpendapat bahwa sudah menjadi kewajiban bagi kita, 'rakyat yang hidup di masa depan' untuk terus mengingat peristiwa supersemar sebagai ajang pembelajaran yang sifatnya komprehensif dan berkelanjutan.

Peristiwa ini setidaknya memberi dua pelajaran esensial. Pertama, menjadi 'tamparan' pada pemerintah Indonesia yang berperan sebagai regulator untuk lebih berhati-hati dalam pembuatan regulasi atau perundang-undangan agar tidak menciptakan ambiguitas redaksional yang menjadi 'celah' bagi pihak yang tidak bertanggungjawab. 

Sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6, salah satunya menyinggung perihal 'kejelasan rumusan', yang bertujuan untuk meminimalisir miskonsepsi dari pemegang mandat tersebut. Kedua, peristiwa ini juga menjadi pembelajaran bagi Undang-undang kearsipan, tepatnya yang dijelaskan pada Undang-Undang nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan yang menimbang bahwa 'arsip negara harus dikelola dan diselamatkan oleh negara'. Agar peristiwa 'kehilangan arsip' tidak terjadi di kemudian hari.

Meskipun peristiwa supersemar sudah berlalu lebih dari setengah abad lamanya, penulis menganggap peringatan tahunan ini menjadi ajang introspeksi bagi rakyat Indonesia, untuk mengetahui jati diri para pendahulunya. Peringatan hari supersemar menjadi suatu hal yang selalu mengingatkan kita 'bahwa ini yang sebenarnya terjadi, dan tidak ada yang bisa diubah' karena telah menjadi bagian dari memoar dalam waktu yang linear. Pada waktu yang linear, tidak ada yang bisa diubah, namun selalu ada yang bisa dipelajari di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun