Mohon tunggu...
Fana Insanu
Fana Insanu Mohon Tunggu... -

Fana Mustika Insanu adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro. Saat ini, ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edents FEB Undip.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"The Overpower" Supersemar, Antara Miskonsepsi dan Legitimasi

13 Maret 2018   19:47 Diperbarui: 13 Maret 2018   20:30 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain ketidakjelasan naskah otentiknya, ada hal lain yang membuat Supersemar menjadi menarik untuk dibahas, yaitu proses pembuatan surat itu sendiri. Setidaknya ada dua hipotesis sederhana yang bisa penulis ambil. Pertama adalah asumsi bahwa supersemar bukan dibuat atas kehendak Soekarno dan yang kedua adalah asumsi bahwa supersemar memang 'sengaja' dibuat atas kehedak Soekarno.

Pertama,  asumsinya adalah bahwa supersemar dibuat bukan atas kehendak Soekarno, dan ditandatangani dalam kondisi di bawah tekanan. Asumsi ini datang dari sebuah fakta yang dituangkan dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" karya Syamdani yang terbit pada tahun 2001. 

Pada buku tersebut, dikatakan bahwa Mantan Anggota Cakrabirawa, Letnan Dua Soekardjo Wilardjito menyaksikan bahwa Soekarno menandatangani surat tersebut di bawah todongan pistol FN Kaliber 46. Otomatis, pernyataan tersebut dibantah oleh Mayjen Muhammad Yusuf dan Mayjen Amirmahmud. Mereka adalah dua dari empat jenderal yang mendatangi Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Sisanya adalah Mayjen Nasoeki Rachmat dan Mayjen Maraden Panggabean.

Versi lain dari asumsi ini juga datang dari Ali Akbar Navis, dalam bukunya yang merupakan biografi dari Hasjim Ning yang berjudul  'Pasang Surut Pengusaha Pejuang. Otobiografi Hasjim Ning' yang dibuat pada tahun 1987. Pada buku tersebut, dikatakan bahwa Soekarno didatangi oleh dua pengusaha yaitu Hasjim Ning dan Dasaad sehari sebelum penandatanganan supersemar, yaitu 10 Maret 1966. Mereka berdua diutus oleh Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara, yang pada saat itu menjabat sebagai Asisten VII Menteri Panglima Angkatan Darat. Maksud dari dua pengusaha ini adalah untuk membujuk Soekarno yang terdiri dari dua poin; Membubarkan PKI dan Mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Dua versi yang penulis sebutkan diatas memiliki satu benang merah yang sesuai dengan asumsi pertama, bahwa supersemar ditandatangani pada saat kondisi Soekarno dibawah tekanan. Bahkan, secara halus dapat dikatakan sebagai 'kudeta secara halus' yang dilakukan oleh Soeharto. Pada asumsi ini dapat disimpulkan bahwa supersemar memang sudah menjadi alat legitimasi politik yang direncanakan matang-matang, menjadi 'pelicin' bagi Soeharto untuk melenggang menuju kursi kekuasaan yang lebih tinggi.

Supersemar yang 'Overpower'


Selain asumsi pertama yang menyatakan bahwa supersemar adalah alat legitimasi Soeharto yang pembuatannya jelas-jelas bukan 'ide' dari Soekarno, penulis mengajak anda untuk masuk kepada asumsi kedua. Asumsi kedua ini bermula dari sebuah fakta bahwa pada dasarnya isi dari supersemar itu sendiri sudah 'overpower'. Pada skenario ini penulis mengasumsikan bahwa pernyataan terkait 'Soekarno memang membuat supersemar' dan 'supersemar adalah murni kehendak dan ide dari Soekarno' adalah benar. 

Jadi, pada sesi ini penulis tidak lagi mengasumsikan bahwa supersemar adalah 'alat legitimasi' atau 'alat kudeta' atas kehendak Soeharto yang ingin melicinkan dirinya menuju kursi kekuasaan. Singkatnya, pada asumsi kedua ini penulis mengajak anda untuk khusnudzon, yaitu berprasangka baik dalam mengkritisi apa yang terjadi pada peristiwa ini.

Asumsi ini berangkat dari 'hitam diatas putih', yaitu pernyataan dan poin-poin yang tertulis pada surat tersebut. Setidaknya ada tiga poin perintah yang ditujukan oleh Soeharto pada surat tersebut, dan poin pertama yang paling mencuri perhatian. Pernyataan yang menarik perhatian saya merujuk kepada kalimat 'Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu', yang dimana kalimat lengkapnya telah saya kutip di awal tulisan ini. Kalimat 'Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu' tersebut dinilai dapat menciptakan makna ambiguitas yang luar biasa. 

Bayangkan, apabila seseorang dengan pemikiran sekelas jenderal yang diberikan perintah tersebut, maka apa yang akan terjadi menjadi sulit untuk dibayangkan. Kalimat tersebut ditujukan kepada Soeharto yang pada saat itu bisa dikatakan sebagai 'pemegang kendali militer' yang sangat besar.  Soekarno, di lain sisi, yang memberikan mandat tersebut tidak mengetahui apa yang bisa Soeharto lakukan dengan adanya surat tersebut.

 Bagi penulis, hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang horror karena betapa banyaknya ragam interpretasi yang dapat dilakukan dari makna ambiguitas perintah tersebut. Surat ini menjadi sesuatu yang 'overpower' dan dipegang oleh seseorang dengan 'great power'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun